HOMILI: Hari Minggu Biasa XXVI

Pada suatu hari Bapak Julius Kardinal Damaatmaja SJ bertemu dengan Gus Dur (alm.) dalam rangka saling mempererat persaudaraan sejati antar umat beragama/beriman. Kita kenal bahwa Gus Dur suka banyolan dalam berbicara, dan ketika bercakap-cakap dengan Bapak Kardinal antara lain Gus Dur berkata :”Wah, bapak Kardinal nanti kalau dipanggil Tuhan dan naik ke sorga lebih enak daripada saya”. “Lho mengapa demikian Gus?”, pertanyaan bapak Kardinal. “Bapak Kardinal, selama di dunia ini bapak Kardinal khan tidak boleh menikah serta menikmati aneka macam kenikmatan relasi suami-isteri, sehingga di sorga nanti diperkenankan menikmati perempuan-perempuan cantik seenaknya. Sedangkan saya di dunia ini tidak boleh makan daging babi, sehingga di sorga nanti boleh makan daging babi sepuas-puasnya dan sebanyak-banyaknya. Apa yang sudah kita nikmati di dunia ini di sorga nanti tidak boleh dinikmati lagi, sedangkan apa yang belum kita nikmati di dunia ini di sorga nanti boleh menikmati sebanyak-banyaknya dan sepuas-puasnya”. Saya ingat ceritera tersebut setelah merenungkan Warta Gembira hari ini. Hemat saya banyolan di atas berisi pesan mendalam perihal hidup moral secara sederhana, yaitu ‘boleh dan tidak boleh, sudah dan belum’. Maka marilah kita renungkan sabda hari ini.

“Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engkau sangat menderita” (Luk 16:25)

Dalam Warta Gembira hari ini dikisahkan dialog antara orang kaya raya yang telah dipanggil Tuhan dengan bapa Abraham, bapa umat beriman. Orang kaya raya yang selama hidupnya berfoya-foya menikmati segala kekayaannya dan aneka kenikmatan di dunia ini setelah dipanggil Tuhan harus masuk ke neraka ke dalam api yang membara, sementara itu Lazarus, orang miskin dan menderita serba kekurangan di dunia, setelah meninggal dunia menikmati hidup bahagia selamanya di sorga bersama bapa Abraham dan Allah. Menanggapi keluh kesah penderitaan orang kaya yang ada di neraka, bapa Abraham menjawab: “ Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engkau sangat menderita”.

Apa yang telah dan sedang kita lakukan dan nikmati selama hidup di dunia ini sampai kini? Hemat saya anda sendiri masing-masing yang mampu menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat dan benar, karena ada kemungkinan tindakan atau kenikmatan yang ada dilakukan sendirian di tempat sepi dan tertutup. Pada umumnya di hadapan umum orang melakukan apa yang baik agar dipuji dan dikagumi oleh banyak orang, sementara itu ketika sendirian di tempat sepi atau tertutup berbuat seenaknya: menikmati apa saja sesuai dengan selera pribadi atau dorongan nafsu pribadi. Kami berharap dimana pun dan kapan pun, entah sendirian atau bersama-sama, senantiasa melakukan apa yang baik, bermoral dan berbudi pekerti luhur.

Sebagai orang beriman atau beragama hendaknya kita senantiasa setia melaksanakan perintah atau sabda Tuhan, dan hemat saya semua sabdaNya atau kehendakNya dapat dipadatkan ke dalam perintah untuk saling mengasihi, sebagaimana Tuhan telah mengasihi kita. Kita semua diciptakan dan dibesarkan dalam dan oleh cintakasih, dan tanpa cintakasih tak mungkin kita hidup sebagaimana adanya pada saat ini. Mengasihi atau mencintai memang perlu disertai dengan perjuangan dan pengorbanan diri, saling memberi dan menerima. Hemat saya pada masa kini yang cukup sulit adalah dikasihi, yang berarti senantiasa siap sedia untuk dinasihati, diperintah, dituntun, diejek atau dilecehkan dst.. Sebenarnya jika masing-masing kita berani mawas diri secara benar dan jujur pasti akan menyadari dan menghayati bahwa kita semua telah menerima kasih secara melimpah ruang, dan memang senantiasa siap sedia untuk dikasihi, yaitu ketika kita masih dalam usia balita.

Berjuang dan berkorban demi orang lain hemat saya perlu dididik dan dibiasakan pada anak-anak sedini mungkin di dalam keluarga, maka anak-anak hendaknya jangan dimanjakan, melainkan didiklah untuk berjuang dan berkorban sesuai dengan kemampuan, kesempatan dan usianya. Di dalam keluarga, misalnya, ketika anak-anak dapat menyapu hendaknya diberi tugas menyapu setiap hari atau mengurus dan mengelola tempat tidurnya sendiri beserta perabotan lainnya yang mereka pakai. Ketika selama di dunia ini kita senantiasa berjuang dan berkorban demi keselamatan jiwa kita sendiri maupun jiwa orang lain/saudara-saudari kita, maka kelak ketika meninggal dunia dan berada di sorga kita dapat hidup seenaknya sesuai dengan selera atau keinginan pribadi kita masing-masing.

“Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal. Untuk itulah engkau telah dipanggil dan telah engkau ikrarkan ikrar yang benar di depan banyak saksi. Di hadapan Allah yang memberikan hidup kepada segala sesuatu dan di hadapan Kristus Yesus yang telah mengikrarkan ikrar yang benar itu juga di muka Pontius Pilatus, kuserukan kepadamu: Turutilah perintah ini, dengan tidak bercacat dan tidak bercela, hingga pada saat Tuhan kita Yesus Kristus menyatakan diri-Nya, yaitu saat yang akan ditentukan oleh Penguasa yang satu-satunya dan yang penuh bahagia, Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan.” (1Tim 6:12-15)

Kutipan di atas ini mengajak dan mengingatkan kita semua, umat beriman, untuk “bertanding dalam pertandingan iman yang benar dan merebut hidup yang kekal”, dengan kata lain kita dipanggil untuk senantiasa memperdalam dan memperkembangkan iman kita, meneladan iman bapa Abraham. Salah satu cara untuk itu antara lain senantiasa ‘menuruti dan melaksanakan perintah dengan tidak bercacat dan tidak bercela’, dan tentu saja perintah yang baik, yang menyelamatkan jiwa manusia. Aneka perintah yang tersirat dalam aneka tatanan atau aturan hidup bersama hemat saya baik adanya, menuntun siapapun yang berkehendak baik menuju ke keselamatan jiwa manusia.

Pertama-tama dan terutama marilah kita taati dan laksanakan atau hayati perintah atau nasihat orangtua kita masing-masing maupun para guru/pendidik di sekolah-sekolah. Jika kita setia mentaati dan melaksanakan aneka perintah dan nasihat dari orangtua di rumah dan guru/pendidik di sekolah, maka hemat saya kita dengan mudah akan mentaati dan melaksanakan tatanan atau aturan lain, entah dalam hidup beragama maupun hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kita semua hendaknya jujur dan disiplin dalam mentaati dan melaksanakan aneka tatanan dan aturan, dan secara konkret berarti tidak melakukan tindak korupsi sekecil apapun atau dalam bentuk apapun.

“Janganlah membiarkan matamu tidur, dan kelopak matamu mengantuk;lepaskanlah dirimu seperti kijang dari pada tangkapan, seperti burung dari pada tangan pemikat.Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak:biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya” (Am 6:4-7). Kutipan ini kiranya baik untuk direnungkan atau direfleksikan bagi para pemalas, merupakan peringatan pagi para pemalas untuk bertobat. Mungkin para pemalas tidak sempat membaca tulisan ini, maka kepada anda sekalian kami ajak untuk menyampaikan pesan ini kepada para pemalas di lingkungan hidup atau kerja anda. Ingatlah dan sadari bahwa malas merupakan ‘tempat istiirahat setan/roh jahat’, yang kemudian tentu akan mendorong orang yang bersangkutan untuk melakukan kejahatan. Kami berharap anak-anak sedini mungkin di dalam keluarga dididik dan dibina dalam hal kerajinan: rajin belajar, rajin berkorban dan berjuang demi kesejahteraan hidup bersama.

“Dengarlah firman TUHAN, hai bangsa-bangsa, beritahukanlah itu di tanah-tanah pesisir yang jauh, katakanlah: Dia yang telah menyerakkan Israel akan mengumpulkannya kembali, dan menjaganya seperti gembala terhadap kawanan dombanya! Sebab TUHAN telah membebaskan Yakub, telah menebusnya dari tangan orang yang lebih kuat dari padanya. Mereka akan datang bersorak-sorak di atas bukit Sion, muka mereka akan berseri-seri karena kebajikan TUHAN, karena gandum, anggur dan minyak, karena anak-anak kambing domba dan lembu sapi” (Yer 31:10-12b)


Minggu, 28 September 2013

Romo. Ign Sumarya SJ