Panggilan Hidup (Kej 32:22-32; Mzm 17:1-3.6-8b.15; Mat 9:32-38)

“Sedang kedua orang buta itu keluar, dibawalah kepada Yesus seorang bisu yang kerasukan setan. Dan setelah setan itu diusir, dapatlah orang bisu itu berkata-kata. Maka heranlah orang banyak, katanya: "Yang demikian belum pernah dilihat orang di Israel." Tetapi orang Farisi berkata: "Dengan kuasa penghulu setan Ia mengusir setan." Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan. Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. Maka kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu."(Mat 9:32-38), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Jumlah panggilan hidup imamat maupun membiara cukup memprihatinkan dan kiranya yang juga lebih memprihatinkan adalah kemerosotan hidup terpanggil sebagai dampak kemerosotan moral hampir di semua bidang kehidupan bersama yang masih terjadi sampai kini. Umat dengan mudah mengeluh ketika tidak memperoleh pelayanan yang baik dari imam atau pastor dan kiranya dengan mudah juga mengritik kekurangan para gembalanya. Mereka sering berdoa semoga Tuhan memanggil anak-anak atau generasi muda tergerak untuk menjadi imam, bruder atau suster, tetapi ketika ditanya “apakah jika anak anda ingin menjadi imam, bruder atau suster diperbolehkan”, maka lalu berpikir panjang alias tidak dapat menjawab. Pembatasan kelahiran (dua anak cukup) rasanya menjadi salah satu sebab kemunduran hidup terpanggil, entah karena orangtua tidak merelakan anaknya atau yang memprihatinkan rasanya pembinaan untuk menjadi ‘man for others’ di dalam keluarga kurang memperoleh perhatian. “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikut. Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu”, demikian sabda Yesus. Keluarga atau orangtua rasanya merupakan bagian dari ‘tuan yang empunya tuaian’, dan dengan demikian rasanya diharapkan memberi ‘pekerja-pekerja untuk tuaian itu’. Salah satu cara untuk itu antara lain pembinaan anak-anak untuk menjadi ‘man for others’, yang ditandai oleh perjuangan, pengorbanan, solidaritas terhadap atau bagi mereka yang miskin dan berkekurangan. Anak-anak di dalam keluarga sedini mungkin dibina dan dididik dalam hal kepekaan terhadap sesamanya agar mereka tidak menjadi egois dan sombong. Anak-anak sedini mungkin berfungsi atau difungsikan dalam upaya mensejahterakan dan membahagiakan keluarga maupun lingkungan hidupnya, misalnya di dalam keluarga: membersihkan kamarnya sendiri, mematikan listrik atau kran air yang ‘hidup’ tidak pada tempatnya atau waktunya dst…

· "Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.”(Kej 32:28), demikian kata malaikat, yang tampil dalam seseorang bergumul dengan Yakub. “Bergumul dengan Allah dan manusia dan menang serta kemudian ganti nama”, itulah yang terjadi. Rasanya kutipan ini dapat menjadi permenungan atau refleksi kita demikian: sebagai orang beriman kita senantiasa bergumul dengan Allah dalam dan melalui doa serta bergumul dengan sesama manusia entah di dalam keluarga, masyarakat, tempat kerja maupun aneka kebersamaan hidup lainnya. Dengan pergumulan tersebut kita diharapkan tumbuh-berkembang alias berubah menjadi lebih baik, dewasa, cerdas dan beriman. Semakin tambah usia, sahabat, teman, pengalaman dan pergaulan hendaknya semakin dewasa, cerdas dan beriman, sehingga kemudian berlakulah pepatah ini :” Tua-tua keladi makin tua makin berisi”, semakin tua semakin dekat dan mesra dengan yang insani dan ilahi. Dengan demikian mereka yang lebih tua atau senior diharapkan dapat menjadi teladan hidup bagi anak-anak atau yunior. Keteladanan penghayatan akan nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan hidup merupakan cara pembinaan dan pendidikan yang utama dan tak tergantikan. Ingat motto bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro : “ing arso asung tulodho, ing madya ambangun karso, tut wuri handayani” (keteladanan, pemberdayaan dan dorongan). Marilah kita jadikan keluarga kita terampil dalam pergumulan dengan Allah dan sesama, memang untuk itu keluarga sebagai basis hidup bermasyarakat dan menggereja harus berpartisipasi aktif dan pro-aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan menggereja. Jauhkan keluarga menjadi getto atau pulau-pulau terpencil dan tak tersentuh oleh yang lain. Biarlah keluarga menjadi tempat berteduh yang hangat dan menggairahkan.



“Dengarkanlah, TUHAN, perkara yang benar, perhatikanlah seruanku; berilah telinga akan doaku, dari bibir yang tidak menipu. Dari pada-Mulah kiranya datang penghakiman: mata-Mu kiranya melihat apa yang benar.Bila Engkau menguji hatiku, memeriksanya pada waktu malam, dan menyelidiki aku, maka Engkau tidak akan menemui sesuatu kejahatan; mulutku tidak terlanjur.” (Mzm 17:1-3)


Selasa, 5 Juli 2011

Romo Ignatius Sumarya