Oleh: Albert Alamsah Suhardi
Masih ingat “cerita” tentang Santo Agustinus dan seorang anak kecil di tepi pantai? Cerita yang membandingkan pemahaman atas misteri Tritunggal dengan upaya memindahkan air laut ke dalam suatu lubang tersebut menggambarkan Tritunggal sebagai misteri yang terlalu kompleks untuk dicerna dengan akal budi, sekalipun bagi seorang cendikiawan besar gereja seperti Santo Agustinus.
Tritunggal adalah misteri tentang sang Pencipta sendiri, sumber dari segala sesuatu, maka ia pada hakekatnya merupakan sumber dari segala misteri iman. Kekal adanya. Tidak untuk dipecahkan, tapi untuk diimani. Ia berpijak pada pengakuan iman akan Allah yang esa, yang telah diwahyukan lewat perantaraan Musa dalam shema Israel: “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!” (Ul 6:4), dan dinyatakan pula oleh Yesus dalam hukum kasih-Nya (Mrk 12:29). Iman yang juga meyakini bahwa Allah hadir dalam 3 pribadi terpisah, dengan peran yang berbeda-beda: Allah Bapa sebagai Sumber, Allah Putra sebagai Penebus, dan Allah Roh Kudus sebagai Penasihat atau Pembimbing. Mengapa 3 pribadi, tidak ada yang tahu. Itulah misteri. Yang pasti, manusia tidak bisa mengatur atau membatasi bagaimana Allah hendak menyatakan diri-Nya.
Meski istilah Tritunggal tidak ditemukan dalam alkitab, ia bukan konsep yang spekulatif, tetapi merupakan kebenaran berdasarkan kitab suci yang dirumuskan menjadi doktrin iman oleh para bapak leluhur Gereja kita. Konsep Tritunggal terutama bersumber pada Perjanjian Baru. Khusus dalam injil Matius, pewartaan Tritunggal bahkan sudah dimulai dari bagian awal, saat Yesus dibaptis, dan mencapai puncaknya pada bagian akhir, saat Perutusan Agung.
Akhirnya, Allah adalah kasih. Dan kasih tidak bisa berdiri sendiri. Ia senantiasa mengalir, tak berkesudahan. Kata “Kita” dalam kisah penciptaan manusia oleh karenanya seakan dari semula telah mengandung pesan bahwa Allah adalah pertukaran kasih yang sempurna antara Bapa, Putra dan Roh Kudus di dalam surga. Dan manusia diciptakan, menurut gambar dan rupa Allah, untuk turut mengalami kemuliaan kasih tersebut di atas bumi. Karena dosa, manusia tersesat dan terputus dari Allah. Tetapi karena kasih, Putra pun diutus ke dunia untuk memulihkan. Dan setelah menyelesaikan tugas-Nya, Ia kembali kepada Bapa, mewariskan Roh Kudus yang senantiasa menuntun kita untuk tidak lagi mau menjadi budak dosa melainkan anak-anak Allah. Hingga pada akhirnya genaplah pula doa-Nya: “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita” (Yoh 17:21). Amin.
Masih ingat “cerita” tentang Santo Agustinus dan seorang anak kecil di tepi pantai? Cerita yang membandingkan pemahaman atas misteri Tritunggal dengan upaya memindahkan air laut ke dalam suatu lubang tersebut menggambarkan Tritunggal sebagai misteri yang terlalu kompleks untuk dicerna dengan akal budi, sekalipun bagi seorang cendikiawan besar gereja seperti Santo Agustinus.
Tritunggal adalah misteri tentang sang Pencipta sendiri, sumber dari segala sesuatu, maka ia pada hakekatnya merupakan sumber dari segala misteri iman. Kekal adanya. Tidak untuk dipecahkan, tapi untuk diimani. Ia berpijak pada pengakuan iman akan Allah yang esa, yang telah diwahyukan lewat perantaraan Musa dalam shema Israel: “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!” (Ul 6:4), dan dinyatakan pula oleh Yesus dalam hukum kasih-Nya (Mrk 12:29). Iman yang juga meyakini bahwa Allah hadir dalam 3 pribadi terpisah, dengan peran yang berbeda-beda: Allah Bapa sebagai Sumber, Allah Putra sebagai Penebus, dan Allah Roh Kudus sebagai Penasihat atau Pembimbing. Mengapa 3 pribadi, tidak ada yang tahu. Itulah misteri. Yang pasti, manusia tidak bisa mengatur atau membatasi bagaimana Allah hendak menyatakan diri-Nya.
Meski istilah Tritunggal tidak ditemukan dalam alkitab, ia bukan konsep yang spekulatif, tetapi merupakan kebenaran berdasarkan kitab suci yang dirumuskan menjadi doktrin iman oleh para bapak leluhur Gereja kita. Konsep Tritunggal terutama bersumber pada Perjanjian Baru. Khusus dalam injil Matius, pewartaan Tritunggal bahkan sudah dimulai dari bagian awal, saat Yesus dibaptis, dan mencapai puncaknya pada bagian akhir, saat Perutusan Agung.
Akhirnya, Allah adalah kasih. Dan kasih tidak bisa berdiri sendiri. Ia senantiasa mengalir, tak berkesudahan. Kata “Kita” dalam kisah penciptaan manusia oleh karenanya seakan dari semula telah mengandung pesan bahwa Allah adalah pertukaran kasih yang sempurna antara Bapa, Putra dan Roh Kudus di dalam surga. Dan manusia diciptakan, menurut gambar dan rupa Allah, untuk turut mengalami kemuliaan kasih tersebut di atas bumi. Karena dosa, manusia tersesat dan terputus dari Allah. Tetapi karena kasih, Putra pun diutus ke dunia untuk memulihkan. Dan setelah menyelesaikan tugas-Nya, Ia kembali kepada Bapa, mewariskan Roh Kudus yang senantiasa menuntun kita untuk tidak lagi mau menjadi budak dosa melainkan anak-anak Allah. Hingga pada akhirnya genaplah pula doa-Nya: “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita” (Yoh 17:21). Amin.