“ Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: "Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka." Lalu Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka” (Luk 15:1-3), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Perempuan perihal ‘anak hilang’ hari ini kiranya lebih terarah kepada ‘orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat’ yang bersungut-sungut karena Yesus menerima orang-orang berdosa dan makan bersama –sama dengan mereka. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat memang dikenal sebagai orang-orang sombong, yang memamerkan keunggulan diri serta melecehkan atau merendahkan orang lain; mereka juga tidak rela bahwa orang berdosa bertobat, orang bodoh menjadi pandai, dst.., dan ada kemungkinan karena mereka takut tersaingi. Salah satu cirikkas kekurangan atau kelemahan mereka adalah ‘menyendiri’ dan tak mau bergabung dengan sesamanya atau dengan siapapun tanpa pandang bulu. Dalam bergaul mereka senantiasa pilih-pilih sesuai dengan selera pribadi mereka. Sikap mental orang Farisi yang hidup dalam diri orang-orang masa kini antara lain tak mau berkumpul, bercurhat dan omong-omong, tukar pengalaman iman dan kehidupan dengan sesamanya atau rekan-rekan seiman, sepanggilan, sekampung dst.. Dalam warta gembira hari ini mereka digambarkan bagaikan ‘anak sulung’, yang kelihatan setia kepada bapanya, namun ketika ia didekati untuk bergabung dengan orang lain yang sedang bergembira karena anaknya yang hilang telah kembali, tidak mau masuk, tetap tinggal di luar saja. Dalam kehidupan biasa sehari-hari orang-orang yang suka menyendiri pada umumnya sedang mengalami krisis panggilan dan jika tetap demikian adanya dalam waktu singkat ia akan meninggalkan panggilannya. Sikap Farisi masa kini juga dapat berupa mudah mengeluh dan menggerutu terhadap situasi dan kondisi yang ada, yang pada umumnya memang kurang atau tidak sesuai dengan selera pribadi. Kepada mereka atau kita yang masih bersikap mental Farisi kami harapkan untuk bertobat atau memperbaharui diri, dan menjadi rendah hati seperti anak bungsu, yang berkata kepada bapanya: ” Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa” (Luk 15:18-19).
· “Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia? Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut. Kiranya Engkau menunjukkan setia-Mu kepada Yakub dan kasih-Mu kepada Abraham seperti yang telah Kaujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang kami sejak zaman purbakala” (Mi 7:18-20). Kutipan ini kiranya menggambar-kan Allah yang Maha Kasih dan Maha Pengampun, yang dalam Injil atau Warta Gembira hari ini digambarkan sebagai bapa yang baik. Kasih pengampunan Allah tak terbatas, dan kiranya dalam hidup sehari-hari sejak kita dilahirkan kita telah menerima kasih pengampunan Allah secara melimpah ruah melalui sekian banyak orang yang telah memperhatikan dan mengasihi kita melalui aneka bentuk. Maka kita semua sebagai orang beriman dipanggil untuk meneladan bapa yang baik, dengan rendah hati dan kasih pengampunan mendatangi orang lain yang berdosa atau kurang memperoleh kasih dan perhatian dari saudara-saudarinya. Dengan kata lain kita semua diharapkan memiliki keutamaan kepekaan social yang unggul dan handal, yang menurut pengalaman dan pengamatan saya pada masa kini sungguh memprihatinkan, karena orang kurang peka pada orang lain maupun lingkungan hidupnya. Kami berharap anak-anak di dalam keluarga dididik dan dibiasakan sedini mungkin dalam hal kepekaan terhadap orang lain, serta kemudian diperdalam di sekolah-sekolah. Cara untuk mendidik anak-anak agar peka terhadap orang lain serta lingkungan hidupnya antara lain dengan mengajak mereka berjalan-jalan, misalnya anak diharapkan sungguh mengenali dengan baik sesamanya beserta lingkungan hidupnya dalam radius satu kilometer dari tempat tinggalnya atau sekolahnya atau tempat belajarnya. Salah satu program kegiatan ko kurikuler di sekolah yang mendukung hal itu adalah ‘Pramuka’, maka semoga di sekolah-sekolah dasar maupun lanjutan pertama (SD dan SMP) semua peserta didik diwajibkan menjadi anggota Pramuka di sekolahnya.
“Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku! Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya! Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu, Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat,” (Mzm 103:1-4)
Sabtu, 2 Maret 2013
Romo Ignatius Sumarya, SJ