Peringatan Maria Diangkat ke Surga sudah dirayakan sejak abad ke-4, tapi baru pada tahun 1950 peringatan ini secara resmi ditetapkan sebagai sebuah ajaran iman. Permohonan untuk menjadikan peristiwa Maria Diangkat ke Surga sebagai dogma datang dari 113 kardinal, 2.505 uskup, 32.000 pastor dan biarawan, 50.000 biarawati, dan 8 juta umat awam.
Bagi banyak orang masa kini, mungkin tersirat gagasan, seakan-akan ajaran mengenai ‘Santa Maria diangkat ke surga’ itu relatif masih baru. Memang rumusan resminya baru diungkap sebagai dogma Gereja oleh Paus Pius XII pada tahun 1950[1] setelah semua Uskup dimintai pendapat dengan surat tanggal 1 Mei 1946. Namun tradisi dan ajaran mengenai ‘Pengangkatan Maria ke surga” sudah berusia tua sekali. Sudah sejak abad 8 umat kristiani merayakan pesta Maria diangkat ke Surga.[2]
Tampaknya Maria meninggal dalam situasi privat sekali. Berbeda dengan Anaknya yang meninggal di tengah orang banyak. “Maria, bunga bakung firdaus, meninggal di tengah bunga-bunga yang tumbuh bersertanya”. Keberangkatannya tidak diseru-serukan di dunia. Gereja memang sibuk dengan pengutusan hariannya: mewartakan Kabar Anak Maria, menderita, dikejar-kejar. Pada suatu waktu di antara mereka rupanya beredar kabar bahwa Maria sudah tidak di antara mereka lagi. Mereka mencari-cari tempat Maria dikuburkan, peninggalannya dst. Tidak jelas apakah di Ephesus? Di Yerusalem? Kabar simpang siur; pun kalau orang modern memasang Maria di mana-mana untuk mendapat keuntungan keuangan. Sebenarnya tak seorang pun pernah menemukan makamnya. Ada pula kabar yang mengatakan bahwa pada waktu tertentu para Rasul berkumpul di sekitar Bunda Yesus, yang sudah lemah sekali. Namun ditradisikan bahwa Maria tidak disimpan dalam kubur; ia diangkat ke surga oleh Anaknya.”[3]
Orang pertama yang tercatat mempermasalahkan tubuh Maria adalah St. Epiphanius. Ia menjadi Uskup pada abad 4.
Alkitab tidak mengatakan bahwa Maria tetap tinggal di rumah Yohannes sesudah dialog di salib. Tampaknya, seperti dalam Injil, Maria memang mengambil posisi ‘diam’ dan ‘mengunyah segalanya dalam hati’. Mungkin juga Wahyu 12: 13 memperlihatkan Maria dilepaskan dari genggaman maut.
St. Johannes dari Damaskus sudah menyusun suatu kotbah bagus mengenai Maria diangkat ke surga. Sejak pertengahan abad 5 sudah ada kalangan kristiani luas yang merayakan pesta dengan sebutan “Peringatan Bunda Allah” pada tanggal 15 Agustus. Tempatnya di suatu tempat jiarah dekat Yerusalem. Pada akhir abad 6 pesta tersebut khususnya untuk mengenangkan akhir kehadiran Maria di dunia: hari Maria dipanggil kembali kepada Bapa. Pada abad 8 Paus Sergius membawa pesta itu ke Roma bersama dengan 3 pesta lain yang berkaitan dengan Maria. Dari Roma pesta itu menyebar ke seluruh Eropa. Pada akhir abad 8, Paus Adrianus memberinya nama Pesta Maria diangkat ke surga. Pada tahun 1169 Paus Alexander III menulis “Maria dikandung tanpa noda, melahirkan tanpa sakit dan berangkat lagi ke surga tanpa mengalami pembusukan kuburan: jadi memperlihatkan – sesuai dengan kata-kata malaikat – bahwa Maria penuh rahmat : tidak kurang!”.[4] Menjelang akhir abad 15 sudah hampir tidak ada orang yang menyangsikan perlunya pesta itu. Pada abad 17 Suarez berkata bahwa “tiada orang katolik saleh yang menyangsikan atau mengangkal misteri itu”. Kemudian Alphonsus Liguori menghubungkan pengangkatan ke surga dengan misteri Maria dikandung dengan tanpa noda. Setelah pengumuman dogma Maria dikandung tanpa noda dosa tahun 1854, banyak sekali usul dari seluruh dunia menghendaki diumumkannya dogma mengenai pengangkatan Maria ke surga.[5] Banyak sekali gereja yang dibaktikan kepada Maria diangkat ke surga. Begitu pula kota dan kabupaten yang berlindung di bawah Maria yang diangkat ke surga. Di Gereja Timur dan Gereja Barat waktu itu sudah ada doa ibadat harian mengenai Maria yang diangkat ke surga pula. Buku sakramen Perancis dan Bizantium memuat doa itu.
Baiklah kita memandangnya dari kacamata iman pada Yesus Kristus.[6] Kita semua percaya bahwa Yesus Kristus naik ke surga: tubuh dan badan yang baru dibangkitkan. Ajaran itu disebut iman akan Kenaikan Yesus Ke Surga. Ajaran tersebut secara eksplisit diwahyukan dalam Alkitab. Kita semua juga percaya, bahwa semua orang benar akan masuk surga, rohani dan jasmani. Dengan kata lain, tubuh dan jiwa kita akan sama-sama dimasukkan ke surga, mengikuti Tubuh Yesus Kristus yang dibangkitkan. Hal itu juga secara eksplisit diwahyukan dalam Alkitab. Oleh sebab itu kita semua percaya, bahwa para kudus sekarang ini ada di surga, sedangkan tubuh mereka ada di makam. Kebenaran-kebenaran tersebut di atas diterima oleh semua orang yang menyebut diri kristiani.
Kita, sebagai umat katolik percaya bahwa tubuh Santa Perawan Maria sekarang ini pun sudah ditempatkan di surga – mulia.[7] Kita menyebut ajaran ini “Santa Perawan Maria diangkat ke surga” pada akhir hidup duniawinya (dengan seluruh darah dan dagingnya); yang bagi kita baru akan terjadi pada akhir jaman. Maka kita percaya bahwa tubuh Yesus dan Maria sekarang ini sudah ada di surga. Bedanya: Yesus naik ke surga atas kekuatannya sendiri sedangkan Maria diangkat ke surga oleh Anaknya. Oleh sebab itu kita mempergunakan 2 istilah yang berlainan: Kenaikan Kristus dan Pengangkatan Maria ke surga.
Tidak ada data historis positif untuk membuktikan Pengangkatan Maria ke surga. Jean Guitton, seorang beriman Perancis, mengatakan bahwa tidak mungkin kita menerima sebagai data, seakan-akan para Rasul hadir pada saat Maria meninggal, memakamkannya dan menemukan kubur itu kosong pada hari ketiganya. Namun ada data-data negatif, yang dapat dicatat.
Tak pernah ditemukan makam Maria. Selain itu, sampai abad 5 tidak ada satupun legenda mengenai pemakaman Maria. Padahal kedudukan Maria di antara para Rasul merupakan kondisi subur untuk terciptanya legenda, seperti terjadi dalam banyak tokoh keagamaan lain. Tidak ada sama sekali peninggalan tubuh Maria. Tidak ada juga orang atau kota yang mengaku mempunyai peninggalan Maria. Padahal sejak jaman dulu senantiasa ada penghormatan pada peninggalan para kudus atau martir. P. Canica OFMCap mengaku, bahwa andaikata ada peninggalan Maria, pasti sudah akan jadi bahan penghormatan, bila melihat maraknya penghormatan kepada para suci dalam Gereja. Namun ditemukan Paus Adrianus I mengirim kepada Kaisar Karl Agung (784-791) suatu buku mengenai Sakramen-sakramen, yang antara lain memuat doa mengenai meninggalnya Maria.[8]
Selama 16 abad pertama, tidak ada ahli ajaran Gereja atau sekolah teologi yang menyangsikan pengangkatan Maria. Para ahli lebih banyak berdebat mengenai Maria dikandung tanpa noda dosa.
Ada beberapa nas dalam Alkitab yang mungkin memberikan data implisit mengenai Maria, khususnya: Kej 3: 15; Luk 1: 28; Why 12: 1-2.
Nas-nas tersebut berkaitan dengan sebab-sebab iman akan Pengangkatan Maria ke surga. Iman kristiani sejak awal yakin bahwa Kristus menghendaki ibuNya mengambil bagian dalam hidupNya. Maka dari itu Ia juga membawa Maria ikut serta menikmati kemuliaanNya dengan kebangkitan. Kecuali itu, iman para Rasul masih menyimpan iman anak cucu Abraham, bahwa pembusukan makam adalah suatu hukuman atas dosa (Kej 3: 19). Daging kita adalah “daging dosa” (Rom 8:3). Kebanyakan dosa-dosa kita terjadi melalui kehendak daging. Namun dalam Maria tidak ada setitik pun noda dosa. Dengan Maria dikandung tanpa noda dan karena ia penuh rahmat, maka ia dianugerahi kekebalan dari kebusukan dalam tubuhnya. Sebab prinsip pembusukan yang ada pada kita semua itu tidak ada dalam Maria. “Daging dan darah”, kata Alkitab, “tidak dapat memiliki Kerajaan Allah” (1 Kor 15: 15). Bahkan tubuh para kudus tidak dapat masuk Kerajaan Allah. Mereka harus diperbaharui oleh tangan Allah. Oleh sebab itu tubuh Maria – tanpa noda, murni dan tanpa dosa – tidak dapat dibusukkan.
Sejak awal mula Maria dikandung, ia mengatasi keadaan manusia biasa dan berada dalam kondisi seperti Adam dan Hawa sebelum jatuh ke dalam dosa. Andaikata mereka itu tidak berdosa, maka mereka tidak akan mendengar kata kutukan: “Kamu debu dan akan kembali menjadi debu” (Kej 3: 19). Dengan demikian, keadilan ilahi tentulah menjaga Maria sehingga tidak jatuh ke dalam akibat kutukan awal itu.
Tubuh Maria yang tak bernoda, dalam arti tertentu, adalah asal dari pengudusan semua manusia. Dagingnya digunakan untuk membentuk tubuh Anaknya; tubuh yang Dia gunakan untuk mati di salib guna menghancurkan maut dan dosa. Itulah juga yang diberikanNya kepada kita sehingga kita dapat bangkit dari mati. Kalau demikian, mungkinkan bahwa tubuh Maria, yang sejaringan dengan tubuh Kristus, sarana penyelamatan dan kebangkitan itu, akan mengalami kematian dan pembusukan dalam makam? Kandungan yang membawa Yesus, tangan yang membelaiNya, lengan yang memeluknya, Maria yang menyusuiNya, hati yang mencintaiNYa – tidaklah mungkin melusuh menjadi debu dalam malam.
Kemenangan total Kristus atas Setan mencakup kemenangan atas dosa dan kematian. Maria, Bunda Allah, berada dalam kesatuan yang amat intim dengan Yesus, juga dalam kemenanganNya terhadap Setan. Maria tidak hanya menyediakan daging yang dipersembahkan Kristus bagi penebusan kita. Maria juga mengambil peran menentukan dalam kerjasama untuk penebusan. Ia disatukan dengan Kristusn dalam pelbagai bagian kemenanganNya. Maka Maria juga dipadukan dengan Yesus Kristus dalam kemenanganNya atas kematian, dengan kebangkitan dan pengangkatannya mendahului akhir jaman. Itulah alasan yang disebutkan oleh Paus Pius IX dalam Bulla Ineffabilis Deus.
Dalam Maria mengandung dan melahirkan Anaknya sebagai perawan, Allah melakukan mukjijad unik tanpa tanding. Mukjijad itu adalah suatu tindakan ilahi yang menunjukkan hormat kepada tubuh Bunda Allah. Allah mempertahankan keutuhan tubuh BundaNya melawan segala hukum kodrat. Tidaklah mungkin Allah lalu tidak mengijinkan tubuh tanpa noda itu menderita noda yang tak terhingga lebih besarnya dalam wujud kebusukan makam.
Tentu saja, umat katolik yakin, bahwa semua keistimewaan dan kemuliaan Maria itu disebabkan oleh Anaknya. Martabat IlahiNya mengandaikan dan menuntut kesempurnaan dalam ibuNya. Tubuh Maria adalah Tubuh Kristus. Dan Kristus memilikinya serta menjaganya dari kebusukan karena juga telah tersedia untuk membentuk Tubuh Penebus. Tubuh Maria harus tanpa noda dan tanpa dosa, sebagaimana jiwanya. Penghinaan si Ibu (dengan busuk di makam) akan juga menjadi penghinaan terhadap Sang Anak.
Perihal Perkembangan dan Definisi ajaran iman tentang Maria diangkat ke surga dapatlah dikaitkan dengan peristiwa di pertengahan abad 19. Sesudah Paus Pius IX merumuskan dogma “Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa” tahun 1854, segera orang berpikit mengenai Pengangkatan Maria ke Surga. Keduanya merupakan kebenaran iman yang tidak secara eksplisit ada dalam Alkitab. Banyak orang mengirimkan petisi ke Tahta Suci. Antara tahun 1849 sampai 1940 ada lebih dari 2500 petisi yang ditulis oleh uskup dan pemimpin tarekat. Angka itu menjangkau sampai sekitar 70% hirarki. Pada tanggal 1 Mei 1946 Paus Pius XII mengirim ensiklik berjudul “Perawan Bunda Allah” yang meminta semua uskup seluruh dunia untuk melaporkan iman dan devosi mereka pribadi, umat, imam, biarawan/wati mengenai Pengangkatan Maria ke Surga. 1185 menjawab bahwa ajaran itu dapat didogmakan dengan aman. Hanya 16 orang yang menulis, apakah perumusan dogma itu tepat waktu saat itu (bukan mengenai kebenarannya). Oleh sebab itu pada tanggal 1 November 1950, sehari sesudah penutupan Kongres Maria Internasional yang kedelapan di Roma, Pius XII secara meriah merumuskan dogma Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga. Peristiwa besar itu berlangsung di Piazza St. Pietro di hadapan 40 Kardinal, 500 Uskup, ribuan imam dan hampir sejuta umat beriman.
Untuk mendalaminya, baiklah kita mengamati kata-kata yang dipergunakan oleh Seri Paus: “Maria sesudah menyelesaikan tugas hidupnya di dunia, diangkat ke surga dengan tubuh dan jiwanya masuk kekemuliaan surgawi”.
Sebagaimana Maria menerima Kristus di dunia, demikianlah Kristus menerima Maria di surga. Setelah sudi turun atas Maria, tepatlah juga kalau Allah mengangkat Maria kepada kemuliaan surgawi. Tempat Bunda Allah adalah di cahaya kemuliaan abadi dan tidak di kekelaman makam. Menurut Jean Guitton, “Perawan, yang memberikan dorongan kepada dunia dan yang sudah melepaskan dirinya dari dunia, serta menjadi lambang tujuan sejarah”.
Oleh sebab itu kita dapat berdoa seperti Paus Pius XII sebagai berikut:
"O, Perawan yang tanpa noda, Bunda Allah dan Bunda seluruh umat manusia,
kami percaya dengan seluruh gairah iman kami akan pengangkatanmu ke surga, dengan seluruh jiwa dan raga. Di surga engkau disambut sebagai ratu dari semua paduan suara para malaekat dan seluruh laskar para kudus. Kamu menyatukan suara kami untuk memuji dan memuliakan Tuhan, yang telah meninggikan engkau dari segala ciptaan dan untuk memberikan kebaktian dan cinta kami”.[9]
Mungkin dapat dipertanyakan: mengapa masih juga banyak orang sulit percaya akan Pengangkatan Maria ke Surga? Gereja Ortodoks sebenarnya setuju mengenai isi pengangkatan Maria ke surga, namun tidak sepakat kalau dimaklumkan oleh Seri Paus.[10] Sejumlah tokoh dalam Gereja-gereja Reformasi berkeberatan karena dasar alkitabiahnya tidak jelas, padahal bagi mereka, Alkitab adalah satu-satunya sumber bahwa kita beriman. Maka mereka meragukan dogma ini, walau menghormati Maria juga.
Bagi umat katolik, Alkitab perlu kita terima dalam kesatuan dengan seluruh tradisi iman gerejawi, sebagaimana diungkapkan dalam ayat terakhir Injil Yohannes. Kita perlu menangkap banyak hal dalam Alkitab secara utuh: baik arti biologis, makna katanya maupun keseluruhan latar belakang budaya dan spiritualnya. Maka pengangkatan Maria ke Surga perlu dipahami bukanlah sebagai pertama-tama peristiwa fisik atau biologis atau budaya atau politis. Di sini kita berbicara mengenai peristiwa rohani dan hal spiritual. Untuk dapat masuk ke dalam lapisan hidup rohani dan spiritual itu diperlukan iklim hidup tertentu. Sulitlah kita masuk ke lapisan itu apabila terlanjur menjadi materialistik, seperti yang tampaknya melanda masyarakat kita sejak tahun 1965an. Idealisme persatuan digeser oleh pragmatisme mencari uang dan kesejahteraan lahiriah. Namun di samping itu juga ada arus lain yang tidak kalah mengganggu hidup spiritual kita, yaitu arus yang terlalu cepat atau suka mengembalikan segala sesuatu pada hukum agama atau formalisme religius. Dalam arus ini orang digoda untuk menjadikan hukum agama atau ungkapan ritual agama sebagai patokan bagi hidup manusia, termasuk batinnya. Dengan demikian orang menyempitkan hidup spiritual pada segi-segi hukum.
Serupa itulah orang yang menolak misteri yang diungkapkan oleh Pengangkatan Maria ke Surga. Sebab dalam misteri ini orang diajak percaya akan hubungan mesra dan akrab antara yang fisik atau biologis dengan yang spiritual. Penebusan yang bersifat rohani-spiritual diakui terwujud dalam yang fisik dan biologis. Anak Allah yang secara fisik biologis sudi hadir dalam diri gadis desa Maria, itu melaksanakan penebusan umat manusia melalui kemanusiaanNya. Penderitaan dan kematianNya di salib yang amat jasmaniah adalah wujud kelihatan dari penyelamatan alam semesta. Maka pemenuhannya yang juga mencakup kedua hal itu dianugerahkan pula dalam ibuNya yaitu Bunda Maria. Maka ‘surga’ bukanlah tempat, melainkan suatu keadaan: di situ Anak dan Ibu menjadi satu dan bagi kita tersedia hal serupa. Bahkan Mat 27:52 menunjukkan bahwa bagi pelbagai kelompok manusia tersedia pemenuhan kebahagiaan lahir batin.
Cara pandang Gereja Katolik tidak perlu mencemaskan, seakan-akan terlalu memuja Maria. Sebab pesta yang dirayakan adalah ‘Pengangkatan Maria ke Surga’, jadi ada nada ‘pasif’. Sebab dalam iman ini pelaku utama adalah Sang Penebus. Dialah yang menebus dan Dia pula yang duduk di sisi kanan Allah Bapa. Maria hanya memperoleh karunia ini karena jasa Anaknya.[11] Mungkin kita dapat melihatnya dalam kaitan dengan Kitab Wahyu 11: 19 dan 12: 1dst.
Seperti ajaran mengenai ‘Maria dikandung tanpa noda dosa’, ajaran mengenai ‘Maria diangkat ke surga’ berkembang secara perlahan-lahan. Salah satu penghambat adalah suatu kotbah yang dikatakan berasal dari St. Hieronimus, yang menolak ajaran itu.[12] Namun kemudian terbukti bahwa tulisan itu tidak berasal dari St. Hieronimus. Kelak St. Thomas Aquino menyetujui ajaran iman mengenai Pengangkatan Maria ke Surga, dalam uraiannya mengenai “Salam Maria”.
Zaman sekarang orang tidak begitu menghargai lagi darah-daging manusia, ketika begitu banyak pembunuhan dan perkosaan hak azasi manusia. Kultur minuman keras dan obat perangsang serta bius maupun materialisme yang tanpa kendali menunjukkan hedonisme tanpa batas. Pada masa seperti ini, dogma mengenai pemuliaan tubuh dan jiwa Maria menjadi suatu ungkapan melawan kultur masa kini: melalui tubuh pula Tuhan menjelma menjadi manusia dan memuliakan ibu-Nya.
Pesta Maria diangkat ke surga menjadi pesta mengenai janji masa depan kita semua. Pengangkatan Maria ke surga mengangkat hati dan masa depan kita menuju ke surga. Sebab di sanalah Bunda Maria menantikan kita untuk bersatu dengan Anaknya.
Hanya rahmat Tuhanlah yang menjadikan Maria diangkat ke surga. Jika Yesus Kristus yang adalah Tuhan, naik ke surga karena memang Dia mempunyai kuasa untuk itu; maka Maria terangkat ke surga karena peran dari Yesus Kristus Puteranya.
Merayakan peristiwa Maria diangkat ke surga dapat menjadi ungkapan kepercayaan bahwa suatu saat nanti umat manusia akan kembali bersama Tuhan di surga.
Mardiaatmaja, S.J
Bersama Dia. Agustinus Gianto, S.J. Kanisius.
Images of Mary-Mengalami 10 Rahasia Pribadi Maria. Alfred McBride, O. Praem. Obor.
[1] Paus Pius XII, Munificentissimus Deus, Vatican, 1950.
[2] Heuken, Adolf, “Ensiklopedi Gereja Katolik” s.v. ‘Maria diangkat ke surga’.
[3] Banyak bagian dalam tulisan ini bertumpu pada refleksi Kardinal John Henry Newman, “Discourses to Mixed Congregations’” sebagaimana dikutip dalam “The Mystical Rose” tulisan J. Regina, ed. 1960, hal 91-94.
[4] Bdk DS 1963, no. 748.
[5] Bdk. Minificentissimus, a.1-5.
[6] Bdk. Rahner, Karl, “The Interpretation of the Dogma of the Assumption”, dalam Theological Investigation I, Herder, 1960, 215-228.
[7] Bdk. Paus Pius XII, Mystici Corporis, 1943, D 2291.
[8] Bdk Ott, Ludwig, “Grundriß der Dogmatik, Herder, 1970, 251.
[9] Dari Doa Pengangkatan Maria ke Surga: oleh Paus Pius XII.
[10] Heuken, s.v. Maria.
[11] Bdk. St. Thomas, III, 53,4.
[12] Demikian catatan L.Ott dalam ‘Grundriß der Dogmatik’nya.
Bagi banyak orang masa kini, mungkin tersirat gagasan, seakan-akan ajaran mengenai ‘Santa Maria diangkat ke surga’ itu relatif masih baru. Memang rumusan resminya baru diungkap sebagai dogma Gereja oleh Paus Pius XII pada tahun 1950[1] setelah semua Uskup dimintai pendapat dengan surat tanggal 1 Mei 1946. Namun tradisi dan ajaran mengenai ‘Pengangkatan Maria ke surga” sudah berusia tua sekali. Sudah sejak abad 8 umat kristiani merayakan pesta Maria diangkat ke Surga.[2]
Tampaknya Maria meninggal dalam situasi privat sekali. Berbeda dengan Anaknya yang meninggal di tengah orang banyak. “Maria, bunga bakung firdaus, meninggal di tengah bunga-bunga yang tumbuh bersertanya”. Keberangkatannya tidak diseru-serukan di dunia. Gereja memang sibuk dengan pengutusan hariannya: mewartakan Kabar Anak Maria, menderita, dikejar-kejar. Pada suatu waktu di antara mereka rupanya beredar kabar bahwa Maria sudah tidak di antara mereka lagi. Mereka mencari-cari tempat Maria dikuburkan, peninggalannya dst. Tidak jelas apakah di Ephesus? Di Yerusalem? Kabar simpang siur; pun kalau orang modern memasang Maria di mana-mana untuk mendapat keuntungan keuangan. Sebenarnya tak seorang pun pernah menemukan makamnya. Ada pula kabar yang mengatakan bahwa pada waktu tertentu para Rasul berkumpul di sekitar Bunda Yesus, yang sudah lemah sekali. Namun ditradisikan bahwa Maria tidak disimpan dalam kubur; ia diangkat ke surga oleh Anaknya.”[3]
Orang pertama yang tercatat mempermasalahkan tubuh Maria adalah St. Epiphanius. Ia menjadi Uskup pada abad 4.
Alkitab tidak mengatakan bahwa Maria tetap tinggal di rumah Yohannes sesudah dialog di salib. Tampaknya, seperti dalam Injil, Maria memang mengambil posisi ‘diam’ dan ‘mengunyah segalanya dalam hati’. Mungkin juga Wahyu 12: 13 memperlihatkan Maria dilepaskan dari genggaman maut.
St. Johannes dari Damaskus sudah menyusun suatu kotbah bagus mengenai Maria diangkat ke surga. Sejak pertengahan abad 5 sudah ada kalangan kristiani luas yang merayakan pesta dengan sebutan “Peringatan Bunda Allah” pada tanggal 15 Agustus. Tempatnya di suatu tempat jiarah dekat Yerusalem. Pada akhir abad 6 pesta tersebut khususnya untuk mengenangkan akhir kehadiran Maria di dunia: hari Maria dipanggil kembali kepada Bapa. Pada abad 8 Paus Sergius membawa pesta itu ke Roma bersama dengan 3 pesta lain yang berkaitan dengan Maria. Dari Roma pesta itu menyebar ke seluruh Eropa. Pada akhir abad 8, Paus Adrianus memberinya nama Pesta Maria diangkat ke surga. Pada tahun 1169 Paus Alexander III menulis “Maria dikandung tanpa noda, melahirkan tanpa sakit dan berangkat lagi ke surga tanpa mengalami pembusukan kuburan: jadi memperlihatkan – sesuai dengan kata-kata malaikat – bahwa Maria penuh rahmat : tidak kurang!”.[4] Menjelang akhir abad 15 sudah hampir tidak ada orang yang menyangsikan perlunya pesta itu. Pada abad 17 Suarez berkata bahwa “tiada orang katolik saleh yang menyangsikan atau mengangkal misteri itu”. Kemudian Alphonsus Liguori menghubungkan pengangkatan ke surga dengan misteri Maria dikandung dengan tanpa noda. Setelah pengumuman dogma Maria dikandung tanpa noda dosa tahun 1854, banyak sekali usul dari seluruh dunia menghendaki diumumkannya dogma mengenai pengangkatan Maria ke surga.[5] Banyak sekali gereja yang dibaktikan kepada Maria diangkat ke surga. Begitu pula kota dan kabupaten yang berlindung di bawah Maria yang diangkat ke surga. Di Gereja Timur dan Gereja Barat waktu itu sudah ada doa ibadat harian mengenai Maria yang diangkat ke surga pula. Buku sakramen Perancis dan Bizantium memuat doa itu.
Baiklah kita memandangnya dari kacamata iman pada Yesus Kristus.[6] Kita semua percaya bahwa Yesus Kristus naik ke surga: tubuh dan badan yang baru dibangkitkan. Ajaran itu disebut iman akan Kenaikan Yesus Ke Surga. Ajaran tersebut secara eksplisit diwahyukan dalam Alkitab. Kita semua juga percaya, bahwa semua orang benar akan masuk surga, rohani dan jasmani. Dengan kata lain, tubuh dan jiwa kita akan sama-sama dimasukkan ke surga, mengikuti Tubuh Yesus Kristus yang dibangkitkan. Hal itu juga secara eksplisit diwahyukan dalam Alkitab. Oleh sebab itu kita semua percaya, bahwa para kudus sekarang ini ada di surga, sedangkan tubuh mereka ada di makam. Kebenaran-kebenaran tersebut di atas diterima oleh semua orang yang menyebut diri kristiani.
Kita, sebagai umat katolik percaya bahwa tubuh Santa Perawan Maria sekarang ini pun sudah ditempatkan di surga – mulia.[7] Kita menyebut ajaran ini “Santa Perawan Maria diangkat ke surga” pada akhir hidup duniawinya (dengan seluruh darah dan dagingnya); yang bagi kita baru akan terjadi pada akhir jaman. Maka kita percaya bahwa tubuh Yesus dan Maria sekarang ini sudah ada di surga. Bedanya: Yesus naik ke surga atas kekuatannya sendiri sedangkan Maria diangkat ke surga oleh Anaknya. Oleh sebab itu kita mempergunakan 2 istilah yang berlainan: Kenaikan Kristus dan Pengangkatan Maria ke surga.
Tidak ada data historis positif untuk membuktikan Pengangkatan Maria ke surga. Jean Guitton, seorang beriman Perancis, mengatakan bahwa tidak mungkin kita menerima sebagai data, seakan-akan para Rasul hadir pada saat Maria meninggal, memakamkannya dan menemukan kubur itu kosong pada hari ketiganya. Namun ada data-data negatif, yang dapat dicatat.
Tak pernah ditemukan makam Maria. Selain itu, sampai abad 5 tidak ada satupun legenda mengenai pemakaman Maria. Padahal kedudukan Maria di antara para Rasul merupakan kondisi subur untuk terciptanya legenda, seperti terjadi dalam banyak tokoh keagamaan lain. Tidak ada sama sekali peninggalan tubuh Maria. Tidak ada juga orang atau kota yang mengaku mempunyai peninggalan Maria. Padahal sejak jaman dulu senantiasa ada penghormatan pada peninggalan para kudus atau martir. P. Canica OFMCap mengaku, bahwa andaikata ada peninggalan Maria, pasti sudah akan jadi bahan penghormatan, bila melihat maraknya penghormatan kepada para suci dalam Gereja. Namun ditemukan Paus Adrianus I mengirim kepada Kaisar Karl Agung (784-791) suatu buku mengenai Sakramen-sakramen, yang antara lain memuat doa mengenai meninggalnya Maria.[8]
Selama 16 abad pertama, tidak ada ahli ajaran Gereja atau sekolah teologi yang menyangsikan pengangkatan Maria. Para ahli lebih banyak berdebat mengenai Maria dikandung tanpa noda dosa.
Ada beberapa nas dalam Alkitab yang mungkin memberikan data implisit mengenai Maria, khususnya: Kej 3: 15; Luk 1: 28; Why 12: 1-2.
Nas-nas tersebut berkaitan dengan sebab-sebab iman akan Pengangkatan Maria ke surga. Iman kristiani sejak awal yakin bahwa Kristus menghendaki ibuNya mengambil bagian dalam hidupNya. Maka dari itu Ia juga membawa Maria ikut serta menikmati kemuliaanNya dengan kebangkitan. Kecuali itu, iman para Rasul masih menyimpan iman anak cucu Abraham, bahwa pembusukan makam adalah suatu hukuman atas dosa (Kej 3: 19). Daging kita adalah “daging dosa” (Rom 8:3). Kebanyakan dosa-dosa kita terjadi melalui kehendak daging. Namun dalam Maria tidak ada setitik pun noda dosa. Dengan Maria dikandung tanpa noda dan karena ia penuh rahmat, maka ia dianugerahi kekebalan dari kebusukan dalam tubuhnya. Sebab prinsip pembusukan yang ada pada kita semua itu tidak ada dalam Maria. “Daging dan darah”, kata Alkitab, “tidak dapat memiliki Kerajaan Allah” (1 Kor 15: 15). Bahkan tubuh para kudus tidak dapat masuk Kerajaan Allah. Mereka harus diperbaharui oleh tangan Allah. Oleh sebab itu tubuh Maria – tanpa noda, murni dan tanpa dosa – tidak dapat dibusukkan.
Sejak awal mula Maria dikandung, ia mengatasi keadaan manusia biasa dan berada dalam kondisi seperti Adam dan Hawa sebelum jatuh ke dalam dosa. Andaikata mereka itu tidak berdosa, maka mereka tidak akan mendengar kata kutukan: “Kamu debu dan akan kembali menjadi debu” (Kej 3: 19). Dengan demikian, keadilan ilahi tentulah menjaga Maria sehingga tidak jatuh ke dalam akibat kutukan awal itu.
Tubuh Maria yang tak bernoda, dalam arti tertentu, adalah asal dari pengudusan semua manusia. Dagingnya digunakan untuk membentuk tubuh Anaknya; tubuh yang Dia gunakan untuk mati di salib guna menghancurkan maut dan dosa. Itulah juga yang diberikanNya kepada kita sehingga kita dapat bangkit dari mati. Kalau demikian, mungkinkan bahwa tubuh Maria, yang sejaringan dengan tubuh Kristus, sarana penyelamatan dan kebangkitan itu, akan mengalami kematian dan pembusukan dalam makam? Kandungan yang membawa Yesus, tangan yang membelaiNya, lengan yang memeluknya, Maria yang menyusuiNya, hati yang mencintaiNYa – tidaklah mungkin melusuh menjadi debu dalam malam.
Kemenangan total Kristus atas Setan mencakup kemenangan atas dosa dan kematian. Maria, Bunda Allah, berada dalam kesatuan yang amat intim dengan Yesus, juga dalam kemenanganNya terhadap Setan. Maria tidak hanya menyediakan daging yang dipersembahkan Kristus bagi penebusan kita. Maria juga mengambil peran menentukan dalam kerjasama untuk penebusan. Ia disatukan dengan Kristusn dalam pelbagai bagian kemenanganNya. Maka Maria juga dipadukan dengan Yesus Kristus dalam kemenanganNya atas kematian, dengan kebangkitan dan pengangkatannya mendahului akhir jaman. Itulah alasan yang disebutkan oleh Paus Pius IX dalam Bulla Ineffabilis Deus.
Dalam Maria mengandung dan melahirkan Anaknya sebagai perawan, Allah melakukan mukjijad unik tanpa tanding. Mukjijad itu adalah suatu tindakan ilahi yang menunjukkan hormat kepada tubuh Bunda Allah. Allah mempertahankan keutuhan tubuh BundaNya melawan segala hukum kodrat. Tidaklah mungkin Allah lalu tidak mengijinkan tubuh tanpa noda itu menderita noda yang tak terhingga lebih besarnya dalam wujud kebusukan makam.
Tentu saja, umat katolik yakin, bahwa semua keistimewaan dan kemuliaan Maria itu disebabkan oleh Anaknya. Martabat IlahiNya mengandaikan dan menuntut kesempurnaan dalam ibuNya. Tubuh Maria adalah Tubuh Kristus. Dan Kristus memilikinya serta menjaganya dari kebusukan karena juga telah tersedia untuk membentuk Tubuh Penebus. Tubuh Maria harus tanpa noda dan tanpa dosa, sebagaimana jiwanya. Penghinaan si Ibu (dengan busuk di makam) akan juga menjadi penghinaan terhadap Sang Anak.
Perihal Perkembangan dan Definisi ajaran iman tentang Maria diangkat ke surga dapatlah dikaitkan dengan peristiwa di pertengahan abad 19. Sesudah Paus Pius IX merumuskan dogma “Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa” tahun 1854, segera orang berpikit mengenai Pengangkatan Maria ke Surga. Keduanya merupakan kebenaran iman yang tidak secara eksplisit ada dalam Alkitab. Banyak orang mengirimkan petisi ke Tahta Suci. Antara tahun 1849 sampai 1940 ada lebih dari 2500 petisi yang ditulis oleh uskup dan pemimpin tarekat. Angka itu menjangkau sampai sekitar 70% hirarki. Pada tanggal 1 Mei 1946 Paus Pius XII mengirim ensiklik berjudul “Perawan Bunda Allah” yang meminta semua uskup seluruh dunia untuk melaporkan iman dan devosi mereka pribadi, umat, imam, biarawan/wati mengenai Pengangkatan Maria ke Surga. 1185 menjawab bahwa ajaran itu dapat didogmakan dengan aman. Hanya 16 orang yang menulis, apakah perumusan dogma itu tepat waktu saat itu (bukan mengenai kebenarannya). Oleh sebab itu pada tanggal 1 November 1950, sehari sesudah penutupan Kongres Maria Internasional yang kedelapan di Roma, Pius XII secara meriah merumuskan dogma Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga. Peristiwa besar itu berlangsung di Piazza St. Pietro di hadapan 40 Kardinal, 500 Uskup, ribuan imam dan hampir sejuta umat beriman.
Untuk mendalaminya, baiklah kita mengamati kata-kata yang dipergunakan oleh Seri Paus: “Maria sesudah menyelesaikan tugas hidupnya di dunia, diangkat ke surga dengan tubuh dan jiwanya masuk kekemuliaan surgawi”.
Sebagaimana Maria menerima Kristus di dunia, demikianlah Kristus menerima Maria di surga. Setelah sudi turun atas Maria, tepatlah juga kalau Allah mengangkat Maria kepada kemuliaan surgawi. Tempat Bunda Allah adalah di cahaya kemuliaan abadi dan tidak di kekelaman makam. Menurut Jean Guitton, “Perawan, yang memberikan dorongan kepada dunia dan yang sudah melepaskan dirinya dari dunia, serta menjadi lambang tujuan sejarah”.
Oleh sebab itu kita dapat berdoa seperti Paus Pius XII sebagai berikut:
"O, Perawan yang tanpa noda, Bunda Allah dan Bunda seluruh umat manusia,
kami percaya dengan seluruh gairah iman kami akan pengangkatanmu ke surga, dengan seluruh jiwa dan raga. Di surga engkau disambut sebagai ratu dari semua paduan suara para malaekat dan seluruh laskar para kudus. Kamu menyatukan suara kami untuk memuji dan memuliakan Tuhan, yang telah meninggikan engkau dari segala ciptaan dan untuk memberikan kebaktian dan cinta kami”.[9]
Mungkin dapat dipertanyakan: mengapa masih juga banyak orang sulit percaya akan Pengangkatan Maria ke Surga? Gereja Ortodoks sebenarnya setuju mengenai isi pengangkatan Maria ke surga, namun tidak sepakat kalau dimaklumkan oleh Seri Paus.[10] Sejumlah tokoh dalam Gereja-gereja Reformasi berkeberatan karena dasar alkitabiahnya tidak jelas, padahal bagi mereka, Alkitab adalah satu-satunya sumber bahwa kita beriman. Maka mereka meragukan dogma ini, walau menghormati Maria juga.
Bagi umat katolik, Alkitab perlu kita terima dalam kesatuan dengan seluruh tradisi iman gerejawi, sebagaimana diungkapkan dalam ayat terakhir Injil Yohannes. Kita perlu menangkap banyak hal dalam Alkitab secara utuh: baik arti biologis, makna katanya maupun keseluruhan latar belakang budaya dan spiritualnya. Maka pengangkatan Maria ke Surga perlu dipahami bukanlah sebagai pertama-tama peristiwa fisik atau biologis atau budaya atau politis. Di sini kita berbicara mengenai peristiwa rohani dan hal spiritual. Untuk dapat masuk ke dalam lapisan hidup rohani dan spiritual itu diperlukan iklim hidup tertentu. Sulitlah kita masuk ke lapisan itu apabila terlanjur menjadi materialistik, seperti yang tampaknya melanda masyarakat kita sejak tahun 1965an. Idealisme persatuan digeser oleh pragmatisme mencari uang dan kesejahteraan lahiriah. Namun di samping itu juga ada arus lain yang tidak kalah mengganggu hidup spiritual kita, yaitu arus yang terlalu cepat atau suka mengembalikan segala sesuatu pada hukum agama atau formalisme religius. Dalam arus ini orang digoda untuk menjadikan hukum agama atau ungkapan ritual agama sebagai patokan bagi hidup manusia, termasuk batinnya. Dengan demikian orang menyempitkan hidup spiritual pada segi-segi hukum.
Serupa itulah orang yang menolak misteri yang diungkapkan oleh Pengangkatan Maria ke Surga. Sebab dalam misteri ini orang diajak percaya akan hubungan mesra dan akrab antara yang fisik atau biologis dengan yang spiritual. Penebusan yang bersifat rohani-spiritual diakui terwujud dalam yang fisik dan biologis. Anak Allah yang secara fisik biologis sudi hadir dalam diri gadis desa Maria, itu melaksanakan penebusan umat manusia melalui kemanusiaanNya. Penderitaan dan kematianNya di salib yang amat jasmaniah adalah wujud kelihatan dari penyelamatan alam semesta. Maka pemenuhannya yang juga mencakup kedua hal itu dianugerahkan pula dalam ibuNya yaitu Bunda Maria. Maka ‘surga’ bukanlah tempat, melainkan suatu keadaan: di situ Anak dan Ibu menjadi satu dan bagi kita tersedia hal serupa. Bahkan Mat 27:52 menunjukkan bahwa bagi pelbagai kelompok manusia tersedia pemenuhan kebahagiaan lahir batin.
Cara pandang Gereja Katolik tidak perlu mencemaskan, seakan-akan terlalu memuja Maria. Sebab pesta yang dirayakan adalah ‘Pengangkatan Maria ke Surga’, jadi ada nada ‘pasif’. Sebab dalam iman ini pelaku utama adalah Sang Penebus. Dialah yang menebus dan Dia pula yang duduk di sisi kanan Allah Bapa. Maria hanya memperoleh karunia ini karena jasa Anaknya.[11] Mungkin kita dapat melihatnya dalam kaitan dengan Kitab Wahyu 11: 19 dan 12: 1dst.
Seperti ajaran mengenai ‘Maria dikandung tanpa noda dosa’, ajaran mengenai ‘Maria diangkat ke surga’ berkembang secara perlahan-lahan. Salah satu penghambat adalah suatu kotbah yang dikatakan berasal dari St. Hieronimus, yang menolak ajaran itu.[12] Namun kemudian terbukti bahwa tulisan itu tidak berasal dari St. Hieronimus. Kelak St. Thomas Aquino menyetujui ajaran iman mengenai Pengangkatan Maria ke Surga, dalam uraiannya mengenai “Salam Maria”.
Zaman sekarang orang tidak begitu menghargai lagi darah-daging manusia, ketika begitu banyak pembunuhan dan perkosaan hak azasi manusia. Kultur minuman keras dan obat perangsang serta bius maupun materialisme yang tanpa kendali menunjukkan hedonisme tanpa batas. Pada masa seperti ini, dogma mengenai pemuliaan tubuh dan jiwa Maria menjadi suatu ungkapan melawan kultur masa kini: melalui tubuh pula Tuhan menjelma menjadi manusia dan memuliakan ibu-Nya.
Pesta Maria diangkat ke surga menjadi pesta mengenai janji masa depan kita semua. Pengangkatan Maria ke surga mengangkat hati dan masa depan kita menuju ke surga. Sebab di sanalah Bunda Maria menantikan kita untuk bersatu dengan Anaknya.
Hanya rahmat Tuhanlah yang menjadikan Maria diangkat ke surga. Jika Yesus Kristus yang adalah Tuhan, naik ke surga karena memang Dia mempunyai kuasa untuk itu; maka Maria terangkat ke surga karena peran dari Yesus Kristus Puteranya.
Merayakan peristiwa Maria diangkat ke surga dapat menjadi ungkapan kepercayaan bahwa suatu saat nanti umat manusia akan kembali bersama Tuhan di surga.
Mardiaatmaja, S.J
Bersama Dia. Agustinus Gianto, S.J. Kanisius.
Images of Mary-Mengalami 10 Rahasia Pribadi Maria. Alfred McBride, O. Praem. Obor.
[1] Paus Pius XII, Munificentissimus Deus, Vatican, 1950.
[2] Heuken, Adolf, “Ensiklopedi Gereja Katolik” s.v. ‘Maria diangkat ke surga’.
[3] Banyak bagian dalam tulisan ini bertumpu pada refleksi Kardinal John Henry Newman, “Discourses to Mixed Congregations’” sebagaimana dikutip dalam “The Mystical Rose” tulisan J. Regina, ed. 1960, hal 91-94.
[4] Bdk DS 1963, no. 748.
[5] Bdk. Minificentissimus, a.1-5.
[6] Bdk. Rahner, Karl, “The Interpretation of the Dogma of the Assumption”, dalam Theological Investigation I, Herder, 1960, 215-228.
[7] Bdk. Paus Pius XII, Mystici Corporis, 1943, D 2291.
[8] Bdk Ott, Ludwig, “Grundriß der Dogmatik, Herder, 1970, 251.
[9] Dari Doa Pengangkatan Maria ke Surga: oleh Paus Pius XII.
[10] Heuken, s.v. Maria.
[11] Bdk. St. Thomas, III, 53,4.
[12] Demikian catatan L.Ott dalam ‘Grundriß der Dogmatik’nya.