“Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku ia akan memperolehnya”

Kel 1:8 – 14:22; Mzm 124:1-8; Mat 10:34 – 11:1.

"Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya. Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku. Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku. Barangsiapa menyambut seorang nabi sebagai nabi, ia akan menerima upah nabi, dan barangsiapa menyambut seorang benar sebagai orang benar, ia akan menerima upah orang benar. Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir saja pun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya. Setelah Yesus selesai berpesan kepada kedua belas murid-Nya, pergilah Ia dari sana untuk mengajar dan memberitakan Injil di dalam kota-kota mereka.”
(Mat 10:34-11:1), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan dalam rangka mengenangkan peringatan St. Benediktus, Abas, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

Cukup banyak orang hidup dan bertindak hanya mengikuti selera pribadi alias seenaknya sendiri dan kurang atau tidak mengikuti dan melaksanakan aneka tatanan dan atuiran yang terkait dengan hidup dan panggilan serta tugas-tugasnya. Sabda Yesus “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi kita semua. “Nyawa” berarti yang menghidupi dan menggerakkan, maka ‘nyawa’ juga senada dengan ‘semangat atau spiritualitas’. Maka kita semua diharapkan dan dipanggil untuk hidup dan bertindak sesuai dengan semangat atau spiritualitas hidup, panggilan maupun tugas pengutusan kita masing-masing. Marilah kita buka dan baca serta refleksikan apa yang menjadi sprittualitas atau visi kebersamaan hidup kita maupun diri pribadi masing-masing. Sebagai suami-isteri kiranya semangat atau spiritualitas untuk saling mengasihi baik dalam untung maupun malang, sehat maupun sakit sampai mati harus menjiwai cara hidup dan cara bertindak suami-isteri dimanapun dan kapanpun. Sebagai orang yang telah dibaptis hendaknya menghayati janji untuk senantiasa hanya mengabdi Tuhan Allah saja serta menolak semua godaan setan. Sebagai anggota Lembaga Hidup Bakti atau Tarekat hendaknya menghayati apa yang menjadi spiritualitas pendiri, dst.. Kita juga dipanggil untuk menghormati dan menghargai sesama sebagaimana adanya sesuai dengan panggilan dan jabatan atau fungsinya dalam hidup dan bekerja bersama, dan tentu saja masing-masing dari kita juga dipanggil untuk setia pada panggilan, jabatan atau fungsi kita di dalam hidup dan bekerja bersama.

“Makin ditindas, makin bertambah banyak dan berkembang mereka, sehingga orang merasa takut kepada orang Israel itu” (Kel 1:12), demikian berita perihal apa yang terjadi dengan suatu bangsa yang taat atau setia pada panggilan Tuhan. “Mati satu tumbuh seribu”, begitulah yang terjadi dalam kebersamaan hidup yang setia atau taat pada panggilan Tuhan. Penindasan atau penderitaan yang lahir dari kesetiaan dan ketaatan pada panggilan Tuhan merupakan jalan atau wahana pendewasaan dan perkembangan sejati. Maka kami mengharapkan kita semua untuk setia pada panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing. “Setia adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keterikatan dan kepedulian atas perjanjian yang telah dibuat” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 24). Perjanjian macam apa saja yang terkait dengan hidup, panggilan, tugas pengutusan, jabatan atau pekerjaan kita? Kami berharap janji-janji tersebut tidak tinggal dalam tulisan yang indah dan bagus, tetapi menjadi nyata dalam hidup dan cara bertindak setiap hari dimanapun dan kapanpun. Memang setia pada janji tersebut kita tidak akan terlepas dari aneka macam tantangan, hambatan, penindasan atau derita, namun jadikanlah semua itu menjadi wahana penggemblengan dan pendewasaan diri kita. “Jer basuki mowo beyo” = Untuk hidup mulia dan berbahagia orang harus berjuang dan berkorban, demikian kata sebuah pepatah. Pepatah ini rasanya dekat dengan iman kita kepada Salib: Salib adalah jalan keselamatan dan kebahagiaan bagi yang percaya, tetapi memang menjadi batu sandungan bagi mereka yang tidak percaya.


“Jikalau bukan Tuhan yang memihak kepada kita, -- biarlah Israel berkata demikian, -- jikalau bukan Tuhan yang memihak kepada kita, ketika manusia bangkit melawan kita, maka mereka telah menelan kita hidup-hidup, ketika amarah mereka menyala-nyala terhadap kita. Maka air telah menghanyutkan kita, dan sungai telah mengalir menimbus kita; telah mengalir melanda kita air yang meluap-luap itu. Terpujilah Tuhan yang tidak menyerahkan kita menjadi mangsa bagi gigi mereka! Jiwa kita terluput seperti burung terlepas dari jerat perangkap, jerat itu telah putus, dan kita pun terluput! Pertolongan kita dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi.” (Mzm 124:1-3.4-6.7-8)



Senin, 11 Juli 2011


Romo Ign Sumarya, SJ