Pesta Pemberkatan Gereja Basilik Lateran: (Yeh 47:1-2.8-9.12/1Kor 3:9c-11.16-17; Mzm 46:2-3.5-6.8-9; Yoh 2:13-22)

“Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan”

Setelah makan siang bersama, di siang bolong, panas terik, hari itu saya berjalan-jalan di area halaman gereja dan pastoran. Tiba-tiba di anak tangga pintu gereja ada sepasang pemuda duduk termenung, saling diam dan tidak berbicara apapun. Saya tergerak mendekatinya dan kemudian menyapa mereka:” Selamat siang”. “Selamat siang Pater”, jawab mereka. “Ada apa, siang-siang begini duduk di sini?”, pertanyaan saya kepada mereka. “Ya Pater, di rumah rasanya gerah dan panas, karena bapak-ibu bertengkar terus, maka saya merasa damai, tenang dan tentram duduk-duduk di sini”, demikian jawaban mereka. Gedung gereja hanyalah batu-batu, semen dst.. yang ‘mati’, namun dapat membuat orang yang dekat atau berada di dalamnya merasa damai, tenang dan tentram. Maka baiklah pada hari saya “Pesta Pemberkatan Gereja Basilik Lateran”, yang menjadi gereja resmi Paus, hari ini saya sampaikan permenungan atau refleksi sederhana, semoga dapat menjadi bahan mawas diri bagi kita semua.
"Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan."(Yoh 2:16)

Gedung gereja, seperti tempat-tempat ibadat lainnya, adalah tempat atau bangunan yang telah diberkati atau disucikan. Siapapun yang mendatangi, masuk ke dalam atau berada dalam bangunan sebagai tempat ibadat tersebut diharapkan semakin menjadi suci, semakin dikasihi oleh dan mengasihi Tuhan maupun sesamanya. Menjadi ‘suci’ atau ‘disucikan’ berarti dipersembahkan atau disisihkan sepenuhnya kepada Tuhan, sehingga apa atau siapa yang telah disucikan/diberkati diharapkan berfungsi sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan. Yang sering menjadi gangguan atau hambatan dalam rangka menghayati kehendak Tuhan dalam hal urusan dengan tempat ibadat ini antara lain ‘sikap terhadap uang atau harta benda’. Pada umumnya ‘tempat ibadat’ juga lebih mudah ‘mendatangkan’ uang atau harta benda, misalnya bantuan untuk membangun tempat ibadat atau sumbangan/persembahan/kolekte yang dipersembahkan selama beribadat. “Uang atau harta benda” memang dapat menjadi ‘jalan’ ke neraka atau ke sorga, dan kiranya kita semua berharap dengan uang atau harta benda yang kita miliki dan kuasai kita kelak dapat masuk sorga, hidup mulia bersama Allah selama-lamanya.

Maka menanggapi sabda Yesus yang keras di atas, kami mengajak anda sekalian untuk mawas diri perihal pemanfaatan uang atau harta benda yang diperoleh selama beribadat atau dalam rangka pembangunan/perawatan rumah ibadat. Dalam Gereja Katolik ‘uang atau harta benda’ yang demkian itu disebut ‘harta benda gerejani’ yang harus difungsikan untuk “tujuan-tujuan khas..terutama ialah: mengatur ibadat ilahi, memberi sustensi yang layak kepada klerus serta pelayan-pelayan lain, melaksanakan karya-karya kerasulan suci serta karya amal kasih, terutama terhadap mereka yang berkekurangan” (KHK kan 1254 $ 2):

“Mengatur ibadat ilahi”. Dalam beribadat kita membutuhkan aneka macam sarana-prasarana yang diharapkan mendukung kegiatan beribadat, misalnya: tempat/gedung dan peralatan liturgi,. Dalam hal tempat atau gedung sekiranya belum ada kiranya perlu diusahakan, sedangkan jika kita telah memiliki tempat/gedung hendaknya dirawat sebaik mungkin: kebersihan, keteraturan, keindahan dst.. Peralatan yang mendukung untuk beribadat misalnya: pakaian imam dan para pembantunya, tempat duduk, peralatan untuk perayaan ekaisti, sound system dst.. hendaknya juga diperhatikan dengan baik dan memadai. Terkait dengan ibadat kiranya juga perlu diperhatikan pembinaan cara berdoa maupun bernyanyi/koor, yang juga perlu beaya-beaya atau tempat khusus untuk pembinaan.


“Memberi sustensi yang layak kepada klerus serta pelayan-pelayan lain”. “Sustensi” berasal dari kata bahasa Latin “sustento/sustentare” yang antara lain berarti memegang tegak, menegakkan, menopang, menjunjung ke atas, mencegah jatuhnya. ‘Para klerus serta pelayan-pelayan lain’ adalah pastor/imam, para pegawai pastoran maupun paroki ; mereka ini harus memperoleh perhatian dan dukungan yang baik dan memadai dalam hal kebutuhan hidup sehari-hari maupun sarana-sarana yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas perutusan atau pekerjaan. Jika mereka kurang memperoleh perhatian yang baik dan memadai kiranya ada bahaya atau godaan bagi mereka untuk korupsi atau menyeleweng, “berjualan di tempat ibadat atau komersial dalam melaksanakan tugas perutusannya”. Para klerus serta pelayan-pelayan lain hendaknya hidup dengan sederhana serta tidak bermental bisnis atau materialistis, secara khusus para klerus hendaknya menjadi teladan bagi umat yang dilayani dalam hal kesederhanaan, menjadi saksi Yesus Kristus, “yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.” (2Kor 8:9). Kepada umat pada umumnya kami berharap juga tidak memanjakan para klerus/imam/pastor paroki.

“Melaksanakan karya-karya kerasulan suci”. Apa yang termasuk dalam kerasulan suci erat kaitannya dengan tugas Gereja untuk ‘mengajar dan menguduskan’, seperti kotbah, retret/rekoleksi, katekese/pengajaran agama dan sakramen-sakramen. Dengan kata lain berbagai kegiatan atau usaha untuk pembinaan maupun pengembangan atau pendalaman iman umat. Karya-karya ini kiranya perlu memperoleh perhatian yang baik dan memadai sehingga umat semakin beriman, dan jika iman umat mendalam kiranya mereka juga rela dan dengan hati besar berkorban menyumbangkan sebagian kekayaan atau harta untuk kepentingan Gereja (ingat: uang atau harta benda gerejani berasal dari umat dan hendaknya juga difungsikan untuk pembinaan, pengembangan dan pendalaman iman umat). Secara konkret di dalam Gereja juga ada paguyuban umat seperti: Kharismatik, Legio Mariae, ME, Choice, Couple for Christ, Ibu-ibu paroki, muda-mudi paroki, PIA/Sekolah Minggu, kelompok-kelompok professional seperti guru, pengusaha, perawat, dst.. Paguyuban-paguyuban ini hendaknya memperoleh perhatian yang baik dan memadai, baik hal pendanaan maupun tenaga.

“Melaksanakan karya amal kasih, terutama terhadap mereka yang berkekurangan”. Yang termasuk dalam karya amal kasih ini adalah karya-karya pelayanan bagi masyarakat umum seperti sosial, kesehatan dan pendidikan. Maka baiklah mereka yang berkarya di karya pelayanan ini hendaknya sungguh memperhatikan ‘mereka yang berkekurangan’, termasuk mereka yang menjadi korban bencana alam maupun penggusuran di kota-kota besar. Uang atau harta benda yang diperoleh oleh lembaga/yayasan yang mengelola karya-karya ini hendaknya difungsikan sesuai dengan ‘maksud pemberi’ (‘intentio dantis’), artinya uang atau harta benda yayasan/lembaga sosial hendaknya dimanfaatkan untuk pengembangan karya-karya sosial, uang atau harta benda yang diperoleh yayasan/ lembaga kesehatan harus dimanfaatkan untuk pengembangan karya-karya kesehatan dan uang atau harta benda yang diperoleh yayasan/lembaga pendidikan harus dimanfaatkan untuk pengembangan karya pendidikan.

“Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu“ (1Kor 3:16-17)

Dalam rangka mengenangkan Pemberkatan Gereja Basilik Lateran hari ini, baiklah kita juga mawas diri bahwa masing-masing dari kita adalah bait Allah dan Roh Allah diam di dalam diri kita. Kita, manusia diciptakan oleh Allah sesuai dengan gambar atau citra-Nya, dengan kata lain masing-masing dari kita dipanggil untuk menjadi ‘gambar atau citra Allah’ serta melihat dan memperlakukan sesama sebagai ‘bait Allah’.

Kita sebagai “gambar atau citra Allah”, yang juga berarti Roh Kudus diam di dalam diri kita, berarti dari kita diharapkan ‘lahir’ buah-buah Roh seperti : “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.” (Gal 5:22-23). Keutamaan-keutamaan ini harus menjadi nyata atau terwujud dalam cara berkata maupun cara bertindak setiap hari, dalam kesibukan, hidup bersama kita di manapun dan kapanpun. Sebagaimana kita imani bahwa Allah hadir dimana saja dan kapan saja, kiranya terutama dan pertama-tama Allah hadir dan berkarya dalam diri kita, manusia, ciptaan yang paling luhur di dunia ini. Tanda bahwa kita semua menjadi ‘gambar dan citra Allah’ antara lain kehidupan bersama kita sungguh manusiawi, dan dengan demikian terbuka juga pada Yang Ilahi. Harkat martabat manusia dijunjung tinggi, dihormati dan diutamakan dalam berbagai kebijakan maupun kegiatan; secara konkret hemat saya, entah di tingkat keluarga atau pemerintahan pendidikan atau pembinaan manusia memperoleh perhatian utama, bukan uang, harta benda atau barang.

Kita dipanggil untuk ‘melihat dan memperlakukan sesama kita sebagai bait Allah”. Rasanya kita ketika memasuki ‘bait Allah’ atau tempat ibadat senantiasa bersikap rendah hati, tenang/hening dan penuh hormat, maka sikap-sikap ini juga menjadi nyata ketika kita berhadapan dengan sesama manusia, yang menjadi ‘bait Allah’. “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.” (Rm 12:10), demikian nasehat Paulus kepada umat di Roma, kepada kita semua. Hormat kiranya tidak hanya kita tujukan kepada para pejabat atau petinggi saja, tetapi kepada semua manusia, lebih-lebih mereka yang kecil, miskin dan berkekurangan. Dalam orang atau kelompok sesama manusia yang kecil, miskin dan berkekurangan kiranya lebih banyak dapat kita temukan keutamaan-keutamaan atau nilai-nilai kehidupan daripada dalam diri orang besar, kaya dan berkelebihan. "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil.” (Mat 11:25).

"Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku." (Yoh 2:17)

Yang dimasksudkan dengan ‘rumah’ di sini adalah tubuh Yesus sendiri, yang harus wafat di kayu salib untuk menyelamatkan dunia yang diciptakan oleh Allah dan menjadi tempat Allah hidup dan berkarya. Karena dunia tidak peduli alias meninggalkan Allah, sehingga menuju ke kehancuran, maka siapapun yang memiliki kepedulian untuk mengembalikan dunia seisinya menjadi ‘bait Allah’ memang harus berani berjuang dan berkorban, termasuk mengorbankan diri sendiri, sebagaimana telah dihayati oleh para pahlawan, pejuang kebenaran dan perdamaian serta para santo-santa. Kita semua dipanggil untuk meneladan mereka, maka secara khusus pada pesta Pemberkatan Gereja Basilik Lateran ini kami mengajak kita semua untuk mengenangkan para santo-santa yang menjadi pelindung maupun nama baptis kita, dengan harapan kita dapat meneladannya agar kita sungguh semakin menjadi ‘bait Allah’.

“Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; Kota Allah, kediaman Yang Mahatinggi, disukakan oleh aliran-aliran sebuah sungai. Allah ada di dalamnya, kota itu tidak akan goncang; Allah akan menolongnya menjelang pagi”

(Mzm 46:2-3.5-6)



Pesta Pemberkatan Basilik Lateran, 9 November 2010

Romo. Ignatius. Sumarya, SJ