Saudara-saudari yang terkasih.
Hari Doa Panggilan Sedunia Ke-49 yang akan dirayakan pada tanggal 29 April
2012, Hari Minggu Paska IV, mendorong kita untuk merenungkan tema: PANGGILAN
SEBAGAI ANUGERAH KASIH ALLAH.
Sumber segala karunia yang sempurna adalah Allah. Dia-lah Kasih itu sendiri – Deus Caritas est : “…..barangsiapa tinggal di dalam kasih, tinggal di dalam Allah dan Allah tinggal di dalam dia” (1Yoh.4:16). Kitab Suci menceritakan kisah ikatan awali antara Allah dengan manusia yang mendahului penciptaan itu sendiri. Santo Paulus, ketika menulis surat kepada jemaat Kristiani di Efesus, mengangkat kidung pujian dan syukur kepada Bapa, dimana berkat kebajikan-Nya yang tak terhingga, telah selama berabad-abad menyelesaikan rencana keselamatan universal tersebut, yaitu suatu rencana kasih. Santo Paulus mengatakan bahwa Allah dalam diri Putera-Nya, “telah memilih kita sejak sebelum penciptaan dunia, untuk menjadi kudus dan tak bercela di hadapan-Nya di dalam kasih” (Ef.1:4). Allah mengasihi kita “jauh sebelum” kita ada. Hanya terdorong oleh kasih-Nya tanpa syarat, Allah telah menciptakan kita “bukan dari barang yang sudah ada” (bdk. 2Mak.7:28), untuk menuntun kita ke dalam persekutuan dengan diri-Nya.
Dalam kekaguman yang amat besar akan penyelenggaraan ilahi itu, seorang pemazmur berseru: “Jika aku melihat langit-Mu, karya jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau-tempatkan, apakah manusia itu sehingga Engkau mengingatnya? Siapakah anak manusia itu sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mzm.8:4-5). Kebenaran yang paling mendasar dari keberadaan kita termaktub dalam misteri yang menakjubkan ini: setiap makluk, khususnya setiap pribadi manusia, adalah buah pikiran dan tindakan kasih Allah, suatu kasih tanpa batas, setia dan tak berkesudahan (bdk. Yer.31:3). Penemuan akan realitas kasih semacam ini sungguh-sungguh akan mengubah kehidupan kita secara mendalam. Dalam sebuah halaman yang terkenal dari buku “Pengakuan-pengakuan”-nya, Santo Agustinus mengungkapkan dengan perjuangan keras penemuannya akan Allah sebagai kasih dan keindahan yang amat menakjubkan. Dia adalah Allah yang selalu dekat dengan-nya, kepada-Nya Santo Agustinus akhirnya membuka pikiran dan hatinya untuk diubah: “Terlambat sudah aku mencintai-Mu, Oh Keindahan lama yang selalu baru, terlambat sudah aku mencintai-Mu! Ya, karena ketika Engkau berada di dalam diriku, aku sendiri malah berada di luar sana, dan di luar sanalah aku mencari Engkau. Dalam ketidaksempurnaanku, kulemparkan diriku ke dalam benda-benda ciptaan-Mu yang indah. Dahulu Engkau bersama aku, namun aku sendiri malah tidak bersama Engkau. Benda-benda ciptaan-Mu telah membuatku terpisah dari pada-Mu; namun jika benda-benda ciptaan itu tidak ada di dalam diri-Mu, sesungguhnya mereka sama sekali tidak ada. Engkau memanggil, Engkau berseru-seru, Engkau menghancurkan ketulianku. Engkau memancarkan sinar-Mu dan Engkau mengusir kebutaanku. Engkau menebarkan keharuman-Mu, maka aku menghirupnya dan sekarang aku sangat merindukan-Mu. Aku telah menikmati Engkau, maka sekarang aku semakin lapar dan haus akan Engkau. Engkau menyentuhku dan aku terbakar oleh kerinduan akan damai-Mu” (X. 27.38). Dengan gambaran ini, Santo dari kota Hippo berusaha melukiskan misteri yang tak terperikan dari sebuah perjumpaan antara dirinya dengan Allah, dengan kasih-Nya yang mengubah seluruh hidupnya.
Itulah kasih tanpa batas, kasih yang mendahului kasih kita, kasih yang menopang dan memanggil kita sepanjang jalan hidup kita, kasih yang berakar dari anugerah bebas Allah. Khusus bicara tentang pelayanan imamat, pendahulu saya, Beato Yohanes Paulus II menegaskan bahwa “setiap tindakan pelayanan, yang menghantar pada cinta dan pelayanan Gereja, harus mendorong untuk semakin menumbuhkan kasih dan pelayanan kepada Yesus Kristus sebagai Kepala, Gembala dan Mempelai Gereja, suatu kasih yang selalu menjadi suatu jawaban atas Kasih Allah yang bebas dan cuma-cuma dalam diri Yesus Kristus” (Pastores Dabo Vobis, no.25). Itulah sebabnya, setiap ‘panggilan khusus’ lahir dari prakarsa/inisiatif Allah: inilah anugerah Kasih Allah! Allah-lah yang mengambil “langkah pertama”, bukan karena Dia telah menemukan sesuatu yang baik dari diri kita, melainkan melulu karena kasih-Nya sendiri “yang dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus” (Rm.5:5).
Di setiap jaman, sumber panggilan ilahi dapat ditemukan pada prakarsa kasih Allah yang tak terbatas, yang mewahyukan diri-Nya secara penuh dalam diri Yesus Kristus. Sebagaimana sudah saya tulis dalam ensiklik Deus Caritas Est (Allah adalah Kasih), “Allah sungguh dapat dilihat dalam sejumlah cara pewahyuan. Dalam kisah cinta yang ditulis dalam Injil, Allah datang kepada kita, Ia berusaha memenangkan hati kita sepenuhnya kepada Perjamuan Terakhir, kepada hati-Nya yang tertikam di atas kayu Salib, kepada penampakan-penampakan setelah kebangkitan-Nya dan kepada perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para Rasul, dan Ia membimbing Gereja yang baru lahir di sepanjang jalannya. Tuhan tidak pernah absen dalam sejarah Gereja selanjutnya : Ia menjumpai kita secara baru dalam diri pria maupun wanita yang merenungkan kehadiran-Nya, dalam Sabda-Nya, dalam sakramen-sakramen, khususnya dalam Ekaristi” (no.17).
Kasih Allah adalah kekal-tak berkesudahan. Allah adalah setia terhadap diri-Nya, terhadap “firman yang disampaikan kepada seribu angkatan” (Mzm.105:8). Namun demikian keindahan kasih Ilahi yang mendahului dan menyertai kita, harus diwartakan secara baru, khususnya kepada generasi-generasi yang lebih muda. Kasih Ilahi ini merupakan energi hidup yang tersembunyi, suatu motivasi yang tak pernah pudar, bahkan dalam situasi lingkungan sekitar yang sangat sulit sekalipun.
Saudara-saudari terkasih, hendaknya kita membuka hidup kita terhadap kasih Ilahi itu. Inilah kasih dimana Yesus Kristus memanggil kita setiap hari menuju kesempurnaan kasih Bapa (bdk. Mat.5:48). Tolok ukur hidup Kristiani yang tinggi adalah mengasihi “sebagaimana” Allah mengasihi; dengan kasih yang diwujud-nyatakan secara total, suatu pemberian diri yang setia dan menghasilkan buah. St. Yohanes dari Salib, yang sangat menderita karena hukuman seputar pencopotannya dari jabatan, menjawab dengan menulis (surat) kepada Priorin Biara Segovia, mengajak dia agar bertindak seturut kehendak-Nya: “Jangan berpikir pada sesuatu apapun selain Allah yang mengatur segala sesuatu. Dimana tidak ada kasih, taburkanlah kasih, dan di sanalah engkau akan menuai kasih» (Surat, 26).
Di sinilah, yaitu di ‘lahan’ pemberian dan keterbukaan diri terhadap kasih Allah, dan sebagai buah dari kasih Allah itu, lahirlah dan bertumbuhlah aneka-ragam panggilan. Dengan menimba dari sumber ini melalui doa, melalui bantuan Firman Allah dan sakramen-sakramen, khususnya Ekaristi, memungkinkan kita untuk menghayati kasih kepada sesama, dimana kita mampu mengenal wajah Kristus Tuhan (bdk. Mt.25:31-46). Untuk melukiskan hubungan yang tak terpisahkan antara “dua kasih” ini, – kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama –, dimana keduanya mengalir dari sumber yang sama dan kembali kepada sumber yang sama yaitu sumber Ilahi, maka Paus Santo Gregorius Agung menggunakan kiasan atau perumpamaan tentang penyemaian benih: “Di dalam hati kita sebagai sebidang tanah garapan, Allah menanam terlebih dahulu benih kasih bagi kita dan dari benih ini munculah tunas-tunas kasih satu kepada yang lain” (Moralium Libri, sive expositio in Librum B. Job, Lib. VII, cap. 24, 28; PL 75, 780D).
Kedua ungkapan dari satu kasih Ilahi yang tunggal ini haruslah dihayati dengan intensitas khusus dan dengan kemurnian hati oleh mereka yang telah mengambil keputusan untuk menapaki jalan pemurnian panggilan imamat dan hidup bakti; keduanya merupakan unsur yang sangat penting. Kasih kepada Allah – dimana para imam dan kaum religius dipanggil untuk memantulkannya, betapapun tidak sempurna – adalah motivasi untuk menjawab panggilan Allah demi pengudusan hidup secara khusus melalui tahbisan imamat atau pengikraran nasihat-nasihat Injili. Jawaban Petrus yang berapi-api kepada Sang Guru: ”Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau” (Yoh.21:15), merupakan rahasia pemberian diri secara total dan dihayati sepenuhnya, maka dia amat bahagia dengan cara hidup demikian.
Pengejawantahan praktis-aktual lain dari kasih terhadap sesama, khususnya terhadap mereka yang menderita dan berkekurangan, adalah dorongan yang sangat menentukan, yang menjadikan para imam dan para religius sebagai sosok pembangun persekutuan antara umat dan sang penabur harapan. Relasi antara kaum religius, khususnya antara para imam, dengan komunitas kristiani adalah penting dan menjadi salah satu aspek fundamental dari kasih-sayang mereka. Pastor Yohanes Maria Vianney dari Ars senang dengan ungkapan: “Imam-imam bukanlah imam-imam bagi dirinya sendiri, melainkan bagi kalian semua – jemaat kristiani” (Le curé d’Ars. Sa pensée – Son cœur, Foi Vivante, 1966, p. 100).
Saudara-saudaraku yang terkasih para uskup, para imam, para diakon, kaum religius (biarawan-biarawati), para katekis, para petugas pastoral dan kalian semua yang membaktikan diri dalam bidang pembinaan kaum muda : saya sangat menghimbau anda untuk memberi perhatian terhadap anggota-anggota jemaat paroki, kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan gerejani yang merasakan sebuah panggilan imamat dan hidup yang dibaktikan secara khusus. Amat pentinglah bagi Gereja untuk menciptakan suasana yang memungkinkan banyak kaum muda mengatakan “ya” sebagai jawaban yang jujur terhadap panggilan kasih Allah.
Tugas untuk mendorong panggilan adalah menyediakan bimbingan dan panduan yang dapat membantu mereka. Yang utama dari tugas ini adalah cinta akan Firman Allah yang dihidupi dengan cara menumbuhkan sikap akrab dengan Kitab Suci, dengan doa yang terus-menerus dan penuh perhatian, baik secara pribadi maupun dalam kelompok; semua ini akan memungkinkan untuk mendengarkan panggilan Tuhan di antara aneka suara panggilan hidup sehari-hari. Yang lebih penting di antara semua itu adalah sakramen Ekaristi yang harus menjadi pusat dari setiap perjalanan panggilan : di sinilah kasih Allah menyentuh kita dalam kurban Yesus Kristus, yang menjadi ungkapan sempurna cinta kasih; dan di sinilah kita selalu belajar terus menerus bagaimana menghayati “takaran kesempurnaan” akan kasih Allah. Firman Allah, doa dan Ekaristi merupakan harta karun yang berharga untuk memampukan kita memahami keindahan yang memesona dari sebuah kehidupan yang seutuhnya dibaktikan demi pelayanan Kerajaan Allah.
Saya berharap bahwa Gereja-Gereja setempat (keuskupan), dan berbagai kelompok di dalamnya, menjadi tempat untuk pemurnian otentisitas aneka panggilan dan menjadi tempat bagi kaum muda untuk memperoleh pendampingan rohani yang serius dan bijaksana. Dengan cara ini, suatu komunitas kristiani dengan sendirinya merupakan manifestasi atau ungkapan Kasih Allah dari setiap panggilan. Sebagai jawaban atas tuntutan perintah Yesus yang baru, dpat menemukan pengungkapannya yang unik dan mengesankan di dalam keluarga-keluarga kristiani, dimana kasih keluarga merupakan ungkapan kasih Kristus yang telah memberikan diri-Nya bagi Gereja-Nya (Ef.5:32). Di dalam keluarga, yang merupakan “sebuah komunitas kehidupan dan kasih” (Gaudium et Spes, 48), kaum muda dapat menimba pengalaman yang luar biasa tentang apa artinya kasih yang memberikan diri. Dengan demikian, keluarga-keluarga tidak hanya menjadi tempat istimewa untuk membentuk jati diri manusiawi dan kristiani, tetapi juga menjadi “lahan penyemaian benih-benih panggilan yang utama dan terbaik bagi hidup yang dibaktikan demi Kerajaan Allah” (Familiaris Consortio, 53), dengan membantu anggota-anggotanya melihat secara tepat di dalam keluarga itu sendiri, keindahan dan pentingnya imamat dan hidup bakti. Para imam dan seluruh kaum beriman awam hendaknya selalu bekerja sama, agar di dalam Gereja semakin berlipat-ganda “rumah-rumah dan sekolah-sekolah persekutuan” yang menjadi cerminan harmonis persekutuan Tritunggal Mahakudus di dunia ini, seturut teladan Keluarga Kudus Nazaret.
Dengan doa penuh harapan, dengan tulus saya memberkati kalian semua dengan Berkat Apostolikku, saudara-saudaraku para uskup, para imam, para diakon, para biarawan-biarawati dan seluruh umat beriman, khususnya kaum muda, yang dengan patuh berusaha mendengarkan suara Allah dan siap menanggapinya dengan tulus dan setia.
Dari Vatikan, 18 Oktober 2011
Sumber segala karunia yang sempurna adalah Allah. Dia-lah Kasih itu sendiri – Deus Caritas est : “…..barangsiapa tinggal di dalam kasih, tinggal di dalam Allah dan Allah tinggal di dalam dia” (1Yoh.4:16). Kitab Suci menceritakan kisah ikatan awali antara Allah dengan manusia yang mendahului penciptaan itu sendiri. Santo Paulus, ketika menulis surat kepada jemaat Kristiani di Efesus, mengangkat kidung pujian dan syukur kepada Bapa, dimana berkat kebajikan-Nya yang tak terhingga, telah selama berabad-abad menyelesaikan rencana keselamatan universal tersebut, yaitu suatu rencana kasih. Santo Paulus mengatakan bahwa Allah dalam diri Putera-Nya, “telah memilih kita sejak sebelum penciptaan dunia, untuk menjadi kudus dan tak bercela di hadapan-Nya di dalam kasih” (Ef.1:4). Allah mengasihi kita “jauh sebelum” kita ada. Hanya terdorong oleh kasih-Nya tanpa syarat, Allah telah menciptakan kita “bukan dari barang yang sudah ada” (bdk. 2Mak.7:28), untuk menuntun kita ke dalam persekutuan dengan diri-Nya.
Dalam kekaguman yang amat besar akan penyelenggaraan ilahi itu, seorang pemazmur berseru: “Jika aku melihat langit-Mu, karya jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau-tempatkan, apakah manusia itu sehingga Engkau mengingatnya? Siapakah anak manusia itu sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mzm.8:4-5). Kebenaran yang paling mendasar dari keberadaan kita termaktub dalam misteri yang menakjubkan ini: setiap makluk, khususnya setiap pribadi manusia, adalah buah pikiran dan tindakan kasih Allah, suatu kasih tanpa batas, setia dan tak berkesudahan (bdk. Yer.31:3). Penemuan akan realitas kasih semacam ini sungguh-sungguh akan mengubah kehidupan kita secara mendalam. Dalam sebuah halaman yang terkenal dari buku “Pengakuan-pengakuan”-nya, Santo Agustinus mengungkapkan dengan perjuangan keras penemuannya akan Allah sebagai kasih dan keindahan yang amat menakjubkan. Dia adalah Allah yang selalu dekat dengan-nya, kepada-Nya Santo Agustinus akhirnya membuka pikiran dan hatinya untuk diubah: “Terlambat sudah aku mencintai-Mu, Oh Keindahan lama yang selalu baru, terlambat sudah aku mencintai-Mu! Ya, karena ketika Engkau berada di dalam diriku, aku sendiri malah berada di luar sana, dan di luar sanalah aku mencari Engkau. Dalam ketidaksempurnaanku, kulemparkan diriku ke dalam benda-benda ciptaan-Mu yang indah. Dahulu Engkau bersama aku, namun aku sendiri malah tidak bersama Engkau. Benda-benda ciptaan-Mu telah membuatku terpisah dari pada-Mu; namun jika benda-benda ciptaan itu tidak ada di dalam diri-Mu, sesungguhnya mereka sama sekali tidak ada. Engkau memanggil, Engkau berseru-seru, Engkau menghancurkan ketulianku. Engkau memancarkan sinar-Mu dan Engkau mengusir kebutaanku. Engkau menebarkan keharuman-Mu, maka aku menghirupnya dan sekarang aku sangat merindukan-Mu. Aku telah menikmati Engkau, maka sekarang aku semakin lapar dan haus akan Engkau. Engkau menyentuhku dan aku terbakar oleh kerinduan akan damai-Mu” (X. 27.38). Dengan gambaran ini, Santo dari kota Hippo berusaha melukiskan misteri yang tak terperikan dari sebuah perjumpaan antara dirinya dengan Allah, dengan kasih-Nya yang mengubah seluruh hidupnya.
Itulah kasih tanpa batas, kasih yang mendahului kasih kita, kasih yang menopang dan memanggil kita sepanjang jalan hidup kita, kasih yang berakar dari anugerah bebas Allah. Khusus bicara tentang pelayanan imamat, pendahulu saya, Beato Yohanes Paulus II menegaskan bahwa “setiap tindakan pelayanan, yang menghantar pada cinta dan pelayanan Gereja, harus mendorong untuk semakin menumbuhkan kasih dan pelayanan kepada Yesus Kristus sebagai Kepala, Gembala dan Mempelai Gereja, suatu kasih yang selalu menjadi suatu jawaban atas Kasih Allah yang bebas dan cuma-cuma dalam diri Yesus Kristus” (Pastores Dabo Vobis, no.25). Itulah sebabnya, setiap ‘panggilan khusus’ lahir dari prakarsa/inisiatif Allah: inilah anugerah Kasih Allah! Allah-lah yang mengambil “langkah pertama”, bukan karena Dia telah menemukan sesuatu yang baik dari diri kita, melainkan melulu karena kasih-Nya sendiri “yang dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus” (Rm.5:5).
Di setiap jaman, sumber panggilan ilahi dapat ditemukan pada prakarsa kasih Allah yang tak terbatas, yang mewahyukan diri-Nya secara penuh dalam diri Yesus Kristus. Sebagaimana sudah saya tulis dalam ensiklik Deus Caritas Est (Allah adalah Kasih), “Allah sungguh dapat dilihat dalam sejumlah cara pewahyuan. Dalam kisah cinta yang ditulis dalam Injil, Allah datang kepada kita, Ia berusaha memenangkan hati kita sepenuhnya kepada Perjamuan Terakhir, kepada hati-Nya yang tertikam di atas kayu Salib, kepada penampakan-penampakan setelah kebangkitan-Nya dan kepada perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para Rasul, dan Ia membimbing Gereja yang baru lahir di sepanjang jalannya. Tuhan tidak pernah absen dalam sejarah Gereja selanjutnya : Ia menjumpai kita secara baru dalam diri pria maupun wanita yang merenungkan kehadiran-Nya, dalam Sabda-Nya, dalam sakramen-sakramen, khususnya dalam Ekaristi” (no.17).
Kasih Allah adalah kekal-tak berkesudahan. Allah adalah setia terhadap diri-Nya, terhadap “firman yang disampaikan kepada seribu angkatan” (Mzm.105:8). Namun demikian keindahan kasih Ilahi yang mendahului dan menyertai kita, harus diwartakan secara baru, khususnya kepada generasi-generasi yang lebih muda. Kasih Ilahi ini merupakan energi hidup yang tersembunyi, suatu motivasi yang tak pernah pudar, bahkan dalam situasi lingkungan sekitar yang sangat sulit sekalipun.
Saudara-saudari terkasih, hendaknya kita membuka hidup kita terhadap kasih Ilahi itu. Inilah kasih dimana Yesus Kristus memanggil kita setiap hari menuju kesempurnaan kasih Bapa (bdk. Mat.5:48). Tolok ukur hidup Kristiani yang tinggi adalah mengasihi “sebagaimana” Allah mengasihi; dengan kasih yang diwujud-nyatakan secara total, suatu pemberian diri yang setia dan menghasilkan buah. St. Yohanes dari Salib, yang sangat menderita karena hukuman seputar pencopotannya dari jabatan, menjawab dengan menulis (surat) kepada Priorin Biara Segovia, mengajak dia agar bertindak seturut kehendak-Nya: “Jangan berpikir pada sesuatu apapun selain Allah yang mengatur segala sesuatu. Dimana tidak ada kasih, taburkanlah kasih, dan di sanalah engkau akan menuai kasih» (Surat, 26).
Di sinilah, yaitu di ‘lahan’ pemberian dan keterbukaan diri terhadap kasih Allah, dan sebagai buah dari kasih Allah itu, lahirlah dan bertumbuhlah aneka-ragam panggilan. Dengan menimba dari sumber ini melalui doa, melalui bantuan Firman Allah dan sakramen-sakramen, khususnya Ekaristi, memungkinkan kita untuk menghayati kasih kepada sesama, dimana kita mampu mengenal wajah Kristus Tuhan (bdk. Mt.25:31-46). Untuk melukiskan hubungan yang tak terpisahkan antara “dua kasih” ini, – kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama –, dimana keduanya mengalir dari sumber yang sama dan kembali kepada sumber yang sama yaitu sumber Ilahi, maka Paus Santo Gregorius Agung menggunakan kiasan atau perumpamaan tentang penyemaian benih: “Di dalam hati kita sebagai sebidang tanah garapan, Allah menanam terlebih dahulu benih kasih bagi kita dan dari benih ini munculah tunas-tunas kasih satu kepada yang lain” (Moralium Libri, sive expositio in Librum B. Job, Lib. VII, cap. 24, 28; PL 75, 780D).
Kedua ungkapan dari satu kasih Ilahi yang tunggal ini haruslah dihayati dengan intensitas khusus dan dengan kemurnian hati oleh mereka yang telah mengambil keputusan untuk menapaki jalan pemurnian panggilan imamat dan hidup bakti; keduanya merupakan unsur yang sangat penting. Kasih kepada Allah – dimana para imam dan kaum religius dipanggil untuk memantulkannya, betapapun tidak sempurna – adalah motivasi untuk menjawab panggilan Allah demi pengudusan hidup secara khusus melalui tahbisan imamat atau pengikraran nasihat-nasihat Injili. Jawaban Petrus yang berapi-api kepada Sang Guru: ”Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau” (Yoh.21:15), merupakan rahasia pemberian diri secara total dan dihayati sepenuhnya, maka dia amat bahagia dengan cara hidup demikian.
Pengejawantahan praktis-aktual lain dari kasih terhadap sesama, khususnya terhadap mereka yang menderita dan berkekurangan, adalah dorongan yang sangat menentukan, yang menjadikan para imam dan para religius sebagai sosok pembangun persekutuan antara umat dan sang penabur harapan. Relasi antara kaum religius, khususnya antara para imam, dengan komunitas kristiani adalah penting dan menjadi salah satu aspek fundamental dari kasih-sayang mereka. Pastor Yohanes Maria Vianney dari Ars senang dengan ungkapan: “Imam-imam bukanlah imam-imam bagi dirinya sendiri, melainkan bagi kalian semua – jemaat kristiani” (Le curé d’Ars. Sa pensée – Son cœur, Foi Vivante, 1966, p. 100).
Saudara-saudaraku yang terkasih para uskup, para imam, para diakon, kaum religius (biarawan-biarawati), para katekis, para petugas pastoral dan kalian semua yang membaktikan diri dalam bidang pembinaan kaum muda : saya sangat menghimbau anda untuk memberi perhatian terhadap anggota-anggota jemaat paroki, kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan gerejani yang merasakan sebuah panggilan imamat dan hidup yang dibaktikan secara khusus. Amat pentinglah bagi Gereja untuk menciptakan suasana yang memungkinkan banyak kaum muda mengatakan “ya” sebagai jawaban yang jujur terhadap panggilan kasih Allah.
Tugas untuk mendorong panggilan adalah menyediakan bimbingan dan panduan yang dapat membantu mereka. Yang utama dari tugas ini adalah cinta akan Firman Allah yang dihidupi dengan cara menumbuhkan sikap akrab dengan Kitab Suci, dengan doa yang terus-menerus dan penuh perhatian, baik secara pribadi maupun dalam kelompok; semua ini akan memungkinkan untuk mendengarkan panggilan Tuhan di antara aneka suara panggilan hidup sehari-hari. Yang lebih penting di antara semua itu adalah sakramen Ekaristi yang harus menjadi pusat dari setiap perjalanan panggilan : di sinilah kasih Allah menyentuh kita dalam kurban Yesus Kristus, yang menjadi ungkapan sempurna cinta kasih; dan di sinilah kita selalu belajar terus menerus bagaimana menghayati “takaran kesempurnaan” akan kasih Allah. Firman Allah, doa dan Ekaristi merupakan harta karun yang berharga untuk memampukan kita memahami keindahan yang memesona dari sebuah kehidupan yang seutuhnya dibaktikan demi pelayanan Kerajaan Allah.
Saya berharap bahwa Gereja-Gereja setempat (keuskupan), dan berbagai kelompok di dalamnya, menjadi tempat untuk pemurnian otentisitas aneka panggilan dan menjadi tempat bagi kaum muda untuk memperoleh pendampingan rohani yang serius dan bijaksana. Dengan cara ini, suatu komunitas kristiani dengan sendirinya merupakan manifestasi atau ungkapan Kasih Allah dari setiap panggilan. Sebagai jawaban atas tuntutan perintah Yesus yang baru, dpat menemukan pengungkapannya yang unik dan mengesankan di dalam keluarga-keluarga kristiani, dimana kasih keluarga merupakan ungkapan kasih Kristus yang telah memberikan diri-Nya bagi Gereja-Nya (Ef.5:32). Di dalam keluarga, yang merupakan “sebuah komunitas kehidupan dan kasih” (Gaudium et Spes, 48), kaum muda dapat menimba pengalaman yang luar biasa tentang apa artinya kasih yang memberikan diri. Dengan demikian, keluarga-keluarga tidak hanya menjadi tempat istimewa untuk membentuk jati diri manusiawi dan kristiani, tetapi juga menjadi “lahan penyemaian benih-benih panggilan yang utama dan terbaik bagi hidup yang dibaktikan demi Kerajaan Allah” (Familiaris Consortio, 53), dengan membantu anggota-anggotanya melihat secara tepat di dalam keluarga itu sendiri, keindahan dan pentingnya imamat dan hidup bakti. Para imam dan seluruh kaum beriman awam hendaknya selalu bekerja sama, agar di dalam Gereja semakin berlipat-ganda “rumah-rumah dan sekolah-sekolah persekutuan” yang menjadi cerminan harmonis persekutuan Tritunggal Mahakudus di dunia ini, seturut teladan Keluarga Kudus Nazaret.
Dengan doa penuh harapan, dengan tulus saya memberkati kalian semua dengan Berkat Apostolikku, saudara-saudaraku para uskup, para imam, para diakon, para biarawan-biarawati dan seluruh umat beriman, khususnya kaum muda, yang dengan patuh berusaha mendengarkan suara Allah dan siap menanggapinya dengan tulus dan setia.
Dari Vatikan, 18 Oktober 2011