PUISI untuk Ytk. Mgr. Johannes Pujasumarta

Puji syukur kepada ALLAH BAPA!
Civitas KAS berdendang bangga.

Bagai air segar dari Surga:
Berita Gembira pelipur damba.

Ini sungguh Kabar Sukacita,
Kita sambut Sang Gembala!

Terimakasih kepada civitas Sunda,
kala sambut Mgr. Johannes Pujasumarta beroleh amanah ALLAH BAPA, berkarya di Tanah Sunda.

Kini semakin nyata, Kasih ALLAH kepada kita semua.
Kebijaksanaan-NYA sungguh sempurna, tiada pernah terduga, selalu tepat pada waktunya.

Sang Gembala akan segera berkarya di Tanah Jawa, tanpa lupakan civitas Sunda, karena Gereja adalah Semesta.
Satu dalam Cinta dan Karya: hanya untuk Kemuliaan ALLAH BAPA, PUTERA, dan ROH-NYA.

Kepada Ytk. Mgr. Johannes Pujasumarta,
"Selamat atas Amanah Bapa Suci di Roma!"

Kita sambut dengan gembira, seraya berdoa, memohon segala karunia,
untuk Mgr. Johannes Pujasumarta, serta Mgr. Ignatius Suharyo juga,

dalam langkah-langkah karya, merajut relasi reksa lintas area,
segenap umat manusia di Jawa serta Sunda dan seluruh Indonesia,

sedemikian sehingga semakin nyata KERAJAAN ALLAH bagi segenap umat manusia,
tanpa beda-bedakan suku bangsa, agama, maupun harta.

Salam dan doa,

Andreas Ignatius Rafael Gunawan
Litbang Jaringan Kodok Kevikepan DIY

Menjaga Iman Anak-Anak yang Menginjak Dewasa

Minggu pagi... sambil berjalan melintasi kampus, saya berdoa, mohon ampun pada Tuhan karena telah berniat melakukan perbuatan yang salah. Pergulatan itu telah berhari-hari lamanya. Tapi, ya ampun, pergulatan dan doa-doa itu tidak bisa menahan saya untuk tidak melakukan perbuatan yang salah itu.

Sebagai mahasiswa baru, saya adalah anak pemalu di tengah penghuni kampus yang jumlahnya 10 kali lipat dibandingkan jumlah penduduk di kampung saya. Di masa-masa inilah saya melakukan perbuatan lugu yang bodoh yang membuat saya menjadi bulan-bulanan di kampus.

Seperti kebiasaan di rumah, Minggu pagi saya mempersiapkan diri untuk Misa. Lalu saya bertanya pada teman sekamar saya di asrama, "Biasanya, kamu pergi ke gereja mana untuk Misa?" Tak saya sangka, seketika ia tertawa terbahak-bahak. "Eh, kamu mau pergi ke gereja untuk Misa?" katanya sambil menyeringai. "Lucu kamu ini ya.... kayak anak kelas 6 SD saja!" Dia lalu bergegas turun ke aula dan mengabarkan pada teman-teman bahwa mereka memiliki seorang "Santo".

Sejak itu saya menjadi bahan ejekan teman-teman, misdinar culun yang enggak punya pacar, pengecut yang enggak berani merokok, dan yang paling parah: "Santo" yang rajin pergi ke gereja. Belajar dari pengalaman, saya tidak mau lagi berkata jujur pada mereka tentang kegiatan saya. Itulah permulaan saya belajar berbohong. Saya masih tetap pergi ke gereja, tapi kalau ditanya teman, saya bilang ke perpustakaan atau belajar bersama teman-teman. Hancur sudah keinginan saya untuk bisa diterima teman-teman dalam lingkungan baru ini, saya harus berbohong tentang kebersamaan dengan Tuhan.

Itulah salah satu tantangan iman yang harus saya hadapi sebagai mahasiswa baru. Dan kalau saya menengok lagi ke masa yang cukup berat itu, saya heran sendiri sekaligus bersyukur bahwa sampai sekarang masih menjadi seorang Katolik yang aktif. Dan lagi, saya bertanya-tanya bagaimana perasaan orangtua saya waktu itu ketika membaca surat-surat saya yang menceritakan situasi tersebut.

Kenangan itu selalu datang kembali menghampiri setiap tahun, mengingat banyak orangtua yang juga bersiap-siap melepaskan anaknya pergi dari rumah untuk menempuh pendidikan tinggi setiap tahun. Kehidupan di kampus adalah pengalaman baru bagi anak-anak mereka dan bahkan para orangtua yang selama ini telah mencoba memberikan fondasi pendidikan iman yang kuat. Mereka merasa khawatir, apakah anak mereka bisa memelihara nilai-nilai baik yang telah mereka ajarkan atu apakah mereka masih rutin mengikuti Misa. Bahkan di kampus-kampus Katolik, apatisme, kebingungan, ketidak-dewasaan, tekanan teman-teman sebaya, godaan hormonal sampai minuman keras dan narkoba beserta sederet godaan yang lain siap mengintai dan mempengaruhi keimanan mereka. Singkat kata, dalam situasi seperti itu, ada banyak kekhawatiran yang menghantui orangtua hingga susah tidur.

Bagaimana para orangtua menghadapi kekhawatiran semacam ini? Apa yang bisa dilakukan untuk membantu anak-anak agar teguh dalam iman ketika mereka jauh dari rumah untuk menempuh pendidikan?

Ada 4 pemikiran yang bisa direnungkan menghadapi hal ini:

Pertama, meneguhkan kemandirian. Inilah salah satu hal yang dilakukan seorang anak pada usia pendidikan tinggi. Banyak yagn belum melakukannya dalam hal finansial. Maka, hal favorit yang bisa mereka lakukan adalah mandiri dalam hal identitas religiositas dengan menjadi berbeda dari orangtuanya. Mereka tahu, bahkan tanda disadari,m itulah jalan yang manjur untuk menarik perhatian orangtuanya. Namun, ini tidak berarti mereka akan mengabaikan iman untuk selama-lamanya. Biasanya, ini dilakukan hanya sebagai tanda bahwa mereka kini telah bisa mengambil keputusan sendiri.

Kedua, bagi orangtua, cara terbaik untuk memelihara iman anak-anaknya adalah dengan menghidupi iman itu dengan sungguh-sungguh. Menjadi orangtua yang beriman penuh sebagai teladan anak-anaknya adalah keharusan. Pada usia kuliah, yang dilakukan anak-anak adalah menguji nilai-nilai yang dibawa dari rumahnya dengan nilai-nilai baru yang didapat di kampus. Mereka akan melihat orangtua mereka sebagai model/teladan yang kuat untuk mengukur atau membandingkan dengan model yang lain. Mereka memang membutuhkan waktu untuk sampai pada kesimpulan dan ketetapan hati tentang nilai-nilai yang baik itu. Karena itu, orangtua hendaknya sabar dengan proses yang harus mereka lalui.

Jika mereka melihat orangtua sendiri ragu-ragu dengan iman/nilai yang diyajkini, mereka pun berpendapat bahwa iman/nilai tersebut bukanlah hal yang kokoh untuk pijakan hidupnya. Yakinlah, anak-anak itu sangat cermat mengamai orangtuanya menghadapi tantangan yang mereka berikan! Jika anak-anak melihat iman orangtuanya teguh dan bisa menjadi sumber kekuatan, mereka akan mematrikannya dalam hati sebagai kekayaan dan bekal hidupnya.

Ketiga, dengarkan dan berbicaralah dengan anak-anak, tapi jangan mengalah. Anak-anak butuh dihargai oleh orangtuanya, tapi cermati dan kritisilah pendapat-pendapatnya. Bersedialah mendengarkan dengan penuh perhatian pendapat mereka, tapi jangan mengalah mengenai prinsip-prinsip hidup yang harus dipertahankan. Sesungguhnya, anak-anak itu mengharapkan orangtuanya mempertahankan nilai-nilai tersebut. Jika orangtua "hanya" mengalah, anak-anak menjadi kebingungan.

Keempat, doa adalah pendukung terbaik orangtua. Biarlah Tuhan yang menjawab keraguan. Tuhanlah yagn paling mengenali anak-anak kita dari waktu ke waktu. Tuhan hadir dalam keraguan kita. Tuhan akan hadir pula bagi anak-anak kita untuk memampukannya menghadapi keraguan-keraguan atau kegagalan-kegagalannya. Hanyam, yang seringkali tidak kita sadari, waktu yang tepat menurut Tuhan tidak sama dengan pemikiran kita. Tuhan memiliki kesabaran yang lebih besar daripada kita. Biarlah Tuhan berbicara kepada anak-anak kita dengan cara yang paling tepat. Percayalah suara Tuhan jauh lebih baik daripada bahasa orangtuanya.

Akhirnya, marilah kita menghidupi iman seauntentik mungkin, mencintai anak-anak sebisa mungkin. Jangan pernah berhenti memelihara iman dalam bentuk apa pun termasuk berdiskusi dengan anak-anak. Dan, pasrahkanlah mereka dalam tangan Tuhan.

Menurut pengalaman saya, ada 2 alasan mengapa saya masih beriman aktif samapi kini. Pertama, keteguhan dan ketekunan orangtua saya dalam menghidupi iman. Kedua, kepercayaan sekaligus kepercayaan diri orangtua untuk berserah kepada Tuhan dan percaya kepada saya, apa pun yang terjadi. (Diterjemahkan dari "Keeping the faith at college", Dan Connors, Catholic Digest, Agustus 2010, oleh Purnawijayanti)



Sumber: Majalah Utusan No. 10. Tahun ke-60, Oktober 2010

Jejak rekam karya Mgr J. Pujasumarta

Johannes Maria Trilaksyanto Pujasumarta lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 27 Desember 1949. Pastor yang hobi menyanyi serta Pastor yang tidak gaptek atau “Gaul” (Pemilik Website http://pujasumarta.multiply.com) ini mengawali pendidikan imamatnya di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang pada tahun 1963. Selepas lulus dari Seminari Menengah Mertoyudan, Romo Puja kemudian meneruskan pendidikan imamatnya ke Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan Yogyakarta dari tahun 1970 hingga ditahbiskan menjadi imam tanggal 25 Juni 1977.

Romo yang menyandang gelar doktor spiritualitas dari Universitas St Thomas Aquinas Roma tahun 1987 ini pernah mengemban beberapa tugas di Keuskupan Agung Semarang. Pengalaman tugasnya antara lain Rektor Tahun Orientasi Rohani Seminari Sanjaya Jangli, Rektor Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan Yogyakarta, dan terakhir sebagai Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang.

Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang Johannes Pujasumarta , Pr (59) diangkat menjadi Uskup Bandung, menggantikan Mgr. Alexander Soentadio Djajasiswaja, Pr yang meninggal tahun 2005 lalu.

Pada hari Jumat, 12 Nopember 2010, Mgr Pujasumarta diangkat menjadi Uskup Keuskupan Agung Semarang oleh Paus Benediktus XVI


Profil:

25 Januari 1977 : Prefek Seminari Menengah Mertoyudan

1 Januari 1981 : Ketua Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang

12 Mei 1983 : Sementara di Wisma Sanjaya, Semarang, untuk persiapan studi ke Roma, Italia

Agustus 1983 : Studi Teologi Spiritual di Universitas St. Thomas Aquinas, Roma, Italia

(Licentiate in Spiritual Theology: 1983 – 1985)

(Doctorate in Spiritual Theology: 1985 – 1987)

1 Oktober 1987 : Pastor pembantu Paroki Ganjuran

1 September 1988 : Pastor pembantu Paroki St. Maria Assumpta, Klaten

15 Agustus 1989 : Studi “Focus in Leadership” di Gonzaga University, Spokane, Amerika

12 Juli 1990 : Rektor seminari di Wisma Sanjaya, Semarang

1 Oktober 1995 : Anggota Dewan Pengurus Yayasan Driyarkara

1 November 1995 : Moderator ISKA (Ikatan Sarjana Katolik) Semarang

1 Agustus 1997 : Rektor Seminari Tinggi St. Paulus, Kentungan, Yogyakarta

1 Agustus 1998 : Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang; Ketua Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang; moderator Serikat Santa Rosa Mistika (SRM)

1 September 1998 : Moderator Rumah Sakit St. Elizabeth, Semarang

25 September 1998 : Moderator PERDHAKI wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta

9 Oktober 2000 : Pejabat pastor kepala Paroki Kebondalem, Semarang (hingga 1 Agustus 2001)

2 Desember 2002 : Ketua Tim Supervisi Paroki Keuskupan Agung Semarang

10 Januari 2005 : Ketua Tim Supervisi Keuangan (Internal Auditor) Keuskupan Agung Semarang; Ketua Jaringan Persaudaraan antar kelompok Doa Keuskupan Agung Semarang

17 Mei 2008 : Diangkat sebagai Uskup Keuskupan Bandung oleh Bapa Paus Benediktus XVI

2009-2012: Sekretaris Jenderal Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)

12 Nopember 2010: Diangkat sebagai Uskup Keuskupan Agung Semarang oleh Bapa Paus Benediktus XVI

“Adakah Ia mendapati iman di bumi?" (3Yoh 5-8; Mzm 112:1-6; Luk 18:1-8)

“Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu. Kata-Nya: "Dalam sebuah kota ada seorang hakim yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorang pun. Dan di kota itu ada seorang janda yang selalu datang kepada hakim itu dan berkata: Belalah hakku terhadap lawanku. Beberapa waktu lamanya hakim itu menolak. Tetapi kemudian ia berkata dalam hatinya: Walaupun aku tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorang pun, namun karena janda ini menyusahkan aku, baiklah aku membenarkan dia, supaya jangan terus saja ia datang dan akhirnya menyerang aku." Kata Tuhan: "Camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu! Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka? Aku berkata kepadamu: Ia akan segera membenarkan mereka. Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?" (Luk 18:1-8), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan beberapa orang kudus, antara lain St.Stanislaus Kostka, biarawan/frater Yesuit, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Beriman berarti mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan dalam dan melalui cara hidup dan cara bertindak setiap hari dimanapun dan kapanpun. “Dalam semangat iman kristiani hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara’, demikian bunyi azas lembaga-lembaga kemasyarakatan katolik. Dengan kata lain beriman berarti juga hidup ‘membumi’, berpartisipasi dalam seluk-beluk duniawi dijiwai oleh iman, mencari dan mengusahakan kesucian dengan ‘membumi’. Memang dengan ‘membumi’ iman menghadapi aneka tantangan, hambatan dan masalah, tetapi sekaligus juga dimurnikan, dikuatkan dan diperdalam, maka hendaknya sebagai orang beriman juga tidak melupakan hidup doa maupun pembacaan dan permenungan sabda Tuhan, sebagaimana tertulis di dalam Kitab Suci. Kita diingatkan ‘harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu’, tidak berarti harus dengan khusuk duduk manis di tempat suci atau di kamar berdoa rosario atau doa-dao lainnya, tetapi sepanjang hari senantiasa dalam hadirat Tuhan, ‘berrekreasi dengan Tuhan’ alias hidup dan bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dengan kata lain sepanjang hari senantiasa gembira dan ceria, dinamis, penuh harapan, karena hidup bersama dan bersatu dengan Tuhan. Kami berharap kepada kita semua untuk senantiasa mengusahakan kesucian hidup dalam bekerja atau kesibukan pelayanan setiap hari, semakin sibuk bekerja dan melayani berarti semakin suci, semakin dikasihi oleh Tuhan dan sesamanya.

· “Saudaraku yang kekasih, engkau bertindak sebagai orang percaya, di mana engkau berbuat segala sesuatu untuk saudara-saudara, sekalipun mereka adalah orang-orang asing” (2Yoh. 5), demikian sapaan atau sentuhan kasih Yohanes dalam suratnya. Sebagai orang beriman kita dipanggil untuk senantiasa berbuat baik kepada siapapun dan dimanapun tanpa pandang bulu/SARA, membangun dan memperdalam persaudaraan atau persahabatan sejati. Persaudaraan atau persahabatan sejati sungguh mendesak dan up to date untuk kita hayati dan sebar-luaskan pada saat ini mengingat dan memperhatikan masih maraknya permusuhan, tawuran, bentrokan antar kelompok atau suku yang masih terus terjadi. Yang menimbulkan permusuhan, tawuran atau bentrokan antara lain berbagai perbedaan, seperti beda suku, pendapat, pikiran, selera, dst.. Ingat dan hayati bahwa kita semua berbeda satu sama lain, maka hendaknya apa yang berbeda di antara kita dijadikan atau dihayati sebagai daya pesona, daya tarik dan daya pikat untuk saling mengenal, mendekat dan bersahabat. Tak henti-hentinya saya mengingatkan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda satu sama lain tetapi saling tertarik, terpesona dan terpikat untuk saling mengenal, mendekat dan bersahabat, hidup bersama sebagai suami-isteri dan saling mengasihi sampai mati baik dalam untung maupun malang, sehat maupun sakit. Itulah misteri ilahi yang selayaknya kita imani. Memang untuk itu dibutuhkan keutamaan kerendahan hati agar kita dapat saling mengasihi dan bersahabat dalam aneka perbedaan yang ada. Marilah dengan rendah hati kita hayati secara mendalam apa yang sama di antara kita, antara lain: sama-sama manusia ciptaan Tuhan, sama-sama beriman, dst… Jika kita dapat menghayati apa yang sama di antara kita secara mendalam, maka apa yang berbeda akan fungsional untuk memperdalam dan memperluas persahabatan.

“Haleluya! Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya. Anak cucunya akan perkasa di bumi; angkatan orang benar akan diberkati. Harta dan kekayaan ada dalam rumahnya, kebajikannya tetap untuk selamanya. Di dalam gelap terbit terang bagi orang benar; pengasih dan penyayang orang yang adil. Mujur orang yang menaruh belas kasihan dan yang memberi pinjaman, yang melakukan urusannya dengan sewajarnya. Sebab ia takkan goyah untuk selama-lamanya; orang benar itu akan diingat selama-lamanya.” (Mzm 112:1-6)


Jakarta, 13 November 2010

Romo. Ign. Sumarya, SJ

USKUP AGUNG SEMARANG: Mgr. J. Pujasumarta

Yth.
Para Romo, Bruder, Suster, Bapak/Ibu dan Saudara-i,

Kita bersyukur kepada Allah Bapa, karena pada hari ini, Jumat 12-11-2010, pukul 12.00 waktu Roma atau pukul 18.00 wib, Bapa Suci Paus Benedictus XVI telah mengangkat Mgr. Johanes Pujasumarta (Uskup Bandung) menjadi Uskup Agung Semarang.

Proficiat Mgr Johanes Pujasumarta, dan selamat datang kembali ke KAS.

Selamat untuk Umat Allah KAS.


Semarang, 12-11-2010, pukul 21.42

Agustinus Lamidi
Koord Adm Umum

Bertekun Dalam Iman

Hari Minggu Biasa XXXIII Mal. 4:1-2a; Mzm. 98:5-6,7-8,9a,9bc; 2Tes. 3:7-12; Luk. 21:5-19

Contoh orang yang tidak tertib hidupnya, misalnya: bangun tidur dan pergi tidur serba tidak teratur, tidur jam 6 pagi, bangun jam 15.00 sore hari, makan tidak jelas siang, malam, dini hari, pagi hari, bekerja juga tidak teratur, doa ya seingatnya, pergi ke gereja seingatnya, pakaian yang dikenakan juga itu-itu saja alias jarang dicuci. Orang yang tidak tertib juga bisa berarti memiliki hidup yang tidak baik, malas-malasan, tidak suka bekerja, malah sukanya main judi atau kalau anak muda main game dari pagi sampai malam. Inilah contoh cara hidup yang termasuk dikritik Santo Paulus dalam bacaan kedua (2Tes 3:7-12) minggu ini.

Bacaan-bacaan hari ini mengajak kita untuk bertekun dengan iman kita dan juga dengan pekerjaan kita. Bacaan hari ini berbicara tentang situasi akhir zaman yang akan tiba. Saat itu akan ada kekacauan, ketidakjelasan, kemelut, konflik, seperti yang dikatakan Yesus: "Bangsa akan bangkit melawan bangsa...akan terjadi gempa bumi yang dahsyat...." Menghadapi situasi tersebut orang bisa mengambil jalan pintas, yakni hidup seenaknya, toh dunia akan berlalu. Paulus mengkritik keras hal ini. Orang yang tidak bekerja tidak usah makan. Lebih dari soal makan-minum, Yesus meminta kita semua untuk bertekun dan bertahan dalam kesetiaan iman dan pekerjaaan kita sehari-hari.

Kesetiaan iman kita tunjukkan dengan tidak pernah kendornya kita berdoa, membaca kitab suci, pergi ke gereja pada hari Minggu, dst. Kesetiaan iman juga tampak melalui perbuatan baik kepada sesama tanpa pandang bulu, rela dan sabar menderita apabila kegiatan ibadat kita diserang kelompok tertentu dalam masyarakat kita. Bertekun dalam pekerjaan sehari-hari berarti melaksanakan tugas kita sehari-hari sesuai dengan profesi kita, jabatan kita, peran kita dalam keluarga, dsb.

Kita tahu bahwa selain kelebihan-kelebihan yang kita miliki, pasti ada kerapuhan-kerapuhan yang menghambat perjuangan kita untuk menjadi orang baik. Namun, Tuhan terus memberi kesempatan kepada kita untuk melakukan pertobatan terus-menerus. Keselamatan di dalam Dia berwajah kemurahan hati dan pengampunan. Kita ditantang untuk mengisi waktu ini dengan sebaik-baiknya. Marilah kita hayati hidup kita dengan penuh syukur. Tuhan menganugerahkan kita kehidupan untuk dimanfaatkan demi kemuliaan-Nya, bagi keselamatan kita dan sesama.

Romo Mangun Wijaya Dianugerahi Bintang Budaya

11 November 2010 | 13.21 WIB
JAKARTA,— Almarhum Romo Yusuf Bilyarta Mangun Wijaya dianugerahi Bintang Budaya Parama Dharma oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penganugerahan ini atas rekomendasi Sekretariat Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan kepada Presiden SBY. Penganugerahan ini berlangsung di Istana Negara, Jakarta, Kamis (11/11/2010).

Romo Mangun lahir di Ambarawa, Semarang, pada 6 Mei 1929, dan wafat pada 10 Februari 1999 di Jakarta. Semasa hidup, ia dikenal sebagai rohaniawan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis, dan pembela rakyat kecil.

Romo Mangun adalah anak sulung dari 12 bersaudara dari pasangan suami-istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah. Semasa kecil, Romo Mangun menempuh pendidikan dasar di HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang pada 1936. Ia menamatkan pendidikan STM di Jetis pada 1947.

Pada 1946, Romo Mangun sempat menjadi prajurit Tentara Pelajar (TP), dan pernah bertugas menjadi sopir pendamping Panglima Perang Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Saat terjadi agresi militer Belanda I, Romo Mangun bergabung dalam TP Brigade XVII sebagai komandan TP Kompi Kedu.

Romo Mangun, di antaranya, dikenal melalui novelnya yang berjudul Burung-Burung Manyar. Novel ini mendapatkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara, Ramon Magsaysay, pada 1996.

Di bidang arsitektur, lulusan jurusan arsitektur ITB dan Rheinisch-Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman, pernah merancang permukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta. Rancangan ini meraih Aga Khan Award, penghargaan tertinggi karya arsitektural di negara berkembang.

Selain Romo Mangun, tujuh budayawan yang juga menerima Bintang Budaya Parama Dharma adalah alm Prof Sjafei Sumardja, alm Ki Narto Sabdo, alm Affandi Koesoema, alm Sjumandjaja, alm WS Rendra, almh Mimi Rasinah, dan alm Ngalagena. (Penulis: KOMPAS.com Hindra Liu; Editor: Heru Margianto; Foto: KARTONO RIYADI)

"Sama seperti terjadi pada zaman Nuh" (2Yoh 4-9; Luk 17:26-37)

"Dan sama seperti terjadi pada zaman Nuh, demikian pulalah halnya kelak pada hari-hari Anak Manusia: mereka makan dan minum, mereka kawin dan dikawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, lalu datanglah air bah dan membinasakan mereka semua. Demikian juga seperti yang terjadi di zaman Lot: mereka makan dan minum, mereka membeli dan menjual, mereka menanam dan membangun. Tetapi pada hari Lot pergi keluar dari Sodom turunlah hujan api dan hujan belerang dari langit dan membinasakan mereka semua. Demikianlah halnya kelak pada hari, di mana Anak Manusia menyatakan diri-Nya. Barangsiapa pada hari itu sedang di peranginan di atas rumah dan barang-barangnya ada di dalam rumah, janganlah ia turun untuk mengambilnya, dan demikian juga orang yang sedang di ladang, janganlah ia kembali. Ingatlah akan isteri Lot! Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan menyelamatkannya. Aku berkata kepadamu: Pada malam itu ada dua orang di atas satu tempat tidur, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan. Ada dua orang perempuan bersama-sama mengilang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan." Kata mereka kepada Yesus: "Di mana, Tuhan?" Kata-Nya kepada mereka: "Di mana ada mayat, di situ berkerumun burung nasar." (Luk 17:26-37), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.



Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St.Yosafat, uskup dan martir, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Dampak dari pemanasan global dan cuaca ekstrim telah menimbulkan kenaikan dan pemanasan air laut, sehingga terjadi rob di sana-sini, hujan deras dan badai serta angin puting beliung serta banjir banding, yang menghancurkan aneka macam yang ada di atas muka bumi ini. Konon tidak lama lagi kota-kota di pantai akan tenggelam karena kenaikan permukaan air laut, padahal mayoritas kota besar berada di pantai. Maka orang akan berbondong-bondong meninggalkan pantai ke area yang lebih tinggi atau ke pegunungan-pengunungan, yang kemudian berdampak semakin sempitnya lahan untuk tempat tinggal dan bercocok tanam serta memperoleh air segar dan sehat demi kehidupan. Dalam situasi yang berat dan sulit tersebut ada kemungkinan orang juga enggan atau malas untuk berkeluarga serta beranak-cucu, dengan kata lain terjadi penuyusutan jumlah penduduk, karena di masa sulit dan berat tersebut kiranya juga akan terjadi orang bunuh diri dengan mudah. Kepunahan bumi segera akan terjadi, begitulah mungkin yang dapat dikatakan. Menghadapi aneka macam bencana dan kepunahan serta kehancuran saat ini, marilah kita rela 'kehilangan nyawa' artinya meninggalkan cita-cita, dambaan, semangat hidup yang hanya mengikuti selera pribadi dan kemudian memeluk, menggeluti dan menghayati kehendak ilahi, kehendak Tuhan dalam hidup sehari-hari. "Barangsiapa berusaha menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan menyelamatkannya", demikian sabda Yesus yang hendaknya kita renungkan dan hayati, dengan hidup menurut perintah-perintah-Nya.


· "Inilah kasih itu, yaitu bahwa kita harus hidup menurut perintah-Nya. Dan inilah perintah itu, yaitu bahwa kamu harus hidup di dalam kasih, sebagaimana telah kamu dengar dari mulanya" (2Yoh. 6). Kutipan dari surat Yohanes ini mengingatkan kita semua untuk senantiasa hidup saling mengasihi dan hidup menurut perintah Tuhan dalam menghadapi aneka macam bencana alam maupun musibah yang terus-menerus terjadi masa kini. Kehancuran dan kepunahan aneka macam sarana-prasarana atau hal-hal duniawi hendaknya menjadi bahan permenungan bagi kita semua, bahwa kasih tak akan punah dan hancur. Semuanya itu ada, tumbuh dan berkembang karena oleh kasih dan dalam kasih, dengan kata lain yang terutama adalah kasih. Salah satu cara hidup dan bertindak dalam kasih antara lain hidup menurut perintah Tuhan, dan perintah Tuhan antara lain dapat kita temukan dalam aneka tulisan yang ditulis dalam ilham Tuhan, antara lain kitab suci. Maka marilah kita baca, renungkan dan hayati apa yang tertulis didalam kitab suci Setiap hari saya mengutip apa yang tertulis di dalam Kitab Suci, mengikuti Kalender Liturgy, dengan harapan dapat menjadi bantuan bagi kita semua untuk memahami, mendalami dan menghayati perintah-perintah Tuhan. Semoga apa yang saya usahakan kutip dan tulis setiap hari berguna bagi kita semua untuk senantiasa hidup dalam dan oleh kasih dimanapun dan kapanpun. Marilah meneladan St.Yosafat, yang sungguh mengasihi umatnya serta rela berkorban demi keselamatan sesamanya.



"Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela, yang hidup menurut Taurat TUHAN. Berbahagialah orang-orang yang memegang peringatan-peringatan-Nya, yang mencari Dia dengan segenap hati,… Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari perintah-perintah-Mu. Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau"
(Mzm 119:1-2.10-11)

Jakarta, 12 November 2010



Romo. Ign. Sumarya, SJ.

UGM Kembangkan Burger Pakan Sapi Korban Merapi

Kamis, 11/11/2010 17:40 WIB

Yogyakarta - Krisis pakan sapi akibat erupsi Merapi bakal mengancam wilayah Kabupaten Sleman, Klaten, Boyolali dan Magelang. Padahal di empat kabupaten yang ada di lingkar Merapi itu merupakan sentra sapi.

Pasca erupsi Merapi ini, sedikitnya 65 ribu ekor sapi di empat kabupaten akan terancam kekurangan pakan. Banyak hijauan yang terkena abu vulkanik yang sangat membahayakan bila dimakan hewan ternak.

Untuk mengatasi ancaman kekurangan pakan ternak ini, tim peneliti dari Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada (UGM) berhasil mengembangkan 'burger' siap saji untuk sapi-sapi korban Merapi. Para peneliti UGM ini membuat semacam burger pakan sapi siap saji dengan bahan baku utama jerami padi, dedak gandum atau polard, molase dan larutan mikrobia.

"Komposisinya padi 70 persen, dedak gandum atau polard 20 persen, molase dan larutan mikrobia 10 persen untuk membantu proses fermantasi," kata Prof Dr Ir Agus Ali, dosen Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan UGM kepada wartawan di kampus UGM Bulaksumur Yogyakarta, Kamis (11/11/2010).

Agus mengatakan, burger pakan sapi ini merupakan campuran dari berbagai bahan yang diramu sehingga kandungan nutrisinya mencukupi kebutuhan ternak dan tidak perlu tambahan bahan pakan lain termasuk hijauan kecuali air minum. Pemilihan bahan pakan utama berasal dari jerami ini dikarenakan harganya relatif cukup murah dan mudah didapat.

"Pakan ini untuk proses fermentasinya saja hanya berlangsung 24 jam, relatif cepat bila dibandingkan teknologi pembuatan pakan silase hijauan yang memerlukan waktu 3 minggu," terang Agus.

Menurut dia, proses fermentasi complete feed alias burger pakan sapi akan berhasil yang ditandai dengan aroma yang harum dan tekstur tidak berubah atau masih seperti semula serta tidak timbul jamur. Teknik pembuatannya cukup mudah.

Pertama bahan jerami padi dan polard dicampur secara merata kemudian molase (tetes gula tebu) yang telah dicampur dengan larutan mikroba disiramkan diatasnya secara merata. Kemudian bahan campuran tersebut, dimasukkan dalam plastik ukuran 25-30 kg dan ditali rapat.

"Pakan ini dapat disimpan hingga 6 bulan," katanya.

Saat erupsi Merapi lanjut dia, burger pakan sapi ini sudah didistribusikan sekitar 2 ton ke lokasi penampungan sapi perah di lapangan Tlogo Adi, Kecamatan Melati Sleman. Berdasarkan pengamatan tim, ternak sapi yang diberi pakan ini cukup disukai ternak.

"Teknologi pembuatan pakan ini cukup sederhana, sehingga dapat mengurangi masalah kerawanan pakan selaman masa krisis Merapi berlangsung. Tiap hari kini diproduksi sekitar 2 ton pakan burger ini," katanya.

Agus menambahkan selama ini para peternak sapi di Merapi lebih mengandalkan pakan hijauan rumput dan konsentrat. Untuk memenuhi kebutuhan 65 ribuan ekor sapi, minimal diperlukan hijauan 1.300 ton/hari. Setiap ekor membutuhkan rata-rata 20 kg/ekor/hari. Sedangkan untuk kebutuhan pakan konsentrat, rata setiap ekor sekitar 5 kg/ekor/ hari. Minimal diperlukan pakan konsentrat sebanyak 325 ton/hari.

"Bila ada pakan burger semacam ini krisis pakan ternak bisa diminimalkan. Kita akan melakukan pelatihan pembuatan pakan ini di dekat lokasi penampungan ternak. Selain untuk alih teknologi, ini juga untuk mengatasi agar mereka tidak jenuh selama di pengungsian," pungkas Agus. (Bagus Kurniawan, detikcom; Foto: Ilustrasi)

"Ia harus menanggung banyak penderitaan dahulu dan ditolak oleh angkatan ini." (Flm 7-20; Mzm 146:7-10; Luk 17:20-25)


"Atas pertanyaan orang-orang Farisi, apabila Kerajaan Allah akan datang, Yesus menjawab, kata-Nya: "Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah, juga orang tidak dapat mengatakan: Lihat, ia ada di sini atau ia ada di sana! Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu." Dan Ia berkata kepada murid-murid-Nya: "Akan datang waktunya kamu ingin melihat satu dari pada hari-hari Anak Manusia itu dan kamu tidak akan melihatnya. Dan orang akan berkata kepadamu: Lihat, ia ada di sana; lihat, ia ada di sini! Jangan kamu pergi ke situ, jangan kamu ikut. Sebab sama seperti kilat memancar dari ujung langit yang satu ke ujung langit yang lain, demikian pulalah kelak halnya Anak Manusia pada hari kedatangan-Nya. Tetapi Ia harus menanggung banyak penderitaan dahulu dan ditolak oleh angkatan ini." (Luk 17:20-25), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St.Martinus dari Tours, Uskup, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
• Kerajaan Allah berarti Allah yang meraja atau berkuasa. Dalam melaksanakan kuasanya Ia terus menerus berkarya di dalam seluruh ciptaan-Nya, terutama dalam diri manusis, maka Yesus bersabda "Sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu". Mereka yang sungguh dirajai atau dikuasai oleh Allah di dunia pada masa kini pada umumnya tak akan terlepas dari aneka macam bentuk penderitaan, mengingat dan mempertimbangkan bahwa kemerosotan moral yang terjadi hampir di semua bidang kehidupan masih marak di sana-sini. Orang yang hidup baik dan berbudi pekerti luhur memang harus menghadapi aneka tantangan, hambatan dan masalah, yang menguji, memurnikan dan memperteguh kebaikannya. Allah yang meraja atau berkuasa nampak dalam perilaku atau cara hidup orang yang baik dan berbudi pekerti luhur, dan hanya orang yang memiliki hati yang peka akan nilai-nilai spiritual atau keutamaan-keutamaan hidup mampu melihat, menangkap dan mengimaninya. Memang mereka yang bersikap mental Farisi alias yang bersikap mental gila akan kuasa dan kehormatan duniawi tak akan mampu melihat, menangkap dan mengimaninya, karena mereka sendiri merasa menjadi raja atas dirinya sendiri serta orang lain di sekitarnya. Marilah kita hayati dan imani karya Allah dalam diri kita masing-masing, yang menganugerahi pertumbuhan dan perkembangan serta hati untuk mencinta, bersyukur dan berterima kasih. Kita hayati dan imani bahwa segala sesuatu yang baik, indah, mulia, luhur dalam diri kita adalah angerah atau karya Allah.

"Dari kasihmu sudah kuperoleh kegembiraan besar dan kekuatan, sebab hati orang-orang kudus telah kauhiburkan, saudaraku." (Flm 7), demikian kesaksian iman Paulus kepada Filemon. Orang-orang kudus adalah orang-orang suci, yang mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah dalam dan melalui hidup sehari-hari. Dalam iman kita hayati bahwa para uskup adalah kudus, yang terpilih dan suci. Merupakan kegembiraan besar bagi para uskup ketika kita sebagai umat Allah hidup saling mengasihi dan melayani, karena hal itu juga menjadi tugas utama para uskup, hidup mengasihi dan melayani. Maka kalau hari ini kita mengenangkan St.Martinus, uskup, kami mengajak anda sekalian, sebagai umat Allah; marilah kita dukung karya uskup kita masing-masing dengan hidup saling mengasihi dan melayani. Ingatlah dan hayati bahwa masing-masing dari kita adalah yang terkasih, buah kasih, maka perjumpaan antar kita dimanapun dan kapanpun hendaknya secara otomatis saling mengasihi, karena bertemu dengan orang lain berarti yang terkasih bertemu dengan yang terkasih. Paulus mengatakan bahwa dari kasih diperoleh kegembiraan dan kekuatan. Rasanya apa yang dikatakan oleh Paulus ini bukan omongan kosong belaka, melainkan sungguh nyata. Coba refleksikan pengalaman anda sendiri: bukankah ketika anda merasa dikasihi pasti akan gembira dan kuat, tidak takut dan tidak gentar menghadapi aneka macam masalah, tantangan dan hambatan kehidupan? Binatang buas pun ketika didekati dalam dan oleh kasih akan terkalahkan alias dapat menjadi sahabat, apalagi manusia. Marilah kita sikapi segala sesuatu yang mendatangi kita sebagai kasih, sehingga kita senantiasa hidup dalam kasih dan syukur. Jika kita sungguh hidup dalam kasih dan syukur, imanilah kita pasti kuat menghadapi aneka macam masalah, tantangan dan hambatan kehidupan.

"TUHAN membebaskan orang-orang yang terkurung, TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang tertunduk, TUHAN mengasihi orang-orang benar. TUHAN menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya. TUHAN itu Raja untuk selama-lamanya, Allahmu, ya Sion, turun-temurun! Haleluya" (Mzm 146:7-10)

Jakarta, 11 November 2010


Romo. Ign. Sumarya, SJ.

“Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?" (Tit 3:1-7; Mzm 23:1-5; Luk 17:11-19)

“Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh dan berteriak: "Yesus, Guru, kasihanilah kami!" Lalu Ia memandang mereka dan berkata: "Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam." Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir. Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria. Lalu Yesus berkata: "Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?" Lalu Ia berkata kepada orang itu: "Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau." (Luk 17:11-19), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St.Leo Agung, Paus dan Pujangga Gereja, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Hidup bersyukur dan berterima kasih rasanya pada masa kini tidak mudah, mengingat dan mempertimbangkan kecenderungan banyak orang untuk lebih menyombongkan diri serta hidup serakah, sebagai dampak kebebasan dalam era reformasi ini. Hal itu kiranya juga didukung tidak adanya atau kurang adanya penghayatan hidup syukur dan terima kasih di antara anggota keluarga atau teman dekat. Dengan kata lain orang kurang menghargai hasil karya atau pelayanan anggota keluarga atau teman dekat dan lebih menghargai hasil karya atau pelayanan orang lain. Maka benarlah dan menarik untuk direnungkan sabda Yesus “Tidak adalah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?”. Yesus dan sembilan orang lain yang disembuhkan termasuk orang Yahudi dan yang berterima kasih serta memuliakan Allah tersebut adalah orang Samaria: orang Yahudi dan orang Samaria kurang akrab alias bermusuhan. Apa yang terjadi ini sering kita alami juga, yaitu kita lebih menghargai orang asing daripada bangsa/teman sendiri. Marilah kita tanggapi sabda Yesus di atas dengan mawas diri: sejauh mana kita, sebagai sesama anggota keluarga atau teman dekat, saling bersyukur dan berterima kasih? Agar kita dapat bersyukur dan berterima kasih, mungkin baik begitu bangun pagi mendoakan ini “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Rat 3:22-23). Kita sadari dan hayati bahwa rahmat Tuhan senantiasa dianugerahkan kepada kita melalui orang-orang yang dekat dengan kita setiap hari.

· “Ingatkanlah mereka supaya mereka tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik. Janganlah mereka memfitnah, janganlah mereka bertengkar, hendaklah mereka selalu ramah dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang.” (Tit 3:1-2), demikian peringatan atau ajakan Paulus kepada Titus, kepada kita semua umat beriman. Kiranya yang baik kita renungkan bersama adalah ‘jangan memfitnah dan bertengkar, melainkan hendaklah selalu ramah dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang’.Ajakan atau peringatan ini kiranya menarik dan up to date untuk kita hayati atau laksanakan mengingat dan mempertimbangkan masih maraknya pertengkaran dan fitnah di sana-sini dalam hidup sehari-hari. Kalau hari kita kita mengenangkan St Leo Agung, Paus dan Pujangga Gereja, baiklah kita dukung tugas Paus antara lain sebagai pemersatu umat Allah, dengan kata lain marilah kita senantiasa mengusahakan persaudaraan dan persahabatan sejati di antara kita. Ajakan untuk ramah dan lemah lembut berarti panggilan bagi kita semua untuk saling menghormati dan melayani sebagai sesama manusia, yang diciptakan oleh Allah sebagai gambar atau citraNya: Allah hidup dan berkarya dalam diri kita masing-masing, manusia, gambar dan citra Allah. Kami berharap para tokoh hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang memiliki pengaruh hidup bersama, dapat menjadi teladan dalam memberantas aneka bentuk fitnah dan pertengkaran serta menggalang dan menyebarluaskan persaudaraan atau persahabatan sejati, dengan saling ramah dan lemah lembut. Secara khusus kami berharap kepada para orangtua atau bapak-ibu dapat menjadi telahan keramahan dan kelemah-lembutan dalam saling mengasihi bagi anak-anak yang dianugerahkan Allah kepada mereka.

“TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah” (Mzm 23:1-5).


Jakarta, 10 November 2010



Romo. Ign. Sumarya, SJ.

Pesta Pemberkatan Gereja Basilik Lateran: (Yeh 47:1-2.8-9.12/1Kor 3:9c-11.16-17; Mzm 46:2-3.5-6.8-9; Yoh 2:13-22)

“Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan”

Setelah makan siang bersama, di siang bolong, panas terik, hari itu saya berjalan-jalan di area halaman gereja dan pastoran. Tiba-tiba di anak tangga pintu gereja ada sepasang pemuda duduk termenung, saling diam dan tidak berbicara apapun. Saya tergerak mendekatinya dan kemudian menyapa mereka:” Selamat siang”. “Selamat siang Pater”, jawab mereka. “Ada apa, siang-siang begini duduk di sini?”, pertanyaan saya kepada mereka. “Ya Pater, di rumah rasanya gerah dan panas, karena bapak-ibu bertengkar terus, maka saya merasa damai, tenang dan tentram duduk-duduk di sini”, demikian jawaban mereka. Gedung gereja hanyalah batu-batu, semen dst.. yang ‘mati’, namun dapat membuat orang yang dekat atau berada di dalamnya merasa damai, tenang dan tentram. Maka baiklah pada hari saya “Pesta Pemberkatan Gereja Basilik Lateran”, yang menjadi gereja resmi Paus, hari ini saya sampaikan permenungan atau refleksi sederhana, semoga dapat menjadi bahan mawas diri bagi kita semua.
"Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan."(Yoh 2:16)

Gedung gereja, seperti tempat-tempat ibadat lainnya, adalah tempat atau bangunan yang telah diberkati atau disucikan. Siapapun yang mendatangi, masuk ke dalam atau berada dalam bangunan sebagai tempat ibadat tersebut diharapkan semakin menjadi suci, semakin dikasihi oleh dan mengasihi Tuhan maupun sesamanya. Menjadi ‘suci’ atau ‘disucikan’ berarti dipersembahkan atau disisihkan sepenuhnya kepada Tuhan, sehingga apa atau siapa yang telah disucikan/diberkati diharapkan berfungsi sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan. Yang sering menjadi gangguan atau hambatan dalam rangka menghayati kehendak Tuhan dalam hal urusan dengan tempat ibadat ini antara lain ‘sikap terhadap uang atau harta benda’. Pada umumnya ‘tempat ibadat’ juga lebih mudah ‘mendatangkan’ uang atau harta benda, misalnya bantuan untuk membangun tempat ibadat atau sumbangan/persembahan/kolekte yang dipersembahkan selama beribadat. “Uang atau harta benda” memang dapat menjadi ‘jalan’ ke neraka atau ke sorga, dan kiranya kita semua berharap dengan uang atau harta benda yang kita miliki dan kuasai kita kelak dapat masuk sorga, hidup mulia bersama Allah selama-lamanya.

Maka menanggapi sabda Yesus yang keras di atas, kami mengajak anda sekalian untuk mawas diri perihal pemanfaatan uang atau harta benda yang diperoleh selama beribadat atau dalam rangka pembangunan/perawatan rumah ibadat. Dalam Gereja Katolik ‘uang atau harta benda’ yang demkian itu disebut ‘harta benda gerejani’ yang harus difungsikan untuk “tujuan-tujuan khas..terutama ialah: mengatur ibadat ilahi, memberi sustensi yang layak kepada klerus serta pelayan-pelayan lain, melaksanakan karya-karya kerasulan suci serta karya amal kasih, terutama terhadap mereka yang berkekurangan” (KHK kan 1254 $ 2):

“Mengatur ibadat ilahi”. Dalam beribadat kita membutuhkan aneka macam sarana-prasarana yang diharapkan mendukung kegiatan beribadat, misalnya: tempat/gedung dan peralatan liturgi,. Dalam hal tempat atau gedung sekiranya belum ada kiranya perlu diusahakan, sedangkan jika kita telah memiliki tempat/gedung hendaknya dirawat sebaik mungkin: kebersihan, keteraturan, keindahan dst.. Peralatan yang mendukung untuk beribadat misalnya: pakaian imam dan para pembantunya, tempat duduk, peralatan untuk perayaan ekaisti, sound system dst.. hendaknya juga diperhatikan dengan baik dan memadai. Terkait dengan ibadat kiranya juga perlu diperhatikan pembinaan cara berdoa maupun bernyanyi/koor, yang juga perlu beaya-beaya atau tempat khusus untuk pembinaan.


“Memberi sustensi yang layak kepada klerus serta pelayan-pelayan lain”. “Sustensi” berasal dari kata bahasa Latin “sustento/sustentare” yang antara lain berarti memegang tegak, menegakkan, menopang, menjunjung ke atas, mencegah jatuhnya. ‘Para klerus serta pelayan-pelayan lain’ adalah pastor/imam, para pegawai pastoran maupun paroki ; mereka ini harus memperoleh perhatian dan dukungan yang baik dan memadai dalam hal kebutuhan hidup sehari-hari maupun sarana-sarana yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas perutusan atau pekerjaan. Jika mereka kurang memperoleh perhatian yang baik dan memadai kiranya ada bahaya atau godaan bagi mereka untuk korupsi atau menyeleweng, “berjualan di tempat ibadat atau komersial dalam melaksanakan tugas perutusannya”. Para klerus serta pelayan-pelayan lain hendaknya hidup dengan sederhana serta tidak bermental bisnis atau materialistis, secara khusus para klerus hendaknya menjadi teladan bagi umat yang dilayani dalam hal kesederhanaan, menjadi saksi Yesus Kristus, “yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.” (2Kor 8:9). Kepada umat pada umumnya kami berharap juga tidak memanjakan para klerus/imam/pastor paroki.

“Melaksanakan karya-karya kerasulan suci”. Apa yang termasuk dalam kerasulan suci erat kaitannya dengan tugas Gereja untuk ‘mengajar dan menguduskan’, seperti kotbah, retret/rekoleksi, katekese/pengajaran agama dan sakramen-sakramen. Dengan kata lain berbagai kegiatan atau usaha untuk pembinaan maupun pengembangan atau pendalaman iman umat. Karya-karya ini kiranya perlu memperoleh perhatian yang baik dan memadai sehingga umat semakin beriman, dan jika iman umat mendalam kiranya mereka juga rela dan dengan hati besar berkorban menyumbangkan sebagian kekayaan atau harta untuk kepentingan Gereja (ingat: uang atau harta benda gerejani berasal dari umat dan hendaknya juga difungsikan untuk pembinaan, pengembangan dan pendalaman iman umat). Secara konkret di dalam Gereja juga ada paguyuban umat seperti: Kharismatik, Legio Mariae, ME, Choice, Couple for Christ, Ibu-ibu paroki, muda-mudi paroki, PIA/Sekolah Minggu, kelompok-kelompok professional seperti guru, pengusaha, perawat, dst.. Paguyuban-paguyuban ini hendaknya memperoleh perhatian yang baik dan memadai, baik hal pendanaan maupun tenaga.

“Melaksanakan karya amal kasih, terutama terhadap mereka yang berkekurangan”. Yang termasuk dalam karya amal kasih ini adalah karya-karya pelayanan bagi masyarakat umum seperti sosial, kesehatan dan pendidikan. Maka baiklah mereka yang berkarya di karya pelayanan ini hendaknya sungguh memperhatikan ‘mereka yang berkekurangan’, termasuk mereka yang menjadi korban bencana alam maupun penggusuran di kota-kota besar. Uang atau harta benda yang diperoleh oleh lembaga/yayasan yang mengelola karya-karya ini hendaknya difungsikan sesuai dengan ‘maksud pemberi’ (‘intentio dantis’), artinya uang atau harta benda yayasan/lembaga sosial hendaknya dimanfaatkan untuk pengembangan karya-karya sosial, uang atau harta benda yang diperoleh yayasan/ lembaga kesehatan harus dimanfaatkan untuk pengembangan karya-karya kesehatan dan uang atau harta benda yang diperoleh yayasan/lembaga pendidikan harus dimanfaatkan untuk pengembangan karya pendidikan.

“Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu“ (1Kor 3:16-17)

Dalam rangka mengenangkan Pemberkatan Gereja Basilik Lateran hari ini, baiklah kita juga mawas diri bahwa masing-masing dari kita adalah bait Allah dan Roh Allah diam di dalam diri kita. Kita, manusia diciptakan oleh Allah sesuai dengan gambar atau citra-Nya, dengan kata lain masing-masing dari kita dipanggil untuk menjadi ‘gambar atau citra Allah’ serta melihat dan memperlakukan sesama sebagai ‘bait Allah’.

Kita sebagai “gambar atau citra Allah”, yang juga berarti Roh Kudus diam di dalam diri kita, berarti dari kita diharapkan ‘lahir’ buah-buah Roh seperti : “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.” (Gal 5:22-23). Keutamaan-keutamaan ini harus menjadi nyata atau terwujud dalam cara berkata maupun cara bertindak setiap hari, dalam kesibukan, hidup bersama kita di manapun dan kapanpun. Sebagaimana kita imani bahwa Allah hadir dimana saja dan kapan saja, kiranya terutama dan pertama-tama Allah hadir dan berkarya dalam diri kita, manusia, ciptaan yang paling luhur di dunia ini. Tanda bahwa kita semua menjadi ‘gambar dan citra Allah’ antara lain kehidupan bersama kita sungguh manusiawi, dan dengan demikian terbuka juga pada Yang Ilahi. Harkat martabat manusia dijunjung tinggi, dihormati dan diutamakan dalam berbagai kebijakan maupun kegiatan; secara konkret hemat saya, entah di tingkat keluarga atau pemerintahan pendidikan atau pembinaan manusia memperoleh perhatian utama, bukan uang, harta benda atau barang.

Kita dipanggil untuk ‘melihat dan memperlakukan sesama kita sebagai bait Allah”. Rasanya kita ketika memasuki ‘bait Allah’ atau tempat ibadat senantiasa bersikap rendah hati, tenang/hening dan penuh hormat, maka sikap-sikap ini juga menjadi nyata ketika kita berhadapan dengan sesama manusia, yang menjadi ‘bait Allah’. “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.” (Rm 12:10), demikian nasehat Paulus kepada umat di Roma, kepada kita semua. Hormat kiranya tidak hanya kita tujukan kepada para pejabat atau petinggi saja, tetapi kepada semua manusia, lebih-lebih mereka yang kecil, miskin dan berkekurangan. Dalam orang atau kelompok sesama manusia yang kecil, miskin dan berkekurangan kiranya lebih banyak dapat kita temukan keutamaan-keutamaan atau nilai-nilai kehidupan daripada dalam diri orang besar, kaya dan berkelebihan. "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil.” (Mat 11:25).

"Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku." (Yoh 2:17)

Yang dimasksudkan dengan ‘rumah’ di sini adalah tubuh Yesus sendiri, yang harus wafat di kayu salib untuk menyelamatkan dunia yang diciptakan oleh Allah dan menjadi tempat Allah hidup dan berkarya. Karena dunia tidak peduli alias meninggalkan Allah, sehingga menuju ke kehancuran, maka siapapun yang memiliki kepedulian untuk mengembalikan dunia seisinya menjadi ‘bait Allah’ memang harus berani berjuang dan berkorban, termasuk mengorbankan diri sendiri, sebagaimana telah dihayati oleh para pahlawan, pejuang kebenaran dan perdamaian serta para santo-santa. Kita semua dipanggil untuk meneladan mereka, maka secara khusus pada pesta Pemberkatan Gereja Basilik Lateran ini kami mengajak kita semua untuk mengenangkan para santo-santa yang menjadi pelindung maupun nama baptis kita, dengan harapan kita dapat meneladannya agar kita sungguh semakin menjadi ‘bait Allah’.

“Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; Kota Allah, kediaman Yang Mahatinggi, disukakan oleh aliran-aliran sebuah sungai. Allah ada di dalamnya, kota itu tidak akan goncang; Allah akan menolongnya menjelang pagi”

(Mzm 46:2-3.5-6)



Pesta Pemberkatan Basilik Lateran, 9 November 2010

Romo. Ignatius. Sumarya, SJ

Pernyataan Akhir & Rekomendasi Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2010



Ia Datang supaya Semua Memperoleh Hidup dalam Kelimpahan (bdk. Yoh 10:10)


PENGANTAR

1. Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) yang berlangsung dari tanggal 1 sampai dengan 5 November 2010 di Kinasih, Caringin – Bogor, Jawa Barat, dihadiri oleh utusan dari 37 keuskupan di Indonesia. Hadir 385 orang peserta, yang terdiri dari para Uskup, imam, biarawan-biarawati, dan sejumlah wakil umat. Sidang Agung ini bertema, Ia Datang supaya Semua Memperoleh Hidup dalam Kelimpahan (bdk. Yoh 10:10). Hidup dalam kelimpahan berarti ada dalam relasi dekat dengan Sang Gembala serta selalu merasakan perlindungan-Nya. Kedekatan dengan Sang Gembala itulah yang akan menjamin kehidupan manusia, dalam relasinya dengan sesama dan seluruh alam ciptaan.

2. Kami menyadari tema SAGKI ini diilhami pula oleh suatu perayaan iman Kongres Misi Asia I di Chiang Mai (Thailand, 2006) yang bertemakan, Telling the Story of Jesus in Asia. SAGKI ini merupakan suatu perayaan iman akan Yesus Kristus sekaligus kesempatan untuk berjumpa satu sama lain dan berbagi pengalaman iman dalam perjumpaan dengan keberagaman budaya, agama dan kepercayaan, serta dalam pergumulan hidup kaum terpinggirkan dan terabaikan.

3. SAGKI 2010 menegaskan pentingnya metode narasi (kisah) dalam pewartaan. Kami menyadari sepenuhnya bahwa dengan metode narasi (kisah) ini, pengalaman iman dapat disampaikan kepada orang lain secara lebih meyakinkan. Dengan cara mengisahkan Yesus, sebagaimana Ia sendiri berkisah, kami berharap diteguhkan dan digerakkan sebagai saksi Kristus. Sesungguhnya, metode narasi tidak asing dalam tradisi Asia, terutama Indonesia. Dalam metode bertutur para peserta SAGKI terlibat secara aktif mengungkapkan pengalaman dalam konteks bhinneka tunggal ika.

4. Seluruh proses SAGKI bertolak dari narasi publik. Para narator publik berkisah bukan saja dengan melaporkan apa yang dikerjakannya, melainkan juga dan terutama dengan pengalaman imannya. Sharing dalam kelompok yang menyusuli narasi publik pada prinsipnya merupakan ungkapan dan ajang berbagi pengalaman berkenaan dengan ketiga sub tema SAGKI 2010. Pada gilirannya hasil sharing kelompok itu dilaporkan dalam sidang pleno dan diperkaya dengan refleksi teologis.


HASIL


5. Sedemikian pentingnya makna paparan narator publik, berikut sharing dalam kelompok, yang masih diperkaya dalam pleno dan refleksi teologis, maka berikut ini akan dikemukakan rangkuman yang memuat sejumlah pokok gagasan terpenting dalam SAGKI. Kami menyadari bahwa rangkuman ini tidak memuat seluruh kekayaan Sidang ini. Aneka kisah dalam SAGKI masih akan terdokumentasikan dalam bentuk buku, video, dan foto. Kami yakin, para peserta SAGKI sendiri merupakan dokumen hidup yang terus menuturkan SAGKI ini.

6. Keberagaman budaya di Indonesia merupakan suatu kenyataan dan kekayaan yang patut kami syukuri. Dengan kebudayaan kami maksudkan segala sesuatu, dengan mana manusia mengasuh dan mengembangkan pelbagai bakat rohani dan jasmaninya, berupaya menguasai bumi dengan pengetahuan dan karyanya, lebih memanusiawikan kehidupan sosial, mengungkapkan melalui karya-karya, pengalaman-pengalaman rohani dan aspirasi-aspirasi besar sepanjang sejarah, serta mengkomunikasikannya dan memeliharanya sebagai inspirasi bagi kemajuan banyak orang, malah bagi seluruh umat manusia (bdk. Gaudium et Spes 53). Oleh karena itu, di dalam keragaman budaya, Allah hadir dan disapa dengan pelbagai macam nama. Kehadiran-Nya dikenali melalui orang dan unsur-unsur kebudayaan yang menghormati dan mencintai kehidupan. Kehadiran-Nya itu dimengerti oleh para pendukung setiap kebudayaan.

7. Gereja sebagai umat Allah yang percaya akan Yesus Kristus menampilkan sikap hormat dan kasih terhadap kebudayaan (bdk. Lumen Gentium 13). Gereja memperhatikan dan menjunjung tinggi setiap bentuk kebaikan, kasih persaudaraan dan kebenaran yang terdapat dalam kebudayaan. Gereja pun mengungkapkan diri dalam unsur-unsur kebudayaan setelah dilakukan refleksi teologis yang sesuai dengan Injil, tradisi, dan magisterium. Dalam perjumpaan dengan kebudayaan setempat, Gereja diperbarui dan sekaligus memperbarui beberapa unsur kebudayaan dengan kekuatan Injil.

8. Gereja mengakui bahwa Allah telah menyatakan karya-karya agung melalui pelbagai peristiwa keselamatan yang dituturkan dari generasi ke generasi lain. Dalam pertemuan dengan kebudayaan, Gereja ternyata mengenali aneka wajah Yesus, sebagai gembala yang baik, inspirator, guru, pengampun, raja damai, dan terutama pengasih tanpa batas dan syarat.

9. Dalam pelbagai kisah mengenai dialog dengan agama dan kepercayaan, para peserta SAGKI ternyata menyadari bahwa Gereja mampu menemukan nilai-nilai injili yang dihidupi oleh para penganut agama dan kepercayaan. Maka, Gereja perlu keluar dari dirinya sendiri, menjumpai para pemeluk agama dan penganut kepercayaan, sebagaimana yang diperlihatkan dan diajarkan oleh Yesus yang berani terbuka dan mengambil inisiatif untuk menyeberangi batas-batas agama – budaya (bdk. Yoh 4). Melalui perjumpaan tersebut, Gereja ditantang untuk menilai kembali pemahaman imannya akan Yesus Kristus. Kecuali itu, gambaran Gereja tentang Yesus juga diteguhkan.

10. Gereja mendengarkan ajakan Yesus untuk dengan rendah hati belajar beriman dari setiap orang yang beragama dan berkepercayaan (bdk. Mat 8: 10; Luk 7: 9). Gereja disadarkan akan pentingnya mewujudkan iman yang mendalam akan Kristus dalam tindakan-tindakan kemanusiaan dan mengungkapkannya dalam ibadat. Dengan belajar dari Yesus yang berwajah lembut, penuh empati, dan pendoa, Gereja mengembangkan kerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik yang berasal dari pelbagai agama dan kepercayaan untuk mengembangkan dialog dan aksi-aksi kemanusiaan demi terwujudnya perdamaian (bdk. Mat 9: 13).

11. Sementara itu, kisah-kisah pergumulan hidup kaum terpinggirkan dan terabaikan menyadarkan para peserta SAGKI bahwa Gereja harus mengakui proses pemiskinan merupakan pencideraan manusia yang adalah citra Allah yang luhur, mulia, dan kudus (bdk. Kej 1:26-27). Hidup dalam kemiskinan sesungguhnya merupakan keadaan serba terbatas dalam sandang, pangan, papan, dan kehilangan akses terhadap hak-hak dasar. Gereja memandang pribadi si miskin sebagai “pewahyu” wajah Yesus yang sedang menderita, yang terluka, tabah, menangis, karena Yesus hadir dalam dirinya yang miskin, menderita, tertekan dan susah (bdk. Mat 25: 31-46).

12. Meneladani Yesus, Sang Penyelamat, Pembebas, Penolong, Pembawa Harapan, Gereja wajib solider dengan orang miskin. Solidaritas itu dinyatakan melalui keberpihakan dan pemberdayaan orang miskin, tindakan berbagi serta keterlibatan secara aktif dalam memperbaiki struktur atau sistem yang tidak adil, dan memelihara lingkungan hidup.


REKOMENDASI

13. Setelah pengayaan melalui proses narasi publik, sharing kelompok, pleno, dan refleksi teologis, kami sampai pada sejumlah rekomendasi berikut ini, yang merupakan misi perutusan Gereja agar seluruh keuskupan menanggapinya dalam program keuskupan.

13.1. Kami berkomitmen untuk melanjutkan dialog dengan kebudayaan setempat supaya kami semakin mampu mengenali dan menghadirkan wajah Yesus dalam kebudayaan.

13.2. Kami juga berkomitmen untuk menciptakan model-model baru dalam pewartaan dan katekese dengan metode naratif serta menggunakan pelbagai bentuk kesenian.

13.3. Tidak kurang juga komitmen kami untuk mengembangkan katekese naratif bagi anak-anak, yang sesuai dengan zaman, tempat dan budaya.

13.4. Kami akan meneruskan dan meningkatkan kerja sama dan dialog antar-umat beragama yang sudah dilaksanakan oleh Gereja di setiap tingkatan.

13.5. Kami merasa wajib mengembangkan sikap rela merendahkan diri dengan telinga seorang murid yang selalu siap mendengarkan.

13.6. Kami bertekad mengedepankan pewartaan lewat kesaksian hidup dan melakukan aksi-aksi kemanusiaan baik secara pribadi (orang per orangan), Gereja sendiri sebagai komunitas beriman maupun dalam kerja sama dengan pelbagai lembaga untuk memerdekakan orang miskin dari cengkeraman kemiskinan dan peminggiran.

13.7. Kami berkomitmen untuk menghidupi spiritualitas yang memerdekakan. Untuk itu diperlukan pertobatan hati yang mendalam dan diwujudkan secara nyata dalam aksi solidaritas. Para petani, nelayan, buruh, kelompok terabaikan, dan terpinggirkan perlu didampingi secara pastoral. Tidak kalah pentingnya, kami memelihara lingkungan hidup.


PENUTUP


14. Pada akhirnya, kami semakin diteguhkan bahwa kesaksian kami untuk menghadirkan Kristus di tengah masyarakat dapat terjadi secara efektif melalui komunitas-komunitas basis gerejawi. Kami percaya bahwa Roh Kudus membimbing dan menyertai Gereja dalam upaya mengenali dan mencintai wajah Yesus dalam keanekaragaman budaya, dalam dialog dengan agama dan kepercayaan, dan dalam pergumulannya dengan dan bersama orang-orang yang dipinggirkan dan diabaikan. Dan sebagaimana Maria selalu menyertai Puteranya, kami yakin bahwa Bunda Maria menyertai dan mendoakan kami.



Caringin, 5 November 2010

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia


Untuk liputan selengkapnya silakan click:

http://pujasumarta.multiply.com/journal/item/280/SIDANG_AGUNG_GEREJA_KATOLIK_INDONESIA_2010_7

"Sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja" (Tit 1:1-9; Mzm 24:1-5; Luk 17:1-6)


"Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya. Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini. Jagalah dirimu! Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia." Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: "Tambahkanlah iman kami!" Jawab Tuhan: "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu." (Luk 17:1-6), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• Orang yang tidak atau kurang beriman memang dapat menjadi batu sandungan bagi orang lain atau penyesatan, sebaliknya orang yang sungguh beriman menumbuhkan, membangkitkan dan meneguhkan mereka yang lemah lesu dan tak bergairah dalam kehidupan. "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar bidi sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu", demikian sabda Yesus. Maka sebagai orang-orang beriman marilah kita mawas diri: sejauh mana cara hidup dan cara bertindak kita dijiwai oleh iman, sehingga segala sesuatu yang baik yang kita dambakan senantiasa menjadi kenyataan alias terwujud, kita senantiasa sukses atau berhasil dalam tugas pengutusan atau pekerjaan kita masing-masing. Jika kita memiliki dambaan, cita-cita atau harapan yang indah, baik dan mulia, hendaknya hal itu dijiwai oleh iman. Dambaan, cita-cita atau harapan tersebut kita pikirkan sungguh-sungguh dan kemudian kita komunikasikan kepada orang lain, sehingga apa yang kita pikirkan tersebut mempengaruhi jaringan syaraf dan otot kita untuk mewujudkannya. Dengan ini kami berseru kepada mereka yang merasa dalam penderitaan atau kesengsaraan: milikilah iman dan sekecil apapun iman anda teguhkan dengan harapan dan kasih, sehingga anda akan memperoleh jalan untuk melepaskan diri dari penderitaan atau kesengsaraan. Meneguhkan dengan harapan dan kasih berarti dalam penderitaan atau kesengsaraan tetap bergairah dalam menghayati panggilan atau melaksanakan tugas pengutusan, bekerja keras melaksanakan apa yang menjadi tugas atau pekerjaannya.

"Sebagai pengatur rumah Allah seorang penilik jemaat harus tidak bercacat, tidak angkuh, bukan pemberang, bukan peminum, bukan pemarah, tidak serakah, melainkan suka memberi tumpangan, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri dan berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya" (Tit 1:7-9). Kutipan ini kiranya baik menjadi permenungan, refleksi atau pedoman hidup bagi para pengurus paguyuban umat Allah atau umat beriman, seperti pastor/pendeta/kyai, pengurus dewan paroki/jemaat/masjid, para ketua lingkungan/stasi/wilayah, dst.. Memang kemungkinan jarang ada pribadi yang seideal seperti diungkapkan oleh Paulus kepada Titus di atas ini, namun demikian kami berharap marilah saling membantu dan mengingatkan sebagai sesama `penilik jemaat' dalam rangka mengusahakan cara hidup dan cara bertindak sebagaimana diharapkan tersebut. Satu hal yang mungkin baik saya angkat di sini yaitu perihal pentingnya berkata benar sesuai dengan ajaran yang sehat, maklum apa yang dikatakan oleh para `penilik jemaat' pada umumnya disegani atau ditaati oleh jemaat. Maka kami berharap kepada para `penilik jemaat' untuk tidak berhenti mendidik, membina dan mengembangkan diri sendiri sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Salah satu kunci untuk mengetahui apakah apa yang kita katakan sesuai dengan ajaran sehat adalah yang kita katakan menambah keimanan, harapan dan cintakasih para pendengar. Mereka yang mendengarkan perkataan kita semakin beriman, semakin bergairah dan dinamis dan semakin berkasih-kasihan dalam hidup sehari-hari. Kami berharap kepada seluruh umat Allah atau jemaat: hendaknya tidak takut mengingatkan atau menegor para penilik jemaat yang cara hidup serta cara bertindaknya tidak sesuai seperti yang diharapkan oleh Paulus di atas.

"TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya. Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya di atas sungai-sungai. "Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus?""Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu. Dialah yang akan menerima berkat dari TUHAN dan keadilan dari Allah yang menyelamatkan dia" (Mzm 24:1-5).


Jakarta, 8 November 2010



Romo. Ign. Sumarya, SJ.

Rakyat Tulus Berbagi

Hampir sepekan Mulyadi (52), warga Desa Winong, Kecamatan Boyolali Kota, Jawa Tengah, ini berbagi ruang dengan para pengungsi. Ia menyediakan rumahnya yang ”hanya” memiliki empat kamar untuk sekitar 125 pengungsi bencana Merapi asal Kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali.

Upaya Mulyadi membantu para pengungsi tak berhenti di situ. Bersama tiga tetangganya, yang juga menyediakan rumahnya, saban hari ia menyiapkan makanan bagi sekitar 250 orang pengungsi. Sabtu (6/11/2010) pagi, rumah Pak Guru, panggilan Mulyadi, mulai dari teras, ruang tamu, ruang belakang, hingga kamar tidur penuh dengan para pengungsi.

Karena menampung begitu banyak pengungsi, rumah seukuran 250 meter persegi itu menjadi ”milik” bersama. Mulyadi harus siap hidup berdampingan dengan orang lain, yang tadinya tidak pernah ia kenal.

Sudah pasti risikonya, ia juga harus siap dengan sejumlah perbedaan kebiasaan. Walau kemudian gagang pintu kamar mandinya serta keran dispensernya rusak, Mulyadi menyikapinya dengan ikhlas.

”Ya, namanya juga dari gunung, saya maklum saja, ha-ha-ha,” tutur Mulyadi.

Tak perlu kenal untuk saling berbagi. Itulah yang mendorong mantan guru ini menyediakan rumahnya sebagai tempat pengungsian. ”Saya senang bisa berguna buat orang lain,” katanya.

Perasaan senasib juga sering kali mendorong sikap toleran dan kebutuhan untuk saling membantu. Di antara sesama pengungsi pun solidaritas menggema di mana-mana. Ketika diminta mengungsi, Narti (42), warga Dusun Kopeng, Desa Kepuhan, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah, sedang berada di ladang.

Oleh sebab itu, ia hanya sempat membawa sebuah selimut. ”Saat ngungsi, selimut satu kami pakai bersama,” katanya. Bahkan, para pengungsi di Gedung Koperasi Republik Indonesia, Kecamatan Borobodur, yang jumlahnya mencapai 150 orang ini, juga menggunakan sabun mandi secara bersama-sama.

Seorang perempuan bernama Jumini (30), yang mengungsi terpisah dengan suaminya, sering kali merasa terharu. Warga Desa Paten, Kecamatan Dukun, Magelang, ini berterima kasih kepada sesama pengungsi lantaran mereka setiap kali menyuapi Kiki (3), anaknya. ”Di pengungsian, Kiki jadi anak bagi banyak orang,” tutur Jumini sambil menyeka air matanya yang meleleh sampai pipinya.

Biskuit

Sikap berbagi juga ditunjukkan oleh para anak. Lihatlah Kuat (7), bocah pengungsi asal Dukuh Gowoksabrang, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Magelang. Kuat yang sedang ditampung di tempat pengungsian sementara Palbapang, Muntilan, bersama Eni (45), ibunya, tiba-tiba membagi biskuit kepada seorang anak yang sedang menangis dalam gendongan ibunya.

”Baru kali ini dia mau memberikan jajan miliknya kepada orang lain. Kuat biasanya selalu menyimpan makanannya sendiri,” tutur Eni.

Di tempat pengungsian sementara di Pabrik Kertas Blabak, Magelang, Sani (45) membagikan puluhan ikat kedelai kepada beberapa pengungsi. Kedelai rebus itu berasal dari ladangnya sendiri di Desa Kapuhan, Kecamatan Sawangan, kira-kira 13 kilometer dari tempat pengungsian. Sani bersama beberapa orang sengaja kembali ke desanya untuk memanen kedelai yang kemudian ia bagi kepada sesama pengungsi.

”Kami baru kenal di pengungsian. Karena banyak yang tidak kebagian jatah makan, saya kembali ke desa untuk memanen kedelai,” kata Sani. Ia tahu, kembali ke desa berarti menempuh risiko karena Desa Kapuhan termasuk dalam zona berbahaya.

Kampus

Solidaritas juga terlihat demikian kuat di kalangan kampus. Saat Merapi meletus pada Jumat (5/11/2010) dini hari, beberapa universitas di Yogyakarta meliburkan perkuliahan dan menyerukan kepada mahasiswa mereka untuk menjadi relawan. Selain itu, beberapa universitas menyiapkan kampus mereka sebagai tempat penampungan para pengungsi.

Di Gelanggang Olahraga (GOR) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kini ditampung tak kurang dari 590 pengungsi yang sebagian besar berasal dari Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, DI Yogyakarta. Saat mendapat instruksi untuk menampung para pengungsi, para mahasiswa bahu-membahu menyiapkan ruangan.

”Kami khusus mencari warga Hargobinangun agar mereka bisa berkumpul bersama keluarganya,” tutur Humas Posko Merapi UNY Akhmada Khasby Ash Shidiqy (22). Akhmad bergabung bersama 300 mahasiswa UNY menjadi relawan membantu para pengungsi.

Universitas yang juga spontan menyediakan ruangan kampus mereka untuk menampung pengungsi, di antaranya Universitas Gadjah Mada, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran”, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Di rumah warga, kampus, dan berbagai tempat penampungan lain, para pengungsi yang sebelumnya tidak saling mengenal kini harus hidup bersama.

Merangkul manusia

Kebersamaan itu membutuhkan toleransi dan membuang jauh-jauh egoisme. Melihat spontanitas dan ketulusan warga, rohaniwan Romo Kirjito mengatakan, Merapi sedang merangkul manusia. Erupsi gunung teraktif di Jawa itu telah menggerakkan manusia untuk memerhatikan sesama.

”Dalam peristiwa itulah rasa kemanusiaan mengalahkan segala-galanya. Semangat hidup berbagi untuk sesama menemukan jawabannya di tengah-tengah bangsa yang sedang mengalami krisis kemanusiaan ini,” ujar Romo Kirjito.

Masalahnya memang sering kali perasaan solidaritas sosial itu baru tumbuh dan membesar di saat-saat krisis. Tetapi, rasa itu tumbuh secara sporadis, tidak diorganisasikan secara masif sehingga menjadi modal kebersamaan yang besar. Solidaritas rakyat yang murni tanpa pamrih. (GAL/HEN/EGI/WHO/ ENY/IRE/BSW/CAN) (Editor: Jimmy Hitipeuw - Kompas Cetak)

SMS Kematian Versus Iman

Tanggal 26-12-1998…..Kerusuhan Poso, Tanggal 26-12-2004…. Gempa dan Tsunami di Aceh, tanggal 26-05-2006, Gempa bumi Jogjakarta, 26-06-2010, Gempa Tasikmalaya, 26-10-2010, Meletusnya Merapi dan Gempa serta Tsunami di Mentawai…Bacalah Hagai 2:6……..sebarkan jika ingin selamat, demikian bunyi sms dari tangan orang-orang beragama dan beriman setelah terjadi bencana meletusnya Gunung Merapi yang disusul dengan gempa dan tsunami di Mentawai. Ketika menerima bunyi sms di atas saya cuman menjawab: Hehe…Kacian dech Loe sms kok dipercaya…berarti Tuhan itu jahat dunk…Ada yang membalas; Tuhan tidak jahat…tetapi untuk kita renungkan. Jawabku; bagaimana saya bisa merenung kalau ayat dari teks yang disebutkan di atas saja salah….memangnya kalau kita mau mati atau bangkit, tunggu sms duluh yah dari Tuhan…..

Para Sahabat….

Kita kadang seperti orang-orang Farisi yang selalu menghubungkan peristiwa yang terjadi di dunia ini dengan kenyataan kehidupan lain yang di luar kuasa pengetahuan kita selain mengimani. Orang Farisi menyangka bahwa perkawinan yang terjadi di dunia ini, juga akan terjadi setelah kematian. Sama seperti kita; menghubungkan bencana yang terjadi dengan apa yang ada dalam Kitab Suci, yang sebenarnya merupakan kesalahan penafsiran seperti kesalahan penafsiran orang Farisi tentang Kebangkitan orang mati. Dengan klaim sms di atas, seakan-akan menunjukkan bahwa apa yang dialami oleh saudara-saudari kita baik di Wasior, Lereng Merapi dan Mentawai atau Aceh dan Poso merupakan kutukan dan kehancuran yang diberikan oleh Tuhan. Jika demikian maka kita telah mengklaim Tuhan adalah jahat. Namun kiranya tidak demikian. Klaim sms di atas seakan-akan mengungkapkan bahwa kematian yang dialami oleh saudara-saudari kita baik di Wasior, Aceh, Poso, Mentawai dan Lereng Merapi itu adalah sebuah kehancuran. Jika demikian, untuk apa Allah menunjukan belas kasih dan pengharapan kepada kita melalui peristiwa salib dan kebangkitan Yesus Kristus yang kita imani?.

Apakah kita juga akan diselamatkan atau dibangkitkan? Bagaimana sich situasi kebangkitan? Kebangkitan sebagaimana yang dijelaskan oleh Yesus dalam bacaan Injil (Luk 20:27-38) bagi kita orang beriman, tidak semat-mata menunggu kita meninggal, melainkan juga menyangkut PERUBAHAN PARADIGMA atau cara pandang terhadap segala situasi yang kita alami di dunia ini dalam hubungannya dengan Allah. Kebangkitan adalah PERUBAHAN CARA DAN SEMANGAT HIDUP kita yang ketika menghadapi persoalan atau masalah dalam keluarga, pekerjaan dan bencana sebagaimana yang dialami saat ini selalu menjadikan Allah pada posisi yang “dipersalahkan”. Yesus menegaskan bahwa Kebangkitan pertama-tama adalah IMAN, KESATUAN hidup dengan Allah yang dalam segala situasi, bahkan penderitaan sekalipun tidak pernah tergoyahkan. Kebangkitan adalah PERSATUAN, HIDUP BARU DALAM DAN BERSAMA BELAS KASIH ALLAH. Persatuan, hidup Baru dalam dan bersama Kasih Allah hanya bisa kita alami ketika kita menjadikan Yesus Kristus sebagai pusat kehidupan kita untuk membangun persatuan dengan sesama, membangun semangat hidup baru dalam kekuatan iman dan pengharapan dan bukannya melalui sms-sms penghakiman yang tak beriman. Yang menjadikan Yesus sebagai PUSAT HIDUPNYA (Pegangan dan pengharapan) adalah yang tidak pernah tergoyahkan oleh situasi apapun termasuk tidak menyalahkan Allah “Yah ini Kehendak Allah” apalagi menyebarkan dan menghubungkan serta mempercayai sms-sms yang bernada seakan-akan merasa diri paling baik dan bahwa kejadian sebagaimana yang dialami sesama kita di Lereng Merapi dan Mentawai merupakan kehendak Allah dan peringatan bagi manusia (bdk. 2Mak 7:1-2,9-14).

Satu hal yang kita imani bahwa BELAS KASIH ALLAH sama bagi siapapun setelah kehidupan kita di dunia ini. Baiklah kita BANGKIT dari cara pandang kita yang seakan-akan mengetahui segala hal atas setiap peristiwa yang terjadi selama di dunia ini sebagaimana orang-orang Farisi, BANGKIT untuk membangun kesatuan dan persatuan dengan Allah dan sesama serta dengan semesta dalam iman bahwa persatuan dengan Allah setelah kehidupan di dunia ini adalah persatuan yang semata-mata karena BELAS KASIH ALLAH MELALUI YESUS KRISTUS dan bukannya melalui perkawinan atau tidak, bukan pula kehendak kita manusia, ataupun sms-sms kematian yang membuat orang beriman pun takut dan percaya. Yesus telah menjadi jalan keselamatan, penghiburan dan pengharapan bagi kita, maka sebagai orang-orang yang dibangkitkan dalam Kristus kitapun diajak untuk menjadi jalan penghiburan dan pengharapan melalui tindakan nyata bagi sesama kita (Kebangkitan sejati)-(bdk 2Tes 2:16-3:5) dan bukannya menjadi jalan peramal yang menakutkan melalui sms-sms tak beriman…..


Satu dalam iman

07 November 2010

Lie Jelivan, MSF