HOMILI: Sabtu-Minggu, 10-11 Juli 2010 Hari Minggu Biasa XV

Ul.30:10-14; Kol 1:15-20; Luk 10:25-37

oleh Romo I. Sumarya, SJ


"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Kemiskinan terburuk di dunia saat ini adalah kesepian dan merasa tidak dicintai”, demikian kata Ibu Teresa dari Calcuta, India. Ibu Teresa mengatakan hal itu sudah lama, lebih dari 15 tahun lalu, namun kiranya apa yang dikatakan tersebut masih tetap bermakna dan berlaku pada masa kini. Derap langkah perkembangan dan kemajuan aneka macam sarana dan alat tehnologi yang begitu cepat telah mempengaruhi sikap mental kebanyakan orang. Memang ada kebutuhan konkret yaitu hidup sejahtera secara ekonomi, apalagi bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga membuat orangtua, suami dan isteri, harus bekerja keras siang malam, sehingga tiada waktu dan tenaga yang memadai bagi anak-anak yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Anak-anak adalah buah cintakasih suam-isteri, orangtua, maka mereka hanya dapat tumbuh berkembang menjadi pribadi baik dan berbudi pekerti luhur dalam dan oleh cintakasih. Salah satu bentuk cintakasih yang utama adalah ‘pemborosan waktu dan tenaga bagi yang terkasih’, sebagai perwujudan mengasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap kekuatan dan segenap akal budi. Dalam kenyataan memang cukup banyak orang pelit akan tenaga dan waktu bagi yang terkasih karena berbagai alasan yang nampak rasional.

Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Luk 10: 27b)

Mengasihi Tuhan dan sesama manusia memang tak dapat dipisahkan dan mungkin hanya dapat dibedakan, bagaikan mata uang bermuka dua, sebagaimana dikatakan oleh Yakobus bahwa “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yak 2:17). Maka hemat kami dalam mengasihi sesama manusia harus dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap kekuatan, segenap akal budi, sebagaimana dilakukan oleh orang Samaria yang menolong orang Yahudi yang menjadi korban perampokan dan kekerasan, menderita sakit. Kasih sejati memang tidak kenal SARA, senang atau tidak senang, selera atau tidak selera, dan yang penting adalah selamat, damai sejahtera dan sehat wal’afiat. Orang Samaria dan orang Yahudi pada umumnya kurang dapat hidup bersaudara atau berdamai, sebagaimana terjadi di Indonesia dimana beberapa suku masih saling bermusuhan satu sama lain, antar desa atau kampung saling bermusuhan, dst.. Marilah kita meneladan orang Samaria, “orang yang telah menunjukkan belas kasihan” kepada yang menderita, sakit dan sengsara, tanpa pandang bulu, SARA, dst..


Mengasihi berarti memberi, tindakan dari yang mempunyai ke yang tak mempunyai, dari yang kaya ke yang miskin, dari yang pandai ke yang bodoh, dari atas ke bawah, dst.. Kasih dapat diwujudkan dengan hati, jiwa, akal budi atau kekuatan (tubuh, harta benda/uang), dan dalam kenyataan hemat saya hati, jiwa, akal budi dan kekuatan tak dapat dipisahkan, karena ketika terpisahkan berarti kasih tak sempurna. Sementara orangtua sering hanya memberi harta benda dan uang kepada anak-anaknya, sehingga anak-anak sungguh merasa kesepian dan merasa tak dikasihi oleh orangtuanya. Maka dengan ini kami mengingatkan dan mengharapkan para orangtua untuk sungguh mengasihi anak-anaknya dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap kekuatan, antara lain dengan memboroskan waktu dan tenaga bagi anak-anak, lebih-lebih ketika anak-anak masih dalam masa balita dan remaja. Kami percaya ketika anak-anak merasa dikasihi oleh orantuanya, maka kelak kemudian hari mereka akan senantiasa tergerak untuk mengasihi sesamanya tanpa pandang bulu serta berbelas-kasih kepada mereka yang miskin, menderita, sakit, kurang beruntung, dst..


Belas kasih rasanya juga perlu diperdalam di sekolah-sekolah bagi para peserta didik. Kepedulian kepada mereka yang miskin, kecil, menderita dan sakit perlu ditanamkan dan diperdalam dalam diri para peserta didik. Salah satu cara untuk itu antara lain ‘live in’ , dimana para peserta didik diajak untuk tinggal bersama-sama mereka yang miskin dan berkekurangan untuk beberapa waktu/hari: bekerja bersama mereka, makan bersama mereka, bermain bersama mereka, dst… Mereka yang miskin dan berkekurangan ada dimana-mana, ada di kota-kota besar maupun pedesaan. Pengalaman menunjukkan bahwa tinggal bersama dengan mereka yang miskin dan berkekurangan, tidak hanya memberi melainkan menerima sesuatu yang sangat berharga dan tak terlupakan, yaitu nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan kehidupan.

“Seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus” (Kol 1:19-20).

Salib Kristus adalah persembahan Diri total Yesus, Penyelamat Dunia, kepada Allah dan dunia, demi keselamatan dan kebahagiaan dunia seisinya. Salib ada di ketinggian, bagian paling tinggi dari bangunan atau lahan tanah, menggambarkan bahwa Yang Tersalib adalah Imam Agung, penyalur rahmat Allah bagi dunia/manusia dan doa, dambaan, kerinduan, harapan dunia/manusia bagi Allah, penghubung langit dan bumi, sorga dan dunia, Allah dan umat manusia. Salib adalah pendamaian, maka jika anda mendambakan hidup damai sejahtera silahkan hidup dan bertindak dijiwai oleh Yang Tersalib. Sebagai contoh sederhana: anda mau marah terhadap sesama, silahkan marah dan mulailah dengan membuat tanda salib lebih dahulu agar marah dalam Tuhan.

Salib juga dapat menjadi symbol atau inspirasi penghayatan tiga keutamaan utama: iman, harapan dan cinta kasih maupun trikaul -> keperawanan, ketaatan dan kemiskinan, yang semuanya ditandai dengan persembahan atau pembaktian diri total kepada yang lain, entah Tuhan maupun sesama manusia, pekerjaan, tugas dan panggilan. Entah berapa kali kita telah membuat tanda salib, ada berapa salib yang terpasang di rumah anda atau kantor anda, dst.., namun apakah salib tersebut telah menjiwai cara hidup dan cara bertindak anda rasanya boleh dipertanyakan. Maka dengan ini kami mengaharapkan ketika membuat tanda salib hendaknya sungguh dihayati dengan sepenuh hati.

Penulis kitab Ulangan mengingatkan kita bahwa “firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan.” (Ul 30:14). Dengan kata lain kita semua dipanggil untuk mendengarkan suara hati kita masing-masing serta melakukan apa yang diperintahkannya. Memang agar suara hati senantiasa dalam keadaan baik dan benar perlu dilatih terus menerus dengan berbuat baik dan benar kepada sesama dimanapun dan kapanpun. Suara hati perlu dididik dan dibina dengan perbuatan-perbuatan baik dan benar terus menerus, mentaati dan melaksanakan aneka tatanan dan aturan yang terkait dengan hidup dan panggilann Maka kami mengingatkan dan mengajak para orangtua untuk senantiasa membiasakan anak-anaknya berbuat baik dan benar dimanapun dan kapanpun dan tentu saja dengan teladan konkret dari para orangtua sendiri, agar suara hati mereka tetap baik dan jernih.

Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya. Takut akan TUHAN itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya, lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah

(Mzm 19:8-11)

Jakarta, 11 Juli 2010


Share|