“Yesus berangkat dan pergi ke suatu tempat yang sunyi” ( Kol 1:1-8; Mzm 52:10-11; Luk 4:38-44)

“Kemudian Ia meninggalkan rumah ibadat itu dan pergi ke rumah Simon. Adapun ibu mertua Simon demam keras dan mereka meminta kepada Yesus supaya menolong dia. Maka Ia berdiri di sisi perempuan itu, lalu menghardik demam itu, dan penyakit itu pun meninggalkan dia. Perempuan itu segera bangun dan melayani mereka. Ketika matahari terbenam, semua orang membawa kepada-Nya orang-orang sakitnya, yang menderita bermacam-macam penyakit. Ia pun meletakkan tangan-Nya atas mereka masing-masing dan menyembuhkan mereka. Dari banyak orang keluar juga setan-setan sambil berteriak: "Engkau adalah Anak Allah." Lalu Ia dengan keras melarang mereka dan tidak memperbolehkan mereka berbicara, karena mereka tahu bahwa Ia adalah Mesias. Ketika hari siang, Yesus berangkat dan pergi ke suatu tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mencari Dia, lalu menemukan-Nya dan berusaha menahan Dia supaya jangan meninggalkan mereka. Tetapi Ia berkata kepada mereka: "Juga di kota-kota lain Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus." Dan Ia memberitakan Injil dalam rumah-rumah ibadat di Yudea” (Luk 4:38-44), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

Ketika orang sukses dalam hidup dan kerja serta menerima pujian banyak orang atas kesuksesannya, maka dan kemungkinan orang lupa pada jati diri, entah pribadi maupun tugas panggilannya. Itulah kiranya yang dialami oleh Yesus, ketika Ia membuat banyak mukjizat dapat terjadi kesalahpahaman di antara para pendengar atau pengikut-Nya. Para pendengar atau pengikut-Nya belum sepenuhnya dapat memahami dan menerima Dia sebenarnya, maka ketika setan membuka jati diri-Nya yang sebenarnya Yesus merasa ‘tidak aman’. “Tidak aman” yang kami maksudkan adalah Yesus akan dibatasi ruang gerak dan pelayanan-Nya, yaitu sebagai orang sakti atau ‘dukun’, padahal Ia memiliki tugas pengutusan untuk ‘memberitakan Injil Kerajaan Allah’. Maka Ia berusaha menyendiri untuk berdoa guna mempertahakan dan memperteguh jati diri-Nya sebagai ‘pemberita Injil Kerajaan Allah’. Kami mengajak dan mengingatkan kita semua untuk mawas diri perihal jatidiri kita masing-masing. Pada hari-hari libur dalam rangka merayakan Idul Fitri ini kiranya kita juga meninggalkan tugas pekerjaan kita sehari-hari, entah tugas belajar atau bekerja, dan bertemu dengan sanak-saudara dan handai-taulan. Dalam kesempatan macam ini kiranya masing-masing dari kita menyadari diri sebagai cucu, anak, orangtua atau kakek-nenek. Maka baiklah hal ini kita hayati sebagai kesempatan untuk memperteguh dan memperkuat jati diri kita sebagai cucu, anak, orangtua atau kakek-nenek, serta menyadari dan menghayati tugas dan fungsi masing-masing dalam kehidupan bersama atau membangun dan memperdalam persaudaraan/persahabatan sejati, sehingga kebersamaan hidup dapat menjadi ‘warta gembira’ bagi siapapun. Marilah kita hayati bahwa kita bertemu dengan saudara dan handai-taulan sebagai kesempatan untuk saling menggembirakan dan menyelamatkan.

• “Kami selalu mengucap syukur kepada Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, setiap kali kami berdoa untuk kamu, karena kami telah mendengar tentang imanmu dalam Kristus Yesus dan tentang kasihmu terhadap semua orang kudus, oleh karena pengharapan, yang disediakan bagi kamu di sorga.” (Kol 1:3-5a). Marilah kita meneladan Paulus yang ‘selalu mengucap syukur kepada Allah’ serta berdoa bagi saudara-saudari dan handai-taulan kita. Kita bersyukur dan berterima kasih kepada Allah, karena kita telah dianugerahi hidup serta aneka macam sarana-prasarana yang kita butuhkan untuk hidup dan kerja kita. Dalam keadaan atau kondisi dan situasi apapun hendaknya senantiasa bersyukur dan berterima kasih kepada Allah, dan tentu saja syukur dan terima kasih ini kita wujudkan terhadap saudara-saudari kita, sehingga kita saling bersyukur dan berterima kasih satu sama lain. “Saat sukses kita bersyukur, saat gagal pun kita bersyukur. Sesungguhnya kekayaan dan kebahagiaan sejati ada di dalam rasa bersyukur” (Andrie Wongso). Syukur kita terhadap sesama dapat kita wujudkan dengan berbuat baik kepada mereka dalam situasi dan kondisi apapun dan dimanapun, entah dengan memperhatikan, membantu atau mendoakan. Kita juga dipanggil untuk saling mendoakan, maka baiklah di masa liburan Idul Fitri ini kalau tidak mungkin bertemu dengan saudara dan handai-taulan, entah karena tugas, kesibukan atau alasan lain, marilah kita mendoakannya. Orangtua atau kakek-nenek mendoakan anak-anak atau cucu-cucunya, sebaliknya anak-anak atau cucu-cucu mendoakan orangtua atau kakek-neneknya. Kebiasaan berdoa dan saling mendoakan di masa Puasa atau bulan suci hendaknya terus ditingkatkan dan diperdalam di dalam kesibukan sehari-hari. Ingatlah dan hayati bahwa berdoa merupakan salah satu cirikhas hidup beragama atau beriman.

“Aku ini seperti pohon zaitun yang menghijau di dalam rumah Allah; aku percaya akan kasih setia Allah untuk seterusnya dan selamanya. Aku hendak bersyukur kepada-Mu selama-lamanya, sebab Engkaulah yang bertindak; karena nama-Mu baik, aku hendak memasyhurkannya di depan orang-orang yang Kaukasihi!” (Mzm 52:10-11)

Rabu, 31 Agustus 2011

Romo Ign Sumarya, SJ