Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2010

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) yang diselenggarakan pada tahun 2010 merupakan kesempatan untuk merayakan panggilan kita sebagai Gereja yang dipanggil untuk mewartakan Kabar Gembira Keselamatan (Evangelisasi). Perayaan ini juga merupakan tindak lanjut Kongres Misi Asia I Chiang Mai-Thailand yang diselenggarakan pada tahun 2006. Panggilan kita sebagai Gereja Yang Diutus harus tetap disadari, dihidupi terus menerus serta diwujudkan dalam berbagai lingkup kehidupan. Pada dasarnya upaya Gereja melalui SAGKI 2000 dan SAGKI 2005 juga merupakan bagian dari upaya Gereja dalam mewujudnyatakan panggilan Gereja sebagai Gereja Yang Diutus. Dalam SAGKI tahun 2000 tema SAGKI terarah pada perwujudan dan pemberdayaan Komunitas Basis menuju Indonesia baru. Melalui pendekatan Gereja yang Mendengarkan, Gereja Indonesia berharap kehidupan umat dapat tumbuh semakin utuh dan dengan demikian impian kita mengenai Gereja yang kontekstual dapat diwujudkan. Arah SAGKI tahun 2000 tersebut masih diteruskan kembali dalam SAGKI tahun 2005 dengan harapan Gereja Indonesia dapat Bangkit dan Bergerak dalam upayanya membentuk keadaban publik baru bangsa. Dengan kata lain, gerakan setiap komunitas basis diharapkan dapat menjadi gerakan yang berorientasi ke depan untuk mengembangkan kehidupan berbangsa yang semakin beradab. Pembentukan keadaban publik tersebut mencakup seluruh bidang kehidupan entah politik, ekonomi, sosial, hukum, agama dan sebagainya sehingga dalam SAGKI 2005 dimunculkan berbagai masalah tentang ketidakadaban yang dipandang mendesak untuk diatasi bersama. Dengan demikian arah SAGKI tahun 2000 dan tahun 2005, sejalan dengan perutusan Gereja untuk mewartakan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam kehidupan umat Katolik di tengah masyarakat.

Untuk menegaskan kembali panggilan perutusan Gereja, maka SAGKI 2010 mengambil tema: Ia Datang Supaya Semua Memperoleh Hidup Dalam Kelimpahan (bdk. Yoh 10:10). Dalam SAGKI 2010 ini diharapkan setiap utusan dari keuskupan dapat berkumpul untuk merayakan dan menegaskan kembali panggilannya. Maka metodologi yang digunakan dalam SAGKI 2010 adalah seperti metodologi yang digunakan dalam Kongres Misi Asia I di Chiang Mai, Thailand pada tahun 2006. Pada kesempatan itu, para peserta kongres yang merupakan delegasi setiap negara Asia berefleksi tentang perutusannya dan dipandu untuk meninjau kembali metodologi yang khas untuk melakukan evangelisasi, yaitu dengan berkisah atau berbagi iman dalam konteks Gereja-gereja di Asia. Paus Yohanes Paulus II dalam Ecclesia in Asia sudah menegaskan bahwa narasi (bercerita) yaitu ‘pedagogi yang evokatif, yang menggunakan kisah, perumpamaan dan simbol-simbol, merupakan kekhasan pengajaran di Asia’ (EA 20)

Kongres misi itu juga memberikan rekomendasi kepada Gereja-gereja di Asia agar perayaan iman ini ditindaklanjuti di setiap negara Asia sambil mencari inspirasi dari kekhasan dan keragaman negara masing-masing.

Gereja Katolik Indonesia lewat para Waligerejanya dalam sidang tahunan KWI tahun 2008 telah memutuskan agar Kongres Misi di Indonesia diselenggarakan pada tahun 2009. Jadwal itu ternyata berdekatan dengan ritual lima tahunan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia yang jatuh pada 2010. Karena itu, para Uskup Indonesia kembali sepakat untuk menunda Kongres Misi di Indonesia dan menggabungkannya dengan SAGKI tahun 2010, untuk menghindari dua pertemuan besar berturut-turut dalam waktu yang berdekatan sehingga akan menguras tenaga, waktu dan biaya yang terlalu besar.

1. TEMA: Ia Datang Supaya Semua Memperoleh Hidup Dalam Kelimpahan (bdk. Yoh 10:10)

Tema ini akan menjadi isi pergumulan dan refleksi selama pekan perayaan SAGKI 2010. Sebagai orang-orang Kristiani, kita dipanggil untuk mengambil bagian dalam hidup dan misi Yesus. Kita akan dipandu untuk melihat sejauh manaYesus yang kita imani, kita hadirkan (wartakan) di dalam lingkungan Gereja (missio ad intra) dan juga di dalam masyarakat Indonesia (missio ad extra) lewat kesaksian hidup kita (kita menjadi saksi kehadiran Yesus).

Unsur INDONESIA adalah konteks dimana Yesus (Kabar Baik) itu dihayati dan kita hadirkan. Konteks Indonesia memang sangat beragam, variatif dan bersifat plural. Beberapa di antaranya seperti konteks budaya, konteks kehidupan sosial dan ekonomi, konteks keamanan, konteks keragaman agama dan ekspresi budaya, konteks minoritas-mayoritas, konteks perjuangan nilai, lingkungan hidup dan migran-perantauan, keadilan sosial, konteks relasi dan komunikasi dll. Itulah ’areopagus’ perutusan Gereja. Perutusan ini menuntut kreativitas dalam menghadirkan Yesus yang wajah-Nya dapat kita temukan dalam konteks yang beragam di Indonesia. Ada kegembiraan dan harapan, namun ada duka dan kecemasan. Semuanya itu merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan Yesus sendiri (bdk. GS. no 1), karena ”... ketika Aku lapar, kamu memberikan Aku makan, ketika Aku haus, kamu memberikan Aku minum; ketika Aku sebagai orang asing, kamu memberikan Aku tumpangan” (bdk. Mat 25:35 ss). Demikianlah Yesus menyamakan diri-Nya dengan orang-orang miskin dan mengundang semua orang untuk melihat di dalam diri orang-orang miskin itu wajah-Nya sendiri. Wajah Yesus seperti inilah yang antara lain akan kita kisahkan, kita renungkan, kita sharingkan, kita doakan dan rayakan selama pekan SAGKI.

Kita akan menjadikan pengalaman-pengalaman itu sebagai sumber kegembiraan dan kekuatan untuk menjadi bentara cinta dan damai-Nya di tengah-tengah berbagai prasangka sosial-politik, serangan teror, bencana alam dan bencana buatan manusia dan dengan keyakinan bahwa melalui Dia, rekonsiliasi itu akan terjadi dan damai yang dirindukan itu akan tercapai.

3. DASAR BIBLIS


Yoh 10:10 “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.”

4. TUJUAN

a. Melihat sejauh mana Kristus sudah diterima dan berpengaruh di dalam kehidupan
b. Bagaimana kita menghadirkan Yesus dan mewartakan-Nya lewat kesaksian hidup kita di dalam lingkungan Gereja dan masyarakat dengan keyakinan bahwa hidup-Nya adalah hidup kita, perutusan-Nya adalah perutusan kita.
c. Menggerakkan semangat ber-evangelisasi umat Katolik Indonesia

5. SUASANA

Suasana sidang ini adalah suasana perayaan yang penuh dengan kekerabatan serta persaudaraan dan bukan refleksi akademis. Menuturkan dan mendengarkan kisah menjadi warna dalam perayaan iman itu. Kisah-kisah itu dituturkan lewat narasi publik maupun dalam kelompok, dalam perayaan, dalam doa-doa dan ibadat, dalam ekaristi, dalam pentasan budaya dan seni yang bisa diterjemahkan dalam berbagai media. Narasi itu didasarkan pada 1 Yoh 1 : 3 “Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami ceritakan kepada kamu juga…………….”.


Uskup, imam dan kaum religius juga mendapat kesempatan untuk mensharingkan karya evangelisasi dan pastoralnya dalam konteks evangelisasi Gereja Katolik di Indonesia yang mereka laksanakan. Bagaimana mereka mengenal dan mengalami wajah Yesus dalam lingkungan Gereja lokal, dalam penghayatan hidup religiusnya di tengah realitas bangsa Indonesia dan keberagaman umat yang dilayaninya baik yang berada di sentra-sentra perkotaan, maupun yang bermukin di pelosok-pelosok pedesaan; baik yang terhimpun dalam kelompok-kelompok sosial terstruktur maupun yang tercerai berai. Itulah wajah-wajah Yesus yang layak diceritakan, dibagikan untuk memperkaya cara beriman kita dan memberikan semangat misi bagi kita.

6. METODE: NARATIF

Yohanes Paulus II dalam Ecclesia in Asia sudah menegaskan bahwa narasi (bercerita) adalah ‘pedagogi yang evokatif, yang menggunakan kisah, perumpamaan dan simbol-simbol merupakan kekhasan pengajaran di Asia’ (Ecclesia in Asia 20)

Selanjutnya Paus Yohanes Paus II menandaskan bahwa perutusan Gereja merupakan berbagi pengalaman dalam terang iman akan Yesus Kristus, suatu karunia yang diterima dan harus dibagikan kepada orang lain. Berbagi pengalaman itu mengambil bentuk berbagi kisah tentang Yesus. (Ecclesia in Asia 20)

Kisah juga dapat mentransformasi pendengar, membuka makna baru dan mengundang pendengar untuk terlibat yang pada akhirnya bisa mentransformasinya menjadi sebuah kisah baru.

Kisah memberikan makna kepada spiritualitas dan terhadap simbol iman Gereja. Tanpa kisah, simbol itu bisa kehilangan daya dan kekuatannya. Dengan kata lain, simbol iman harus berakar pada kisah dasar tentang Yesus Kristus. Misalnya, pemecahan roti dan perayaan Ekaristi harus dilihat sebagai kisah tentang berbagi, mengasihi dan persekutuan, yang tanpa hal itu ritual menjadi kehilangan maknanya.

Kiriman Komisi Komunikasi Sosial KAS.