"Aku
berkata kepadamu: Sesungguhnya siapa yang masuk ke dalam kandang domba
dengan tidak melalui pintu, tetapi dengan memanjat tembok, ia adalah
seorang pencuri dan seorang perampok; tetapi siapa yang masuk melalui
pintu, ia adalah gembala domba. Untuk dia penjaga membuka pintu dan
domba-domba mendengarkan suaranya dan ia memanggil domba-dombanya
masing-masing menurut namanya dan menuntunnya ke luar. Jika “semua
dombanya telah dibawanya ke luar, ia berjalan di depan mereka dan
domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya. Tetapi
seorang asing pasti tidak mereka ikuti, malah mereka lari dari padanya,
karena suara orang-orang asing tidak mereka kenal." Itulah yang
dikatakan Yesus dalam perumpamaan kepada mereka, tetapi mereka tidak
mengerti apa maksudnya Ia berkata demikian kepada mereka. Maka kata
Yesus sekali lagi: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Akulah pintu ke
domba-domba itu. Semua orang yang datang sebelum Aku, adalah pencuri dan
perampok, dan domba-domba itu tidak mendengarkan mereka. Akulah pintu;
barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan
keluar dan menemukan padang rumput. Pencuri datang hanya untuk mencuri
dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai
hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh 10:1-10), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Warta
Gembira hari ini sedikit banyak meneruskan atau memperdalam warta
gembira kemarin. Perumpamaan periha gembala sebagaimana dikisahkan dalam
kutipan di atas hemat saya bagus sekali untuk direnungkan dan dicecap
dalam-dalam oleh siapapun yang berprofesi sebagai pemimpin, guru atau
pendidik, pendamping dst.. dalam kehidupan bersama apapun. “Cura personalis” (= pemeliharaan atau perawatan secara pribadi), demikian salah satu semangat Ignatian yang kiranya sangat bagus untuk mewujudkan panggilan sebagai gembala baik yang “memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya dan menuntunnya ke luar”. Para
orangtua kiranya mengenal cukup baik anak-anak yang dianugerahkan oleh
Tuhan bagi mereka, maka kami harapkan dalam semangat cintakasih dan
kebebasan Injili mendidik dan mendampingi anak-anak demi kebahagiaan dan
kesejahteraan anak-anak di masa depan. Dalam dan dengan semangat
cintakasih pula kami dambakan kepada para guru atau pendidik dalam
mendidik dan mendampingi para peserta didik, selain itu hendaknya guru
atau pendidik juga mengenal dengan baik semua peserta didik yang
dipercayakan oleh orangtuanya untuk dididik dan dibina lebih lanjut.
Hendaknya juga dihayati motto bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara,
yaitu “ing arso asung tulodho, ing madyo ambangun karso, tut wuri handayani”. Kepada
para pemimpin atau atasan dalam hidup dan kerja bersama dalam bentuk
apapun kami harapkan sungguh mengenal para pembantu atau anak buahnya. “Tak kenal tak sayang”, demikian
kata sebuah pepatah, yang berarti semakin mengenal akan semakin
menyayangi. Marilah kita ‘tuntun’ anak-anak, peserta didik, bawahan atau
anggota, menuju ke tempat yang menyuburkan dan menyehatkan kehidupan
phisik maupun spiritual.
· “Ketika
mereka mendengar hal itu, mereka menjadi tenang, lalu memuliakan Allah,
katanya: "Jadi kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan
pertobatan yang memimpin kepada hidup." (Kis 11:18). Warta Gembira
atau karya penyelamatan yang menuntut pertobatan memang tidak terbatas
pada suku dan bangsa tertentu, melainkan bagi seluruh umat manusia di
bumi ini, tanpa pandang bulu. Maka kepada segenap umat katolik kami
harapkan di dalam hidup bermasyarakat dapat menjadi saksi keselamatan
atau warta gembira bagi segenap warga masyarakat. Demikian juga kepada
para pegawai atau pekerja katolik di perusahaan atau kantor kami
harapkan juga dapat menjadi saksi keselamatan dan
warta gembira. Tentu saja kita sendiri senantiasa bertobat
terus-menerus, artinya siap sedia untuk terus-menerus diperbaharui
sesuai dengan perkembangan tuntutan zaman. Kiranya kita semua dapat
belajar atau bercermin pada para misionaris yang dengan penuh
pengorbanan serta pelayanan telah meninggalkan tanah tumpah darahnya
guna mewartakan kabar baik atau karya penyelamatan ke tempat yang jauh.
Memang mewartakan karya penyelamatan butuh pengorbanan dan pelayanan,
sebagaimana juga telah dilakukan Sang Penyelamat yang telah melepaskan
kebesaranNya (ke –Allah-an-Nya) mendatangi umat manusia di bumi ini. Kami
berharap semangat berkorban dan melayani sedini mungkin dididikkan atau
dibiasakan pada anak-anak di dalam keluarga dengan teladan konkret dari
para orangtua. Saling melayani dan berkorban hendaknya terjadi dalam
hidup berkeluarga, dihayati oleh seluruh anggota keluarga.
“Seperti
rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan
Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup.
Bilakah aku boleh datang melihat Allah?”
(Mzm 42:2-3)
Senin, 30 April 2012
Romo Ignatius Sumarya, SJ