“Barangsiapa terbesar di antara kamu hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Yes 1:10.16-20; Mzm 50:8-9; Mat 23:1-12)


“Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: "Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi. Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dan janganlah kamu menyebut siapa pun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Mat 23:1-12), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Para pemimpin pada umumnya sering suka memberi perintah, petunjuk, arahan atau peraturan dan kebijakan, tetapi mereka sendiri tidak melaksanakan atau menghayati apa yang telah mereka katakan. Dengan kata lain mereka sungguh munafik, seperti orang-orang Farisi: melakukan perbuatan baik agar dilihat dan dipuji orang, sedangkan ketika tak dilihat orang bertindak atau berperilaku seenaknya sendiri. Sering mereka juga memberi pengarahan atau petunjuk kepada bawahannya untuk hidup dan bertindak saling melayani, namun mereka sendiri tidak melayani melainkan minta dilayani. Sabda hari ini mengajak dan mengingatkan kita semua bahwa siapapun merasa diri sebagai yang terbesar atau terkemuka, hendaknya menjadi pelayan bagi yang lain. Melayuni berarti dengan rendah hati senantiasa berusaha untuk membahagiakan mereka yang harus dilayani. Pertama-tama kami berharap kepada para orangtua atau bapak-ibu untuk senantiasa berusaha membahagiakan anak-anaknya. Hal ini tidak berarti memanjakannya, melainkan membina dan mendidik anak-anak sedini mungkin dalam hal saling melayani, maka pertama-tama mereka harus mengalami dilayani. Kebahagiaan sejati orangtua hemat terletak pada kenyataan bahwa anak-anak tumbuh berkembang sebagai pribadi yang cerdas beriman, hidup dan bertindak dalam dan dengan semangat melayani. Para orangtua hendaknya dapat menjadi teladan hidup saling melayani bagi anak-anaknya, demikian juga para pemimpin atau atasan hendaknya menjadi teladan bagi anak buah atau bawahannya dalam hidup saling melayani. Marilah kita hidup dan bertindak saling melayani, saling membahagiakan, saling menyelamatkan.

· “Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” (Yes 1:16-17). Seruan Tuhan melalui nabi Yesaya ini selayaknya kita renungkan dan hayati. Kita semua diajak untuk membersihkan diri, entah secara spiritual maupun phisik dan tentu saja terutama atau lebih-lebih secara spiritual, karena jika orang memiliki hati dan jiwa yang bersih maka yang bersangkutan pasti akan hidup dan bertindak baik kepada siapapun dan dimana pun. Orang yang bersih hati dan jiwanya senantiasa akan hidup dengan jujur dan tidak pernah menipu atau berbohong. Jika kita semua belum bersih hati dan jiwa kita, maka marilah kita tanggapi seruan Yesaya “Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik: usahakan keadilan, kendalikan orang kejam, belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda”. Anak-anak yatim maupun para janda sering diperlakukan dengan kejam, mungkin tidak secara phisik melainkan secara psikologis dan social atau spiritual. Lebih-lebih para janda muda dan cantik sering menjadi bahan omongan atau ngrumpi atau ngrasani, entah yang dilakukan oleh kaum lelaki maupun perempuan. Ngrumpi atau ngrasani berarti melecehkan harkat martabat manusia, karena pada umumnya memperbincangkan kekurangan atau kelemahan orang lain dan jarang membicarakaan kelebihan atau kebaikan orang lain. Maka orang yang suka ngrumpi atau ngrasani berarti berdosa, dan kami harapkan untuk bertobat. Ngrasani atau ngrumpi juga berarti sombong, kebalikan dari rendah hati. Rendah hati merupakan cirikhas utama siapapun yang hidup dan bertindak melayani.

“Bukan karena korban sembelihanmu Aku menghukum engkau; bukankah korban bakaranmu tetap ada di hadapan-Ku? Tidak usah Aku mengambil lembu dari rumahmu atau kambing jantan dari kandangmu” (Mzm 50:8-9)

Selasa, 6 Maret 2012


Romo Ignatius Sumarya, SJ