Membawakan Bacaan Misa

Boleh percaya, boleh tidak. Ini terjadi di sebuah paroki. Seorang umat terbiasa mencatat angka-angka yang dibacakan lektor pada waktu Misa yang diikutinya. Seusai Misa, orang itu membeli kupon undian berhadiah dan memasang nomor yang telah dicatatnya. Entah, apakah dia pernah mendapatkan keberuntungan dari kebiasaan uniknya itu.

Itukah salah satu manfaat dari dibacakannya angka-angka perikop yang dikutip untuk Misa? Ternyata, ada yang berjudi dengan melibatkan angka-angka dari Kitab Suci. Sebenarnya, perlukah penyebutan angka bab dan ayat itu? Apa lagi yang sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan oleh lektor ketika bertugas memaklumkan Sabda Allah?

Dua cara

Pemakluman Sabda Allah dapat dibawakan dalam dua cara: dibacakan atau dinyanyikan. Kebanyakan memang hanya dibacakan, tapi sesekali boleh juga dinyanyikan. Biasanya bacaan Injil yang lebih mendapatkan perlakuan itu, namun kedua bacaan sebelum Injil boleh diperlakukan serupa.

Kedua cara itu menuntut keterampilan khusus yang perlu dimiliki oleh petugasnya. Setiap petugas sebaiknya lebih dulu mampu menemukan dan memahami makna yang terkandung dalam naskah bacaan yang akan dibawakannya. Tugasnya adalah menghidupkan Sabda yang tertulis itu dengan ungkapan lisan agar Sabda itu hidup dan memiliki daya yang menghidupkan.

Cara dibacakan mungkin lebih dinamis dan hidup. Ada beberapa tuntutan keterampilan teknis yang cukup rumit. Penguasaan unsur-unsur kebahasaan perlu dilatih. Bentuk huruf yang digunakan dalam teks harus dikenali dengan baik. Kata, frase, kalimat, bahkan gaya bahasa yang digunakan juga perlu dipahami. Umat diharapkan dapat terbantu untuk memahami bacaan yang sudah ”dihidupkan” itu.

Rasa bosan tampaknya sering menggelayuti umat jika bacaan dinyanyikan. Cara itu memang tidak dimaksudkan untuk menarik perhatian umat, namun untuk menampilkan sisi keagungannya. Selain menuntut kemampuan musikal, petugasnya pun perlu menguasai hal-hal teknis seperti cara pembacaan.

Mengawali, mengakhiri

Lektor sebaiknya tidak menyebutkan tulisan yang ada pada buku Lectionarium karena memang dimaksudkan untuk tidak diperdengarkan. Dalam buku itu sudah dibedakan, mana bagian yang hanya dibaca sendiri oleh lektor sebagai petunjuk untuk persiapan dan mana yang menjadi bagian untuk diperdengarkan di hadapan jemaat. Bentuk, ukuran, dan warna huruf/tulisan biasanya menunjukkan perbedaan fungsi itu.

Judul rubrik seperti ”Bacaan I/II/Injil…” dan angka bab-ayat asal bacaan itu termasuk yang tak perlu diperdengarkan. Menyebutkannya secara lantang bisa menghambat dinamika liturgi yang harus terus mengalir tanpa intervensi. Itulah contoh virus verbalisme yang sebaiknya dihindari.

Untuk mengawali tugasnya, cukuplah lektor menyebutkan asal bacaan itu: ”Bacaan dari kitab/surat….” Berilah saat jeda singkat sebelum melanjutkan dengan bagian utama pewartaan Sabda Allah. Demikian pula jika bacaan sampai pada titik terakhir. Berilah saat jeda sejenak sebelum menutup: ”Demikianlah Sabda Tuhan”.

Ketika menuju mimbar sebaiknya lektor berjalan sendirian. Di sekitar mimbar, saat ia bertugas, tak perlu ada rekan lain (lektor dan pemazmur) yang menanti giliran tugasnya. Praktik memajang para petugas itu mungkin demi menghemat waktu. Namun, tampaknya kurang indah dan mengganggu pemandangan, seperti Presiden dengan para pengawalnya saja.

Tak perlu risau tentang waktu. Sesudah mendengarkan Sabda, umat sebenarnya juga memerlukan saat hening untuk meresapkannya sejenak. Sambil mungkin sedikit terganggu oleh bunyi suara sepatu petugas berikut yang sedang melangkah menuju mimbar.

Christophorus H. Suryanugraha OSC
Ketua Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia

Sumber link : http://www.hidupkatolik.com/2012/02/14/membawakan-bacaan-misa