“
Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam
perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: "Jikalau
seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya,
isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan,
bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa
tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi
murid-Ku. Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah
menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup
uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah
meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan
semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu
mulai
mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Atau, raja
manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk
dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia
sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang?
Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh
untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian.Demikian pulalah tiap-tiap
orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala
miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:25-33), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi
atas bacaan-bacaan dalam rangka mengenangkan pesta St.Yohanes dari
Salib hari ini, saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai
berikut:
· Salib
adalah panji-panji para murid atau pengikut Yesus Kristus, maka
barangsiapa percaya kepadaNya harus berani meneladanNya, yaitu siap
sedia menderita sengsara dan kalau perlu mati karena setia pada iman
dalam cara hidup dan cara bertindak setiap hari. Bagi yang beriman
kepada Yesus Kristus, khususnya yang beragama Katolik sering membuat
tanda salib dengan menepuk dahi/kepala, dada dan bahu seraya berkata “Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus”. Hal
itu berarti mau hidup dan bertindak dengan
cara berpikir Yesus Kristus, berjiwa Yesus Kristus dan meneladan cara
bertindakNya. Maka pertama-tama dan terutama saya mengajak anda sekalian
untuk mawas diri: apa yang ada di dalam hati kita saat ini, dan apa
yang sedang saya pikirkan. Apa yang ada dalam hati dan pikiran atau otak
kita itulah yang akan menentukan cara hidup dan cara bertindak kita.
Kami berharap kita semua senantiasa memikirkan keselamatan jiwa manusia,
sebagaimana juga dipikirkan oleh Tuhan Allah. Hendaknya keselamatan
jiwa manusia menjadi tolok ukur atau barometer keberhasilan hidup dan
bertindak kita. Hemat saya jika kita sungguh mengutamakan keselamatan
jiwa, maka kita pasti akan menghadapi banyak tantangan, masalah dan
hambatan, mengingat dan memperhatikan sikap mental materialistis begitu
menjiwai cara hidup dan cara bertindak kebanyakan orang masa kini.
Dengan kata lain orang harus siap sedia untuk menderita dan sengsara,
namun ingatlah dan sadarilah serta hayati bahwa
penderitaan dan kesengsaraan yang lahir dari kesetiaan pada iman
kepercayaan adalah jalan menuju ke keselamatan sejati, bahagia dan damai
sejahtera sejati dan selamanya.
· “Demikianlah
pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang
dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan
kesaksian Allah kepada kamu. Sebab aku telah memutuskan untuk tidak
mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang
disalibkan.Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan
sangat takut dan gentar.” (1Kor 2:1-3), demikian sharing iman Paulus kepada umat di Korintus, kepada kita semua khususnya yang beriman kepada Yesus
Kristus. Sharing Paulus ini kiranya dapat menjadi bahan refleksi atau permenungan kita. “Aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu”, inilah
kiranya yang juga harus menjadi acuan hidup kita, sebagai orang
beriman. Hendaknya kita senantiasa lebih mengutamakan atau mengedepankan
tindakan atau periaku daripada kata-kata atau omongan yang indah.
Keunggulan hidup beriman terletak dalam perilaku atau tindakan, bukan
dalam wacana atau omongan. Semoga cara bertindak atau perilaku kita
dimana pun dan kapan pun baik adanya, artinya tidak pernah mengecewakan,
melecehkan dan merendahkan orang lain, melainkan membahagiakan dan
menyelamatkan, terutama keselamatan jiwa manusia, entah jiwa kita
sendiri maupun jiwa orang yang kena dampak cara bertindak atau perilaku
kita. Kutipan di atas juga mengingatkan dan mengajak kita semua bahwa
dalam rangka
‘berdakwah’ atau melaksanakan tugas missioner lebih mengutamakan
tindakan atau perilaku, bukan wacana atau omongan. Dengan kata lain
kesaksian atau keteladanan hidup beriman sungguh penting dan mutlak
dalam rangka melaksanakan tugas missioner.
“Percayalah
kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah
setia, dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu
apa yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan
percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak;Ia akan memunculkan
kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang” (Mzm 37:3-6)
Jumat, 14 Desember 2012
Romo Ignatius Sumarya, SJ
Romo Ignatius Sumarya, SJ