HOMILI: Sabtu-Minggu, 29-30 Mei 2010 Hari Raya Tritunggal Mahakudus

BACAAN I: Ams 8:22-31
MAZMUR TANGGAPAN: Mzm 8:4-5.6-7.8-9
BACAAN II: Rm 5:1-5
I N J I L: Yoh 16:12-15

“Kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus.Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah” (Rm 5:1-2)

Iman memang merupakan anugerah Allah, dan sebagai anugerah Allah juga sulit dijelaskan atau dimengerti dengan akal sehat secara tuntas, melainkan lebih dihayati di dalam hidup sehari-hari. Beriman antara lain berarti mempercayakan diri kepada sesuatu ‘yang tidak kelihatan’ sebagaimana dialami oleh Bapa Abraham, bapa umat beriman, ketika kepadanya dijanjikan keturunan sebanyak bintang di langit namun harus mengorbankan anaknya yang tunggal. Tritunggal Mahakudus adalah misteri, artinya memang tidak dapat dijelaskan atau diungkap secara tuntas atau penuh. “Misteri Tritunggal Mahakudus adalah rahasia sentral iman dan kehidupan Kristen. Itulah misteri kehidupan batin ilahi, dasar pokok segala misteri iman yang lain dan cahaya yang meneranginya. Inilah yang paling mendasar dan hakiki dalam ‘hierarki kebenaran iman’. ‘Seluruh sejarah keselamatan tidak lain dari sejarah jalan dan upaya, yang dengan perantaraannya Allah yang satu dan benar – Bapa, Putera dan Roh Kudus – mewahyukan Diri, memperdamaikan diri-Nya dengan manusia yang berbalik dari dosa, dan mempersatukan mereka dengan Diri-Nya” (Katekismus Gereja Katolik no 234).

Tritunggal Mahakudus sebagai misteri antara lain adalah misteri cintakasih atau kasih karunia, maka siapapun yang menghayati cintakasih atau kasih karunia hemat saya akan mampu menghayati makna atau arti Tritunggal Mahakudus meskipun secara logis tidak dapat memahami dan menjelaskannya. Maka marilah kita hayati cintakasih atau kasih karunia secara mendalam dan konsisten dalam aneka macam situasi kehidupan kita sehari-hari. Cintakasih atau kasih karunia ini hemat saya paling kentara dan muda dihayati dalam relasi antara bapak, ibu dan anak, karena keberadaan mereka laki-laki dan perempuan menjadi bapak dan ibu karena atau oleh cintakasih dan kasih karunia, demikian juga anak ‘diadakan dan dilahirkan’ karena atau oleh cintakasih dan kasih karunia. “Tritunggal”: bapak, ibu dan anak rasanya sungguh menjadi perwujudan bagaimana cintakasih dan kasih karunia menjadi nyata. Dengan kata lain keluarga yang menjadi dasar dan kekuatan hidup bersama di masyarakat merupakan ‘lahan’ cintakasih dan kasih karunia yang subur. Kami percaya jika hal itu menjadi nyata di dalam hidup berkeluarga, maka keimanan kita kepada Tritunggal Mahakudus semakin dapat dinikmati dan dihayati. “Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah”, demikian kesaksian iman Paulus.

“Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterima-Nya dari pada-Ku. Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterima-Nya dari pada-Ku” (Yoh 16:14-15).

Dari kutipan sabda Yesus di atas ini kiranya sangat jelas bagaimana kesatuan Tritunggal Mahakudus. Kehadiran dan karya Tritunggal Mahakudus dalam hidup sehari-hari dapat kita terima dan hayati dalam dan melalui karya Roh Kudus, yang memberitakan kepada dan mengingatkan kita apa yang telah kita dengar tentang Yesus Kristus. Tanda bahwa kita sungguh mendengarkan dan melaksanakan kehendak atau karya Roh Kudus adalah “Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya….Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh15:1012-13)

Hidup saling mengasihi merupakan tanda bahwa kita beriman pada Tritunggal Mahakudus. Kebersama-an hidup yang saling mengasihi kiranya dapat digambarkan sebagaimana kehidupan jemaat purba ini: “Semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama,dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan” (Kis2:44-47). Secara sederhana cara hidup bersama tersebut untuk masa kini kiranya dapat dihayati demikian:

· Dalam kehidupan bersama tidak ada satu orangpun yang berkekurangan dalam hal kebutuhan pokok sehari-hari. Maka sekiranya dalam kebersamaan hidup kita masih kita temukan mereka yang bekekurangan, marilah kita perhatikan dan tolong dengan ‘harta milik’ kita. Untuk itu memang diharapkan tidak ada orang yang serakah dengan menumpuk ‘harta milik’ untuk diri sendiri sebanyak mungkin dan orang lain tidak memperoleh bagian. Baiklah kita mencukupi diri sesuai dengan kebutuhan bukan keinginan atau nafsu, sebagaimana sering kita doakan dalam doa Bapa kami : “Berilah kami rezeki hari ini secukupnya”, bukan sebanyak-banyaknya.

· Kehidupan bersama yang dijiwai oleh solidaritas dan keberpihakan pada mereka yang miskin dan berkekurangan ini perlu dilengkapi dan dijiwai dengan doa dan ibadat bersama, entah di dalam keluarga atau tempat kerja. Marilah dalam hidup bersama kita “bertekun dan sehati berkumpul, makan bersama dengan gembira dan tulus hati sambil memuji Allah”.


“Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat” (Mzm 8:4-6)

Jakarta, 3 Juni 2007