HOMILI: Hari Minggu Prapaskah IV (Yos 5:9a.10-12; Mzm 34:2-5; 2Kor 5:17-21; Luk 15:1-3.11-32)

 
“ Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali."

Ketika saya bertugas sebagai Direktur Perkumpulan Strada di Jakarta menyelenggarakan ‘pertemuan kepala sekolah’, ada seorang kepala sekolah, yang telah kurang lebih 25 tahun berkarya di lingkungan Perkumpulan Strada, menyampaikan keluhan atau ‘unek-unek’ sebagai berikut: “Romo, kami ini sudah melayani/bekerja selama kurang lebih 25 tahun di Perkumpulan Strada, namun sampai saat ini belum menerima sumbangan/restitusi kesehatan sedikitpun. Sementara itu salah satu guru kami yang bekerja belum genap 10 tahun telah menerima restitusi kesehatan jutaan rupiah”. Kepala sekolah yang bersangkutan memang dikenal sebagai pribadi yang kritis, dan boleh dikatakan cerdas juga. Saya teringat akan hal tersebut setelah merenungkan bacaan Injil hari ini, yang mengkisahkan perihal ‘anak hilang’. Hemat saya perumpamaan ‘anak hilang’ ini pertama-tama untuk menanggapi orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang bersungut-sungut menyaksikan Yesus menerima orang-orang berdosa. Dalam perumpamaan ditampilkan ‘tiga tokoh’, yang kiranya dapat menjadi bahan refleksi atau mawas diri bagi kita semua, yaitu : bapa yang baik dan penuh belas kasih, anak sulung dan anak bungsu/hilang. Maka marilah kita mawas diri: bagaimana keadaan kita saat ini, apakah seperti bapa yang baik dan penuh belas kasih, anak sulung atau anak bungsu?

“Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa” (Luk 15:18-19)

Anak bungsu dalam ‘keluarga dua anak cukup’, sebagaimana terjadi pada masa kini, pada umumnya akan lebih dimanjakan oleh orangtuanya daripada anak sulung. Dalam Warta Gembira hari ini dikisahkan bahwa anak bungsu minta hak waris dari bapanya dan dikabulkan dengan diberi separoh dari kekayaannya. Si anak bungsu pun akhirnya bersenang-senang, berfoya-foya dengan sepuas-puasnya, termasuk pergi ke pelacuran. Seberapa besar jumlah uang atau harta benda ketika digunakan untuk berfoya-foya akhirnya habis juga, dan itulah yang terjadi dalam diri anak bungsu, sehingga ia sungguh sangat menderita. Dalam puncak penderitaannya ia baru ingat akan bapanya, sebagaimana juga dialami oleh kebanyakan dari kita, yaitu ketika bersenang-senang lupa daratan, melupakan segala-galanya dan baru setelah menderita ingat akan kebenaran yang harus dipeluk dan dihayatinya.

Anak bungsu akhirnya menyadari dan menghayati kedosaan dan kerapuhannya serta kemudian tergerak untuk mohon kasih pengampunan dan kemurahan hati kepada bapanya. Hal ini kiranya juga dapat menjadi bahan permenungan atau refleksi kita. Dalam mawas diri selama masa Prapaskah ini kiranya kita juga menyadari segala kelemahan dan dosa-dosa kita, maka marilah dengan rendah hati kita mohon kasih pengampunan dan kemurahan hati Allah, antara lain dengan mengaku dosa, dan tentu saja juga perlu disertai dengan mohon kasih pengampunan kepada mereka yang telah kita sakiti atau kecewakan karena dosa-dosa dan kelalaian atau kesambalewaan kita. Salah satu kebenaran sejati adalah bahwa kita adalah orang-orang berdosa yang dikasihi oleh Allah dan dipanggilnya untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatan-Nya, maka marilah kita tak perlu takut menghadap Allah maupun saudara-saudari kita untuk mohon belas kasih, kemurahan dan kasih pengampunannya, karena Allah sungguh maha kasih dan maha pengampun, demikian pula kebanyakan dari saudara-saudari kita.

“Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia” (Luk 15:20).

Ayah atau bapa dalam kisah hari ini menggambarkan Allah yang sungguh berbelas kasih kepada umat-Nya yang tergerak menghadap-Nya guna mohon kasih pengampunan. Sebelum kita secara konkret mohon kasih pengampunan melalui imam dalam kamar pengakuan, Allah telah mengetahui apa yang kita rindukan atau dambakan. Ia sungguh akan ‘merangkul dan menciumi kita’. Maka Paulus berani memberi kesaksian iman sebagai berikut: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami.” (2Kor 5:17-19)

Sebagai orang yang beriman kepada Allah kita semua dipanggil juga untuk memiliki hati yang tergerak orang belas kasihan terhadap orang-orang berdosa, yang menyadari dosa-dosanya serta mendatangi kita untuk mohon belas kasih dan pengampunan. Kami percaya bahwa diri kita masing-masing telah menerima belas kasih, kemurahan hati dan kasih pengampunan secara melimpah ruah melalui orang-orang yang telah mengasihi dan memperhatikan kita, maka marilah apa yang kita miliki tersebut kita salurkan atau bagikan kepada saudara-saudari kita. Kerajaan Allah adalah kerajaan hati, maka beriman kepada Allah memang diharapkan sungguh memiliki hati yang bebelas kasih. Ketika ada orang salah minta maaf kepada kita marilah yang bersangkutan kita rangkul dan ciumi dengan belas kasih, demikian pula hendaknya memperlakukan anak-anak nakal dengan belas kasih, bukan dengan kekerasan. Percayalah bahwa belas kasih akan memotivasi dan mendorong orang untuk bertobat dan memperbaharui diri.

“Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku.Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia” (Luk 29-30).

Kutipan di atas ini kiranya terarah bagi siapapun yang bersikap mental Farisi atau orang-orang sombong, yang merasa dirinya paling baik dan melecehkan orang lain. Memang secara yuridis mereka begitu setia dan taat pada aneka tatanan atau aturan, tetapi mereka hanya lebih mengandalkan diri pada otak atau pikiran, bukan pada hati dan belas kasih. Pembinaan dan pendidikan di Indonesia ini, entah pendidikan informal dalam keluarga maupun formal di sekolah-sekolah pada umumnya juga lebih mengedepankan otak atau pikiran alias kecerdasan intelektual daripada hati atau kecerdasan spiritual, sehingga tidak mengherankan orang berlomba untuk mencapai nilai ulangan maupun ujian setinggi mungkin, meskipun untuk itu harus menyontek, dan dalam kenyataan banyak sekolah membiarkan para peserta didiknya menyontek dalam ulangan maupun ujian. Buah dari semua itu cukup jelas: sikap mental yuridis atau orientasi pada hukum untuk menjatuhkan orang lain dan mengutamakan kepentingan pribadi.

Hati mereka sungguh keras, sebagaimana digambarkan dalam warta gembira sebagai anak sulung, yang didekati ayahnya dengan penuh belas kasih, tak terusik atau tak tergerak sedikitpun hatinya untuk membuka diri atas sentuhan belas kasih tersebut. Anak sulung tak menanggapi undangan ayahnya untuk berpesta bersama dengan anak bungsu yang bertobat, dan hal ini hemat saya juga menggambarkan orang-orang yang tidak ada kepedulian sedikitpun dalam kebersamaan, menghindar dari ajakan untuk bertemu dengan saudara-saudarinya alias senantiasa menyendiri, mengasingkan diri. Hemat saya orang yang demikian ini tidak hanya secara fisik saja memisahkan diri dari sesamanya, melainkan juga secara spiritual. Kepada mereka yang tertutup hatinya, dengan rendah hati kami ajak untuk membuka diri. yang sombong untuk bertobat menjadi rendah hati.

“Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku.Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita.Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya!Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku” (Mzm 34:2-5)

Minggu, 10 Maret 2013

Romo Ignatius Sumarya, SJ