“Engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah melainkan apa yang dipikirkan manusia." (Yak 2:1-9; Mzm 34:2-6; Mrk 8:27-33)


“Kemudian Yesus beserta murid-murid-Nya berangkat ke kampung-kampung di sekitar Kaisarea Filipi. Di tengah jalan Ia bertanya kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: "Kata orang, siapakah Aku ini?" Jawab mereka: "Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia, ada pula yang mengatakan: seorang dari para nabi." Ia bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Maka jawab Petrus: "Engkau adalah Mesias!" Lalu Yesus melarang mereka dengan keras supaya jangan memberitahukan kepada siapa pun tentang Dia. Kemudian mulailah Yesus mengajarkan kepada mereka, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari. Hal ini dikatakan-Nya dengan terus terang. Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia. Maka berpalinglah Yesus dan sambil memandang murid-murid-Nya Ia memarahi Petrus, kata-Nya: "Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." (Mrk 8:27-33), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Cukup banyak orang masih bersikap ‘lamis’, artinya manis di mulut tetapi pahit dalam cara hidup dan cara bertindak atau berperilaku. Ketika memberi sambutan, pengarahan atau kotbah atau instruksi dan nasihat kelihatan sebagai orang baik dan bijak (yang nampak dalam wacana atau omongannya), namun ternyata yang bersangkutan bermoral bejat, koruptor dan suka berselingkuh. Dalam Warta Gembira hari ini dikisahkan Petrus yang mengakui Yesus sebagai Mesias, yang datang dari Allah atau Allah yang menjadi manusia, namun tak lama kemudian mengingkariNya. Petrus tidak tahu apa yang dikatakan, yaitu bahwa Mesias harus menderita sengsara dan wafat di kayu salib demi keselamatan jiwa seluruh bangsa di dunia. Rasanya hal senada juga dilakukan oleh mereka yang baru memasuki hidup baru, misalnya murid/pelajar/mahasiswa baru, suami-isteri baru, imam/bruder/suster baru, pegawai baru, pejabat baru dst.. Mengawali hidup baru kelihatan begitu bergairah dan gembira serta sukses, namun seiring dengan perjalanan waktu ketika harus menghadapi aneka tantangan, masalah dan hambatan, kemudian menjadi kendor semangatnya serta mulai menyeleweng atau berselingkuh.
Hal ini terjadi karena orang “bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia”. Hidup baru yang telah diterimanya merupakan anugerah Allah, maka hendaknya dihayati dalam dan dengan pikiran Allah alias sesuai dengan kehendak Allah dan bukan mengikuti keinginan atau selera pribadi. Memang mengikuti kehendak Allah tak akan pernah lepas dari aneka tantangan, masalah dan hambatan, namun demikian marilah kita hadapi semuanya itu bersama dan bersatu dengan Allah, karena dengan demikian kita akan mampu mengatasi atau menyelesaikannya.

· “Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka. Sebab, jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk, dan kamu menghormati orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya: "Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini!", sedang kepada orang yang miskin itu kamu berkata: "Berdirilah di sana!" atau: "Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!" (Yak 2:1-3). Apa yang dikatakan oleh Yakobus ini hemat saya sungguh merupakan pesan atau perintah moral yang cukup jelas, maka baiklah kita laksanakan atau hayati dengan sepenuh hati, kekuatan, jiwa dan pikiran. Kita diharapkan tidak memandang muka, membeda-bedakan karena kekayaan, jabatan, kecantikan atau ketampanan, dst.. karena kita semua adalah sama-sama ciptaan Allah, sama-sama beriman. Hendaknya jangan memandang dan menyikapi orang lain hanya tergantung apa yang kelihatan saja secara sekilas, melainkan perhatikan cara hidup dan cara bertindaknya; lihat dan dengarkan apa yang dilakukannya. Pengalaman saya pribadi dalam bergaul dengan aneka macam orang menunjukkan bahwa mereka yang kelihatannya tidak menarik dan mempesona ternyata memiliki ketulusan hati yang sungguh menarik dan mempesona. Kerajaan Allah atau kehidupan beriman adalah kerajaan hati. Ada pepatah ‘dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati siapa tahu’. Hanya mereka yang memiliki kepekaan hati terhadap orang lain akan mampu mengalami kedalaman hati pribadi maupun orang lain. Maka dengan ini kami berharap kepada orangtua untuk sedini mungkin mendidik dan membina anak-anaknya dalam hal saling memperhatikan alias saling memberi hati satu sama lain. Tentu saja pertama-tama dan terutama orangtua harus sungguh memperhatikan anak-anaknya.

“Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku.Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita. Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya! Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku.Tujukanlah pandanganmu kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri, dan tidak akan malu tersipu-sipu” (Mzm 34:2-6)

Kamis, 16 Februari 2012

Romo Ignatius Sumarya, SJ