Mengasah iman dan kepekaan hdup


Sir 15:15-20; Mzm 119:1-2.4-5.17-18.33-34; 1Kor 2:6-10; Mat 5:17-37 (Mat 5:20-22a.27-28.33-34a.37).


Mengasah iman kepercayaan sebagaimana kita selalu mengasah kepekaan hidup, kecerdasan intelektual, juga relasi dengan teman, atau siapa saja pun yang berkehendak baik, menjadi usaha dari hari ke hari. Yesus menawarkan cara hidup dan olah keagamaan kita dalam tantangan sikap: "Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga." Bagaimana hidup keagamaan yang lebih benar?

Kalau memulai dari praktek keagamaan kita, kita perlu meningkatkan kualitas iman dengan mengembangkan motivasi keagamaan dari rasa perasaan sekedar kewajiban legalistis menuju pemenuhan kebutuhan hidup harian, dan akhirnya menjadi kerinduan berjumpa dengan Tuhan dan kebersamaan dalam Gereja. Kalau menyadari bahwa iman perlu diwujudkan dalam keberpihakan yang nyata dalam hidup sosial kemasyarakatan, kita perlu memperdalam dengan landasan iman yang kokoh, misalnya mempelajari Ajaran Sosial Gereja.

Dalam lingkup keluarga, menanamkan kebiasaan yang baik dalam keluarga, terutama dalam menghidupkan kebiasaan doa bersama serta saling menyapa di antara anggota keluarga, saling memberi ucapan kasih ketika ada anggota keluarga yang berulang tahun tentu menjadi hal yang sangat berharga. Sangat baik dan perlu dicari waktu serta caranya untuk merayakan ulang tahun perkawinan bapak ibu sebagaimana peristiwa keluarga, misalnya dengan saling mendoakan dan berbagi pengalaman yang indah dalam keluarga. Sangat baik apabila keluarga menyadari tantangan yang perlu disikapi oleh anggota keluarga bersama-sama. Mulai membicarakan tanggung jawab sosial dan keadaan pereknomomian keluarga ketika anak-anak sudah mulai dewasa, bahkan juga ketika anggota keluarga yang sakit dan memerlukan perawatan khusus, adalah bahan pembicaraan yang akan mendewasakan mutu kehidupan keluarga.

Dalam Injil Yesus menegaskan hukum cinta yang lebih besar, yaitu tidak menjelekkan, memfitnah, dan mengatakan kafir kepada saudaranya. Hukum ini semakin ditekankan lagi dengan ucapannya, "tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu." (Mat 5:24).

Mencintai Tuhan, tidak mungkin tanpa mencintai saudaranya yang kelihatan di dunia ini. Maka kalau kta ingin berkurban, berdoa kepada Tuhan, dan masih sakit hati kepada saudara, perlu berdamai dulu. Tanpa kedamaian dengan sesama, hati kita tidak mungkin berdamai dengan Tuhan, Sang Sumber damai dan cinta.

Bagaimana aku menjalankan nasihat ini dalam hidupku? Apakah aku sungguh sudah berdamai dengan sesamaku, saudaraku, dan orang lain? Apakah aku masih punya sakit hati kepada mereka? Apabila masih, saatnya sekarang membangun perdamaian dengan mereka.