“Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya”
Romo
Dewanta SJ adalah imam SJ, yang baru ditahbiskan ketika bertugas
sebagai pastor paroki di sebuah paroki di Timor Leste/Timor Timur. Dalam
karya pastoralnya ternyata ia harus menghadapi situasi yang sangat
sulit, yaitu perang saudara, antara mereka yang pro-RI dan mereka yang
menghendaki lepas dari RI dan menjadi Negara sendiri. Mereka yang
berkehendak untuk lepas dari RI ternyata menang dan kemudian memaksa
mereka yang pro-RI untuk bergabung, dan jika tidak bersedia bergabung
akan dihabisi atau dibunuh. Ternyata cukup banyak warga Timor Leste yang
tetap setia para RI alias pro-RI, maka karena tertekan mereka berusaha
melarikan diri untuk mengungsi ke Timor Barat, wilayah RI. Dalam
pelarian tersebut ternyata mereka tidak bebas, karena terus dikejar
untuk dihabisi. Ada sekelompok umat yang dikejar tersebut bersembunyi di
dalam sebuah gereja dimana Romo Dewanta menjadi pastor parokinya. Dalam
situasi yang sangat sulit tersebut, Romo Dewanta berusaha melindungi
umatnya yang tak bersalah, dan ia berdiri di depan gereja menghadapi
mereka, para tentara bersenjata lengkap, yang mengejar umat pro-RI, dan
akhirnya Romo Dewanta, tewas, sebagai ‘martir’, ditembak mati oleh
tentara. Saya sungguh mengimani bahwa Romo Dewanta merupakan salah satu
teladan “gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya”.
“Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (Yoh 10:11)
Pada
hari Minggu Paskah IV/Minggu Panggilan ini secara kebetulan di Seminari
Menengah St.Petrus, Mertoyudan-Magelang, diselenggarakan Novena ke
9/penutupan, dalam rangka mengenangkan 100th Seminari Mertoyudan, dengan tema “Pastor Pelayan dan Motivator Kharisma”. Novena
dengan Perayaan Ekaristi mulai pk 10.00 wib, dan diakhiri dengan makan
siang bersama sederhana (soto dan nasi liwet) serta diselingi tari Dayak
oleh siswa-siswi SMP Kanisius-Mertoyudan. Tema novena ini kiranya
sesuai dengan ajakan Gereja untuk mengenangkan Minggu Panggilan di hari
Minggu Paskah IV ini maupun bacaan-bacaan hari Minggu ini.
Pertama-tama
saya mengajak rekan-rekan pastor atau imam untuk mawas diri: sejauh
mana sebagai pastor sungguh melayani umat alias ‘memberikan nyawanya
bagi domba-dombanya’ maupun kehadiran dan sepak terjangnya senantiasa
menjadi motivator charisma umat Allah, entah yang terpanggil sebagai
awam maupun biarawan-biarawati? Marilah kita sadari, ingat dan hayati
bahwa kita ditahbiskan menjadi imam berpartisipasi dalam imamat Uskup,
gembala kita, yang senantiasa berusaha menjadi hamba yang hina dina
untuk melayani umat Allah. Sebagai partisipan kita dipanggil untuk
mendukung usaha gembala kita ini dengan menjadi pelayan-pelayan bagi
umat Allah, yang diserahkan kepada kita untuk digembalakan. Cirikhas
pelayan yang baik antara lain: bekerja keras tak kenal waktu,
ceria/gembira, dinamis, tanggap, cekatan..dst.. untuk membahagiakan atau
menyelamatkan mereka yang harus dilayani.
Imam
berasal dari umat dan bagi umat, maka kesuburan panggilan imamat
tergantung dari kwalitas kehidupan umat Allah atau keluarga katolik
sebagai tempat munculnya benih-benih panggilan maupun pemekaran benih
panggilan. Maka kami berharap kepada segenap umat, khususnya
keluarga-keluarga katolik untuk mendukung promosi panggilan imam. Salah
satu cirikhas kepribadian yang hendaknya diusahakan adalah ‘to man/woman with/for others’, pribadi
yang peka akan kebutuhan sesamanya. Kami percaya pada masa kini ada
gerakan atau paguyuban doa bersama untuk mendukung panggilan imam, namun
kami juga berharap kepada keluarga-keluarga untuk dengan rela dan
bangga jika satu atau dua anaknya yang terbaik terpanggil untuk menjadi
imam, bruder atau suster. Hendaknya jangan terjadi: kita berdoa bagi
suburnya panggilan, ketika anak saya yang baik ingin menjadi imam,
bruder atau suster dilarang.
Mereka
yang telah terpanggil menjadi imam, bruder atau suster, hendaknya juga
berpartisipasi dalam promosi panggilan. Cara utama dan pertama-tama
untuk promosi panggilan adalah kesaksian hidup terpanggil. Maka baiklah
secara khusus kami ingatkan rekan-rekan imam untuk merenungkan dan
menghayati ajaran ini, yaitu “Panggilan
imam itu pada hakekatnya panggilan untuk kekudusan, dalam corak yang
sesuai dengan Sakramen Tahbisan. Kekudusan berarti bermesraan dengan Allah,
mengikuti Kristus yang miskin, murni dan rendah hati. Kekudusan itu
cintakasih tanpa syarat terhadap jiwa-jiwa, dan penyerahan diri sendiri
untuk mereka dan demi kesejahteraan mereka yang sejati. Kekudusan
berarti mengasihi Gereja yang suci dan menghendaki kita menjadi suci,
karena itulah misi yang oleh Kristus dipercayakan kepadanya. Anda
masing-masing harus menjadi kudus pula untuk membantu saudara-saudari
anda menempuh panggilan mereka menuju kesucian” (Paus Yohanes Paulus II: Anjuran Apostolik, Pastores Davo Vobis , 25 Maret 1992, no 33)
“Saudara-saudaraku
yang kekasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata
apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus
menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan
melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya. Setiap orang yang
menaruh pengharapan itu kepada-Nya, menyucikan diri sama seperti Dia
yang adalah suci.” (1Yoh 3:2-3)
Yang
dimaksudkan dengan ‘anak-anak Allah’ tidak lain adalah kita semua yang
sungguh mempersembahkan atau membaktikan diri sepenuhnya kepada Allah,
yang senantiasa menaruh pengaharapan kepada-Nya maupun “menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci”. Maka
marilah kita sebagai umat beriman, entah keyakinan atau agamanya
apapun, kami ajak untuk bekerjasama mengusahakan kesucian hidup kita,
bermesraan dengan Allah kapan pun dan dimana pun dalam hidup
sehari-hari. Secara khusus bagi umat Katolik yang memiliki pelindung
santo atau santa kami harapkan hidup dan bertindak meneladan santo atau
santa yang menjadi pelindungnya.
Ketika
kita dilahirkan di dunia ini masing-masing dari kita kiranya dalam
keadaan suci adanya, dan memang begitu tumbuh berkembang menjadi dewasa,
seiring dengan pertambahan usia, ternyata kesucian tersebut terus
mengalami erosi. Maka jika di dalam diri kita ada apa yang baik, mulia,
suci, benar dst.. kiranya sungguh merupakan anugerah Allah. Marilah kita
renungkan atau refleksikan kutipan ini, yaitu bahwa “keselamatan
tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah
kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang
olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis 4:12).
Menaruh
pengharapan kepada Allah berarti juga mendambakan selamat dari Allah.
Jika kita sungguh mendambakan selamat baik lahir maupun batin, phisik
maupun spiritual, hendaknya kita senantiasa setia melaksanakan atau
menghayati sabda-sabdaNya sebagaimana tertulis di dalam Kitab Suci.
Cukup menarik bahwa kitab itu disebut suci, yang berarti isinya memang
suci dan siapapun yang melaksanakan isi kitab suci berarti berusaha
untuk menjadi suci. Dengan ini kami mengajak dan mengingatkan kita semua
untuk rajin dan setia membaca dan merenungkan sabda-sabda yang tertulis
di dalam Kitab Suci, sebagaimana dengan rendah hati juga kami usahakan
serta kemudian kami sebarkan setiap hari. Kalau anda tidak memiliki Kitab Suci, kiranya dapat menggunakan apa yang saya sampaikan setiap hari.
“Aku
bersyukur kepada-Mu, sebab Engkau telah menjawab aku dan telah menjadi
keselamatanku. Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah
menjadi batu penjuru. Hal itu terjadi dari pihak TUHAN, suatu perbuatan
ajaib di mata kita. Diberkatilah dia yang datang dalam nama TUHAN! Kami
memberkati kamu dari dalam rumah TUHAN.”
(Mzm 118:21-23.26)