Hari Minggu Biasa XXI : Yes 66:18-21; Ibr 12:5-7.11-13; Luk 13:22-30
oleh Romo. I. Sumarya, SJ
"Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sesak itu!”
Kebiasaan menyontek di antara para murid/pelajar/mahasiswa di dalam ulangan umum atau ujian masih marak di dunia pendidikan Indonesia. Kebiasaan itu sering memperoleh dukungan atau bahkan dorongan dari para guru atau dosen. Kebiasaan jalan pintas atau ‘budaya instant’ itulah yang sungguh memprihatinkan dan merusak sikap mental atau kepribadian manusia Indonesia. Kebiasaan itu menggejala dalam bentuk lain antara lain: ingin cepat-cepat menikmati enaknya hubungan seksual di antara muda-mudi maupun mereka yang bernafsu seks besar, yang berakibat dengan pengguguran atau perpecahanan keluarga atau perceraian. Ada juga orang ingin ingin cepat-cepat kaya dan kemudian tergerak untuk melakukan korupsi atau mencuri/merampok,dst.. Mereka menelusuri ‘jalan tol/bebas hambatan’ yang leluasa dalam waktu singkat, dan dampaknya mereka akan menderita dalam waktu yang panjang atau bahkan seumur hidup. Memang untuk hidup baik, berbudi pekerti luhur, bermoral, dicintai oleh Tuhan dan sesama, harus menghadapi aneka tantangan, masalah maupun hambatan, sebagaimana disabdakan oleh Yesus:“Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sesak itu! Sebab Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan berusaha untuk masuk, tetapi tidak akan dapat” (Luk 13: 24). Maka sebagai umat beriman yang berhasrat untuk setia dalam penghayatan iman, marilah kita renungkan atau refleksikan sabda Yesus tersebut.
"Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sesak itu! Sebab Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan berusaha untuk masuk, tetapi tidak akan dapat” (Luk 13:24).
Mengikuti atau menjadi murid-murid Yesus Kristus berarti harus menelusuri jalan salib untuk mendaki bukit Kalvari alias siap sedia untuk menderita bersamaNya. Dengan kata lain kita dipanggil untuk hidup dan bertindak mengikuti ‘proses’, sedikit-sedikit dan lama-lamaan menjadi bukit. Maka dengan ini kami mengingatkan dan mengajak anda sekalian untuk mawas diri perihal panggilan dan tugas masing-masing, sejauh mana hidup dan bertindak mengikuti proses yang benar dan menuju ke keselamatan atau kebahagiaan sejati:
1) Peserta didik/pelajar/mahasiswa: Kami harapkan para peserta didik, pelajar dan mahasiswa dalam melaksanakan tugas utama belajar bersemangat mengikuti ‘proses mengajar-belajar’ dan ‘eksplorasi’. Keutamaan mendengarkan dengan rendah hati yang mendalam sangat dibutuhkan di dalam belajar, yang disertai keterbukaan dan kesiap-sediaan akan segala kemungkinan dan kesempatan untuk belajar, tumbuh dan berkembang. Hendaknya minimal selama 8 (delapan) jam per hari secara efektif melaksanakan tugas belajar, entah di dalam sekolah maupun rumah. Maka ketika di sekolah kurang lebih selama 6(enam)jam efektif belajar, hendaknya di rumah belajar, entah mengulangi apa yang tadi diajarkan atau mempersiapkan pelajaran yang akan datang selama 2 (dua) jam efektif. Mengikuti proses berarti jujur dan disiplin serta tidak menyontek dalam ulangan atau ujian, sedang bersemangat ‘eksplorasi’ berarti senantiasa merasa haus dan lapar akan aneka pengetahuan dan dengan demikian belajar terus menerus, ‘auto-didak’. Usahakan agar semakin terampil dalam belajar.
2) Para pekerja: Kami berharap kepada para pekerja setia pada jati dirinya sebagai pekerja, dengan kata lain pertama-tama dan terutama manfaatkan waktu kerja untuk sungguh-sungguh bekerja dengan semangat belajar dan eksplorasi. Hendaknya berpegang pada ajaran Yesus bahwa seorang pekerja layak memperoleh upah atau imbal jasa yang memadai. Semangat belajar dalam dan selama bekerja berarti senantiasa siap sedia diberi tugas atau pekerjaan baru, sesuai dengan kebutuhan atau tuntutan usaha dimana anda bekerja. Hendaknya bekerja keras dengan jujur dan disiplin, serta jauhkan menggunakan waktu kerja untuk urusan pribadi atau bercanda, ngobrol saja. Usahakan agar anda semakin terampil bekerja.
3) Yang merasa terpanggil untuk hidup berkeluarga/menjadi suami-isteri: Kami berharap kepada para suami-isteri untuk menghayati ‘sakramen perkawinan’ atau ‘janji perkawinan’ sebagai ‘SIM’/ Surat Izin Mengasihi, awal langkah untuk membuktikan bahwa anda berdua saling mengasihi. Maka baiklah ajaran Paulus perihal kasih ini menjadi pedoman atau pegangan dalam saling mengasihi, yaitu: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan” (1Kor 13:4-8a). Saling mengasihi harus dijiwai dengan saling berkorban dengan rendah hati, dan jika anda berdua sungguh saling mengasihi maka anda berdua semakin lama semakin nampak sebagai manusia kembar. Usahakan agar anda berdua terampil dalam mengasihi baik dalam untung maupun malang, sehat maupun sakit sampai mati.
4) Yang merasa terpanggil untuk hidup sebagai imam, bruder atau suster: Sebagai yang terpanggil untuk ‘hidup wadat atau tidak menikah demi Kerajaan Allah’, kami harapkan semakin dikuasai atau dirajai oleh Allah dalam cara hidup dan cara bertindak setiap hari dalam aneka kesibukan, pelayanan atau tugas pekerjaan, dengan kata lain semakin dikasihi oleh Tuhan dan sesama manusia. Siapapun yang bertemu dengan atau melihat kita sebagai yang terpanggil tergerak untuk semakin beriman, semakin membaktikan diri seutuhnya kepada. Tuhan. Kesaksian hidup dan kerja anda sebagai yang terpanggil merupakan cara utama dan pertama dalam rangka promosi panggilan.
"Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (Ibr 12:5-6)
Kutipan dari surat Ibrani di atas ini kiranya baik menjadi permenungan dan pegangan kita semua sebagai orang beriman, orang-orang yang dikasihi Tuhan. Marilah kita menghayati diri sebagai anak yang sedang dididik agar tumbuh berkembang sebagai pribadi yang cerdas beriman. Kita sadari dan hayati kebodohan dan kedegilan kita serta kebutuhan untuk dididik dan ditumbuh-kembangkan. Bentuk tindakan mendidik tidak semuanya enak di tubuh, hati, jiwa maupun akal budi, dan sering membuat kita kesakitan atau menderita. Sakit dan menderita karena setia pada panggilan dan tugas pengutusan adalah jalan keselamatan atau kebahagiaan sejati, maka ketika anda harus sakit dan menderita hendaknya tidak menjadi putus asa, melainkan semakin berharap kepada atau menggantungkan diri pada Penyelenggaraan Ilahi/Tuhan. Kita diingatkan bahwa ‘janganlah anggap enteng didikan Tuhan’. Didikan Tuhan antara lain kita terima melalui arahan, nasihat, ajaran, petuah, ketedanan dst.. dari mereka atau siapapun yang mengasihi kita, maka hendaknya semuanya itu tidak disikapi bagaikan ‘angin berlalu’, melainkan sebagai peringatan yang memacu kita semua untuk terus melangkah maju. Dididik berarti dirubah dan siap sedia berubah, dan setiap perubahan membutuhkan pengorbanan dan perjuangan serta harapan. “Jer basuki mowo beyo” = untuk hidup mulia dan damai sejahtera, orang harus berjuang dan berkorban.
“Pujilah TUHAN, hai segala bangsa, megahkanlah Dia, hai segala suku bangsa! Sebab kasih-Nya hebat atas kita, dan kesetiaan TUHAN untuk selama-lamanya. Haleluya!”
(Mzm 117)
Jakarta, 22 Agustus 2010