“Ketika
Yesus mengangkat muka-Nya, Ia melihat orang-orang kaya memasukkan
persembahan mereka ke dalam peti persembahan. Ia melihat juga seorang
janda miskin memasukkan dua peser ke dalam peti itu. Lalu Ia berkata:
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih
banyak dari pada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi
persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari
kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya."(Luk 21:1-4), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· “Memberi persembahan atau sumbangan atau derma dari kelimpahannya” berarti
‘membuah sampah’ dan dengan demikian memperlakukan si penerima sebagai
‘tempat sampah’, dengan kata lain merendahkan atau melecehkan yang lain.
Apakah hal yang demikian ini sering dilakukan orang, hemat saya kiranya
cukup banyak orang melakukannya. Pengalaman yang sangat mengesan bagi
saya pribadi adalah ketika terlibat untuk pengumpulan dan pengiriman
sumbangan bagi korban
tsunami di Aceh beberapa tahun lalu. Ada penyumbang pakaian secara
konkret berupa pakaian yang sungguh bekas alias tidak layak digunakan
lagi, sehingga waktu itu kurang lebih 40% sumbangan berupa pakaian
terpaksa kami teruskan ke saudara-saudara kita di TPA Bantar Gebang
dengan harapan jika mau diperlakukan sebagai sampah biarlah ditumpuk di
tempat sampah, tetapi jika ada orang yang mau menggunakannya juga tidak
apa-apa. Kami berharap kepada kita semua, segenap umat beriman untuk
tidak memberi sumbangan atau persembahan dari kelimpahan, melainkan dari
kekurangan atau keterbatasan. Persembahan atau sumbangan tanpa
pengorbanan diri hemat saya sungguh merupakan ‘pembuangan sampah’,
sedangkan persembahan atau sumbangan yang benar senantiasa disertai atau
dijiwai oleh pengorbanan. Sebagai orang-orang yang beriman kepada Yesus
Kristus, marilah kita meneladan Yesus yang telah mengorbankan DiriNya
demi keselamatan banyak orang, bukan mengorbankan orang
lain. Kami berharap anak-anak di dalam keluarga sedini mungkin dibina
dan dididik untuk siap sedia berkorban demi kebahagiaan atau keselamatan
yang lain, sehingga mereka tumbuh berkembang “to be man/woman with/for others”. Marilah kita meneladan janda miskin yang memberi persembahan dari kekurangannya, bahkan seluruh nafkah atau pribadinya.
· “Aku
mendengar suatu suara dari langit bagaikan desau air bah dan bagaikan
deru guruh yang dahsyat. Dan suara yang kudengar itu seperti bunyi
pemain-pemain kecapi yang memetik kecapinya. Mereka menyanyikan suatu
nyanyian baru di hadapan takhta dan di depan keempat makhluk dan tua-tua
itu, dan tidak seorang pun yang dapat mempelajari nyanyian itu selain
dari pada seratus empat puluh empat ribu orang yang telah ditebus dari
bumi itu” (Why 14:1-2). Penglihatan macam itu akan dapat kita alami juga jika
kita sungguh ‘to be man/woman with/for others’, orang
yang memiliki kepekaan handal terhadap yang lain. Mungkin tidak persis
sama penglihatan yang dialami sebagaimana dikatakan di atas ini, namun
orang dapat melihat dana memahami atau memaknai aneka peristiwa alam
raya yang sedang terjadi, dengan kata lain orang peka terhadap
tanda-tama zaman. Kepekaan akan tanda-tanda zaman juga dapat dilatih
antara lain dengan setia mengadakan pemeriksaan batin atau refleksi diri
setiap hari, dimana dilatih untuk peka atas apa yang terjadi dalam
dirinya dan kemudian dan kembangkan ke kepekaan terhadap yang lain.
Tentu saja pertama-tama hendaknya terjadi kepekaan satu sama lain antar
anggota keluarga, antar suami dan isteri, antar kakak dan adik, yang
setiap hari hidup bersama. Secara khusus kami berharap juga kepada
rekan-rekan perempuan yang setiap bulan mengalami menstruasi atau datang
bulan, kami harapkan peka apa yang
terjadi dalam dirinya menjelang menstruasi, yang pada umumnya orang
cenderung agak emosional, agar kemudian dapat menempatkan atau
menghadirkan diri dalam kebersamaan dengan baik. Pendek kata: hendaknya
kita semua peka terhadap aneka peristiwa alam yang terjadi pada diri
kita masing-masing, agar dengan demikian kita juga tumbuh berkembang
untuk menjadi peka terhadap apa yang terjadi di lingkungan hidup kita.
Marilah kita sadari dan hayati bahwa masing-masing dari kita adalah buah
kerjasama atau korban kerjasama kasih antara bapak dan ibu kita
masing-masing, maka hanya dalam kebersamaan dan bekerjasama kita dapat
hidup bahagia dan damai sejahtera.
“TUHANlah
yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di
dalamnya. Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan
menegakkannya di atas sungai-sungai. "Siapakah yang boleh naik ke atas
gunung TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus?" (Mzm 24:1-3)
Senin, 26 November 2012
Romo Ignatius Sumarya, SJ