HOMILI: Pesta Yesus dipersembahkan di Kenisah

Mal 3:1-4 atau Ibr 2:14-18; Mzm 24:7-10; Luk 2:22-40 (Luk 2:22-32)

"Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu”


Masinis kereta api dalam melaksanakan tugas untuk menjalankan kereta api tidak mungkin mengambil inisiatif menelusuri rel sesuai dengan kemauan sendiri, melainkan ia mau tidak mau harus menyerahkan diri kepada petugas setasiun maupun jalur rel yang telah terpasang. Dengan keyakinan ini kiranya para penumpang kereta api merasa aman dan dapat istirahat atau tidur nyenyak di dalam perjalanan. Demikian juga seorang pilot pesawat terbang, memang jika ia mau mengendalikan arah penerbangan menurur kemauan sendiri juga bisa namun hal itu tidak ia lakukan, melainkan harus mentaati aturan lalu lintas udara yang dikendalikan oleh para petugas menara jaga lapangan terbang yang berada di darat. Jika pilot setia mentaati arahan dari petugas di darat tersebut kiranya selamatlah penerbangan dan para penumpangpun selamat dan damai serta dapat istirahat atau tidur nyenyak selama dalam penerbangan. Begitulah buah dari orang yang dengan setia mentaati aturan atau tatanan hidup: mereka yang menikmati buah karya atau mengikuti dan melihatnya merasa damai sejahtera. (Luk2:22). Yosep dan Maria yang mempersembahkan Kanak-kanak Yesus, Penyelamat Dunia, sesuai dengan peraturan atau hukum agama yang berlaku, mendorong Simeon, orang benar dan saleh, yang menyaksikan berkata: “Ketika genap waktu pentahiran, menurut hukum Taurat Musa, mereka (Yosep dan Maria) membawa Dia (Kanak-kanak Yesus) ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan”“Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu” (Luk2:29-32).


“Sekarang, Tuhan, biarkanlah hambaMu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firmanMu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu”

Baik Yosep, Maria maupun Simeon adalah orang baik dan benar, maka mereka dengan sepenuh hati dan rela mempersembahkan diri/yang terkasih kepada Tuhan. Hidup atau mati adalah milik Tuhan; hidup serta segala sesuatu yang menyertai kita, atau kita miliki dan kuasai saat ini adalah anugerah Tuhan. Kiranya kita semua dipanggil untuk menjadi orang baik dan benar dalam hidup sehari-hari, dalam berbagai pergaulan, tugas pekerjaan maupun kebersamaan dimanapun dan kapanpun juga. Jika kita sungguh baik dan benar kiranya sewaktu-waktu dipanggil Tuhan kita akan senyum gembira, rela mempersembahkan diri seutuhnya kepada-Nya.

Apa yang disebut ‘baik’ senantiasa berlaku universal atau mondial, dimana saja dan kapan saja alias juga bersifat obyektif bukan subyektif. Tindakan atau perbuatan baik senantiasa membahagiakan dan menyelamatkan, lebih-lebih dan terutama adalah kebahagiaan atau keselamatan jiwa manusia. Apa yang baik untuk kesehatan dan kebugaran tubuh manusia antara lain mengkomsumsi atau makan sesua dengan pedoman ‘empat sehat lima sempurna’ (nasi/roti/jagung/ketela, sayuran, daging, buah dan susu) serta berolah-raga secara teratur. Dalam tubuh yang sehat dan bugar kiranya juga lebih mudah untuk berbuat baik bagi sesamanya, siap-sedia untuk menanggapi tawaran berbuat baik kapanpun dan dimanapun juga.

Sedangkan apa yang disebut ‘benar’ antara lain berarti senantiasa melaksanakan kehendak Tuhan dalam hidup sehari-hari, hidup dan bekerja bersama dengan Tuhan. Secara konkret bagi kita masing-masing hal itu berarti kita hidup dan bertindak sesuai dengan janji-janji yang pernah kita ikrarkan serta aturan dan tatanan hidup yang terkait sebagaimana telah dihayati oleh Yosep dan Maria, yang mempersembahkan Kanak-Kanak Yesus sesuai dengan hukum Taurat. Janji utama dan dasar sebagai orang katolik/yang telah dibaptis adalah ‘senantiasa hanya mengabdi Tuhan dan menolak semua godaan setan’. Godaan setan ada dimana-mana dan kapan saja, antara lain menggejala dalam tawaran harta benda/uang, jabatan/kedudukan dan kehormatan manusiawi dalam berbagai bentuk, yang mendorong orang untuk menjadi sombong dan serakah. Orang benar, yang antara lain senantiasa mengabdi Tuhan, dijiwai oleh kerendahan hati, keutamaan dasar yang dimiliki oleh orang benar.

Orang yang baik dan benar akan tumbuh berkembang semakin dikasihi oleh Tuhan dan sesamanya, sebagaimana terjadi dalam diri Yesus.

“Setelah selesai semua yang harus dilakukan menurut hukum Tuhan, kembalilah mereka ke kota kediamannya, yaitu kota Nazaret di Galilea. Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya” (Luk2:39-40).

Di rumah, di tempat kediaman keluarga kudus di Nazaret, Yesus ‘bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya’. Apa yang terjadi di rumah untuk semua orang kiranya kurang lebih sama, “maka dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya, supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa. Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai” (Ibr2:17-18). Belas kasih dan aneka pencobaan terjadi di rumah, dalam kehidupan keluarga.

Belas kasih pertama-tama dan terutama dihayati oleh suami-isteri yang diikat oleh cintakasih baik dalam untung maupun malang, dan kemudian dari suami-isteri/orangtua kepada anak-anaknya. Rasanya jika kita terbuka dan jujur mawas diri pengalaman hidup di rumah, didalam keluarga, maka kita akan menyadari dan menghayati atau telah menerima belas kasih dengan melimpah ruah, sehingga kita masih tetap hidup seperti saat ini. Belas kasih memang merupakan salah satu perwujudan iman kita kepada Allah yang penuh belas kasih kepada kita dan jalan pendamaian atas aneka permusuhan atau ketidak-cocokkan yang mengarah ke permusuhan. Bukankah di dalam hidup di rumah, di dalam keluarga sarat dengan pencobaan-pencobaan yang mendorong orang untuk saling bermusuhan atau membenci? Godaan entah bagi suami atau isteri untuk menyeleweng senantiasa terbuka, lebih-lebih mereka yang sibuk bekerja dan kurang tinggal bersama; demikian godaan pada anak-anak untuk tidak taat kepada orangtua senantiasa terbuka, lebih-lebih sekali lagi ketika orangtua/suami-isteri begitu sibuk bekerja dan kurang memberi perhatian kepada anak-anaknya (anak-anak dititipkan pada pembantu, mertua atau tempat penitipan anak-anak dst..). Godaan untuk semuanya antara lain ingin menang sendiri, berkarir tinggi dan dikagumi banyak orang.

Pengalaman menghadapi dan mengatasi aneka godaan dan pencobaan dengan belas kasih di dalam keluarga, yang membuat kita terampil untuk berbelas kasih serta tetap tabah dalam pecobaan dan penderitaan, kiranya merupakan bekal atau kasih karunia Allah bagi kita untuk semakin mempersembahkan diri pada Tuhan, mengusahakan perdamaian dan kebahagiaan sejati. Kita semua dipanggil untuk menjadi orang “yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa”

“Angkatlah kepalamu, hai pintu-pintu gerbang, dan terangkatlah kamu, hai pintu-pintu yang berabad-abad, supaya masuk Raja Kemuliaan! "Siapakah itu Raja Kemuliaan?" "TUHAN, jaya dan perkasa, TUHAN, perkasa dalam peperangan!" Angkatlah kepalamu, hai pintu-pintu gerbang, dan terangkatlah kamu, hai pintu-pintu yang berabad-abad, supaya masuk Raja Kemuliaan! "Siapakah Dia itu Raja Kemuliaan?" "TUHAN semesta alam, Dialah Raja Kemuliaan!" (Mzm 24:7-10)



Jakarta, 2 Februari 2011

Romo Ign Sumarya, SJ