HOMILI: Hari Minggu Prapaskah III (Kel 3:1-8a.13-15; Mzm 103:1-4; 1Kor 10:1-6.10-12; Lk 13:1-9)

“Biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!"

Rasanya apa yang di dunia ini, manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan tidak ada yang sempurna, dan tentu saja hal itu disebabkan oleh kelemahan dan keterbatasan manusia sebagai ciptaan terluhur dan termulia di dunia ini. Karena pola hidup yang tidak sesuai dengan kehendak Allah, maka apa yang dilakukan oleh manusia ada kemungkinan membuat manusianya sendiri menderita sakit. Dan memang kita semua sebagai manusia memiliki kecenderungan kuat untuk hidup seenaknya, yang berdampak pada diri kita sendiri menjadi semakin lemah dan harus bekerja keras untuk mencapai sukses atau keberhasilan yang memadai. Agar semuanya dapat tumbuh berkembang dengan baik dan benar, entah manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan, memang dibutuhkan orang yang ‘mencangkul dan memberi pupuk’ dan tentu saja dalam ‘mencangkul dan memberi pupuk’ juga harus memadai. Sabda hari ini mengajak dan mengingatkan kita semua, bahwa jika kita tidak bertobat alias memperbaiki cara ‘mencangkul dan memupuk’ kita akan mengalami kebinasaan, maka marilah dengan rendah hati kita renungkan pesan sabda hari ini.

"Seorang mempunyai pohon ara yang tumbuh di kebun anggurnya, dan ia datang untuk mencari buah pada pohon itu, tetapi ia tidak menemukannya.Lalu ia berkata kepada pengurus kebun anggur itu: Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma! Jawab orang itu: Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!"(Luk 13:6-9)

Yang dimaksudkan dengan pemilik kebun anggur di sini bagi kita adalah Allah, yang telah menciptakan kita, manusia, dan diberi tugas untuk mengurus atau mengelola bumi seisinya demi kebahagiaan dan keselamatan manusia, sebagaimana disabdakan: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kej 1:28). Kita, manusia dipanggil untuk meneruskan karya penciptaan Allah maupun mengelola ciptaan-ciptaan-Nya di permukaan bumi ini.

Pertama-tama marilah kita renungkan panggilan “Beranakcuculah dan bertambah banyak”, yang kiranya hal ini lebih kena bagi mereka yang terpanggil hidup berkeluarga, sebagai suami-isteri. Ada kekuatiran terjadi ledakan jumlah penduduk di bumi ini, sehingga di sana-sini diberlakukan pembatasan kelahiran, sebagaimana di Indonesia ‘dua anak cukup’. Rasanya yang mendasari atau menjiwai kebijakan ini adalah materi atau ekonomi, dan kurang memperhatikan sisi atau hal spiritual. Pengalaman menunjukkan bahwa generasi muda masa kini, yang notabene menjadi korban pembatasan kelahiran, dimana mereka berasal dari keluarga kecil, ada kecenderungan kurang peka terhadap orang lain, hidup manja, tidak rela menderita atau berkorban bagi orang lain, enggan berjuang dan bekerja keras, dst… Maka sungguh merupakan tantangan berat dan mulia bagai para guru atau pendidik yang membantu orangtua dalam mendidik anak-anak mereka, sebagaimana juga kami alami di Seminari Menengah Mertoyudan. Motivasi ekonomis, cari enak sendiri dalam pembatasan kelahiran berdampak pada anak-anak untuk bersikap mental materialistis dan hedonis.

Akibat keserakahan beberapa orang dalam rangka mengeruk dan mengambil kekayaan alam demi bisnis atau alasan ekonomi, maka manusia tidak menguasai atau menaklukkan ikan, burung dan binatang-binatang, melainkan terbalik: manusia dikusai olehnya. Dengan kata lain ‘ikan, burung, tanaman atau binatang’ menjadi ‘tuan’ mereka. Kerusakan hutan dan ekosistem telah mengancam kehidupan umat manusia, sebagaimana terjadi saat ini dengan ‘pemanasan global’, yang berdampak pada banjir, tanah longsor dst..

Sabda hari ini mengajak dan mengingatkan kita semua bahwa dalam berpartisipasi dalam karya penciptaan dan penyelenggaraan Allah diharapkan mengikuti proses sebagaimana dikehendaki oleh Allah. Marilah kita ‘mencangkul dan memupuk’ sesuai dengan kehendak Allah. Bagi mereka yang sedang tugas belajar kami harapkan sungguh belajar sesuai dengan tuntunan dan bimbingan guru/pendidik, bagi para pekerja kami harapkan bekerja sesuai dengan aturan dan tata tertib kerja terkait. “Memupuk” juga dapat diartikan merawat atau mengurus, maka marilah kita rawat atau urus segala sesuatu yang kita miliki dan kuasai dengan baik dan benar, antara lain dengan tekun, rendah hati, teliti, cermat, sabar dan penuh kasih. Semoga dengan belajar maupun bekerja sesuai dengan tuntunan dan tatanan serta merawat dengan baik akan menghasilkan buah yang membahagiakan dan menyelamatkan, terutama kebahagiaan dan keselamatan jiwa manusia.

“Aku mau, supaya kamu mengetahui, saudara-saudara, bahwa nenek moyang kita semua berada di bawah perlindungan awan dan bahwa mereka semua telah melintasi laut. Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut. Mereka semua makan makanan rohani yang sama dan mereka semua minum minuman rohani yang sama, sebab mereka minum dari batu karang rohani yang mengikuti mereka, dan batu karang itu ialah Kristus.” (1Kor 10:1-4)

Kutipan di atas ini mengajak dan mengingatkan kita semua agar ‘mengenangkan’ para leluhur kita. Kami percaya bahwa para leluhur kita mewariskan nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan hidup yang handal dan sampai kini pun tetap memadai dan up to date untuk dihayati dan disebarluaskan. Atau jika kita sungguh mengenangkan leluhur kita kiranya kita mengetahui bahwa mereka yang mengasihi kita melalui aneka cara dan bentuk. Leluhur kita semua kiranya bapa Abraham, bapa umat beriman, maka marilah kita kenangkan keutamaan-keutamaan hidup yang telah dihayati bapa Abraham.

“Batu karang rohani” tidak lain adalah ‘iman, harapan dan cinta’, maka marilah di Tahun Iman ini kita memperdalam dan memperkembangkan iman, harapan dan cinta dalam dan melalui hidup sehari-hari, khususnya selama masa Prapaskah ini dalam aneka kegiatan yang kita ikuti. Sebagai orang yang telah dibaptis marilah kita perdalam dan perkembangkan penghayatan janji baptis “hanya mengabdi Allah saja serta menolak semua godaan setan”, sebagai anggota lembaga hidup bakti, imam, bruder atau suster, marilah kita perdalam dan perkembangkan penghayatan spiritualitas pendiri atau charisma Lembaga, sedangkan sebagai suami-isteri marilah kita perkembangkan dan perdalam hidup saling mengasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap tubuh/kekuatan sampai mati.

"Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun” (Kel 3:15), demikian firman Allah kepada Musa. Firman ini kiranya dapat menjadi bahan refleksi atau permenungan kita, maka marilah kita renungkan atau refleksikan. Sebagai umat beriman kita semua diingatkan untuk senantiasa membaktikan diri sepenuhnya kepada Allah melalui cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari dimana pun dan kapan pun, sehingga kita semua layak disebut sebagai ‘anak Allah’, yaitu orang yang senantiasa menjadi pelaksana firman Allah.

“Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku! Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya! Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu,Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat,” (Mzm 103:1-4)

Minggu, 3 Maret 2013

Romo Ignatius Sumarya, SJ