"Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang tidak layak untuk Kerajaan Allah.” (Neh 2:1-8; Mzm 137:1-3; Luk 9:57-62)


“ Ketika Yesus dan murid-murid-Nya melanjutkan perjalanan mereka, berkatalah seorang di tengah jalan kepada Yesus: "Aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi." Yesus berkata kepadanya: "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya." Lalu Ia berkata kepada seorang lain: "Ikutlah Aku!" Tetapi orang itu berkata: "Izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku." Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana." Dan seorang lain lagi berkata: "Aku akan mengikut Engkau, Tuhan, tetapi izinkanlah aku pamitan dahulu dengan keluargaku." Tetapi Yesus berkata: "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.” (Luk 9:57-62), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

“Maju kena mundur kena”, itulah kata sebuah peribahasa, yang berarti melangkah maju atau mundur sama-sama akibatnya. Bagi orang yang sehat secara phisik maupun spiritual pasti lebih memilih untuk melangkah maju daripada mundur. Dalam warta gembira hari ini dikisahkan dua sikap mental orang yang tak berani melangkah maju dengan alasan yang tak dapat dijelaskan dan keterikatan keluarga (melayat dan tradisionil). Tak ada orang yang tidak mengizinkan orang lain minta pamit untuk layat; izin untuk melayat pasti dikabulkan. Banyak orang juga hidup dan bertindak hanya mengikuti selera pribadi atau kebiasaan dalam keluaganya, yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Kita semua dipanggil untuk melangkah maju terus menerus, dan untuk itu memang harus memiliki sikap mental berubah terus menerus alias diperbaharui terus menerus. Ingatlah dan sadari bahwa yang abadi di dunia ini adalah perubahan, maka siapapun yang tidak berubah pasti akan segera hilang dalam peredaran alias ketinggalan zaman. Tentu saja perubahan yang baik adalah berubah semakin suci, semakin berbudi pekerti luhur, semakin dikasihi oleh Tuhan dan sesamanya. Anggota tubuh kita berubah, umur berubah, waktu berubah dst.., apakah cara melihat, cara berpikir, cara merasa, cara bersikap dan cara bertindak juga berubah? Kita semua dipanggil untuk memiliki cara melihat, berpikir, merasa, bersikap dan bertindak sebagaimana dikehendaki Tuhan, sehingga kita tumbuh-berekembang menjadi sahabat-sahabat Tuhan, orang yang sungguh beriman atau membaktikan diri seutuhnya kepada Tuhan melalui sesamanya dan ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya.

• "Hiduplah raja untuk selamanya! Bagaimana mukaku tidak akan muram, kalau kota, tempat pekuburan nenek moyangku, telah menjadi reruntuhan dan pintu-pintu gerbangnya habis dimakan api?" (Neh 2:3). Kota berarti tempat tinggal atau tempat bekerja, sedangkan pekuburan adalah tempat mereka yang telah meninggal dimakamkan, yang sering juga disebut taman, seperti Taman Makam Pahlawan. Di Indonesia pernah terjadi dan mungkin juga masih berlangsung ‘lomba kebersihan dan keindahkan kota’, maka para walikota dan bupati menggerakan rakyatnya untuk mengusahakan, menjaga dan merawat kotanya agar bersih dan indah. Para bupati dan walikota pun mencangkan motto dan dipasang di jalan-jalan, misalnya ‘kota ASRI, kota SANTRI, dst..”. Kami berharap semoga tidak hanya bersih dan indah secara phisik atau material saja, tetapi juga secara manusiawi dan spiritual, artinya semua warganya bersih, beriman dan baik, sehingga tidak ada kejahatan atau perilaku amoral sedikitpun. Demikian juga perihal kuburan atau makam, semoga terjaga kebersihan dan keindahannya sehingga tidak menjadi sarang penjahat dan menakutkan. Jadikan makam atau kuburan menjadi semacam ‘tempat wisata rohani’, dimana siapapun yang datang untuk mengunjungi makam dari mereka yang telah dipanggil Tuhan mengenangkan kebaikan dan nilai-nilai luhur yang telah ditinggalkannya. Mengenangkan berarti menghadirkan kembali, maka jika kita dapat mengenangkan sungguh berarti kita akan menghayati nilai-nilai luhur yang dulu dihayati oleh mereka yang telah dipanggil Tuhan. Nilai-nilai luhur hendaknya diabadikan melalui cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari. Kita juga dapat mengenangkan para tokoh agama atau masyarakat yang dapat menjadi panutan dalam cara hidup dan cara bertindak kita.

“Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion. Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita. Sebab di sanalah orang-orang yang menawan kita meminta kepada kita memperdengarkan nyanyian, dan orang-orang yang menyiksa kita meminta nyanyian sukacita: "Nyanyikanlah bagi kami nyanyian dari Sion!" (Mzm 137:1-3)



Rabu, 28 September 2011

Romo Ign Sumarya, SJ