Inilah tanggapan atas tulisan “Saya Ditegur Uskup” di http://versodio.com/2015/05/27/saya-ditegur-uskup/.
Pada hemat saya, beberapa pandangan dan asumsinya meleset. Tanggapan
ini bukan polemik, tapi ajakan untuk mendudukkan perkara dengan jujur.
Tulisan diapit tiga tanda tanya tebal (??? … ???) berasal dari blog tsb, selebihnya tanggapan saya.
1.
???
Itu pun simbolik: TPE diubah rumusannya, penghayatannya tetap
legalistik dan klerikal. Padahal, persis itulah yang dikritik Yesus
sekian ribu tahun yang lalu. [Ironis, bukan? Pengikut Yesus justru mempertahankan semangat legalistik dan klerikal yang dikritik oleh Yesus sendiri!] ???
***
“TPE diubah rumusannya”,
itu fakta bahwa TPE (Tata Perayaan Ekaristi, Indonesia) dibarui tahun
2005, tepatnya pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, 29 Mei.
Selanjutnya: “penghayatannya tetap legalistik dan klerikal.”
Penulis tidak menjelaskan apa arti “legalistik” dan “klerikal”. Maka,
kita andaikan ia mengartikan secara lazim. Sederhananya, legalistik itu
sifat taat hukum (lex) atau aturan; klerikal itu sifat terpusat pada kaum tertahbis (clerus):
uskup, imam, diakon. Tampaknya, penulis memakai kedua istilah itu dalam
arti negatif, dan memang lazimnya dimaknai negatif. Itu terbukti pada
kalimat berikutnya: “semangat legalistik dan klerikal yang dikritik oleh Yesus sendiri!”
Bagaimana
penulis menilai suatu “penghayatan”? Bagaimana ia sampai pada
kesimpulan bahwa orang yang taat hukum pasti legalistik, dan yang
terpusat pada kaum tertahbis pasti klerikal?
Penghayatan terjadi dalam batin, hampir dipastikan tak dapat diukur orang lain. Ketika penulis merumuskan “penghayatannya tetap legalistik dan klerikal”,
ini sudah setengah menuduh. Mudahnya bicara: “Tahu dari mana?” Bukankah
penghayatan itu batiniah? Perihal kedua mari kita urai. Orang taat
hukum tidak selalu legalistik. Orang yang terpusat pada kaum tertahbis
tidak selalu klerikal. Tuhan Yesus memang mengkritik semangat legalistik
dan klerikal, tapi tidak mengkritik “ketaatan pada hukum”. Pertanyaan
balik: “Apakah Tuhan Yesus itu legalistik dan klerikal dengan taat pada hukum?”
Pada kenyataannya, Tuhan Yesus itu orang yang taat pada hukum, bahkan
sangat taat. Tuhan Yesus baru mengkritik kalau ketaatan itu menjadi
tidak masuk akal dan berlawanan dengan nilai kemanusiaan, contoh:
larangan menyembuhkan orang sakit waktu Sabat. Jadi, Tuhan Yesus tidak
mengkritik semua ketaatan pada hukum. Tuhan Yesus sendiri orang yang
sangat taat pada hukum. Jangan lupa itu.
2.
??? … ini mau membangun suatu Gereja yang beriman atau bisnis musiman dengan pembenaran suci? ???
***
Dengan tersirat, penulis menganggap (setengah menuduh) penerbitan buku-buku TPE adalah “bisnis musiman dengan pembenaran suci”.
Apakah
mendapat laba adalah tujuan penerbitan itu? Ataukah penerbitan itu
mengabdi pada tujuan lain, yaitu penyediaan sarana ibadat?
Saya
yakin, penerbitan buku-buku TPE bukan cara untuk mendapat untung.
Justru Gereja yang beriman itulah yang dituju. Gereja beriman itu pasti
Gereja yang berdoa. Penerbitan buku-buku TPE sesungguhnya membantu
Gereja supaya bisa berdoa, dalam hal ini merayakan Misa. Lagipula, kalau
diukur secara jujur antara kualitas cetakan dengan harga jual, tampak
bahwa keuntungan bukan target yang dibidik. Anggapan penulis, pada hemat
saya, gagal. Buktinya, sewaktu penulis (yang menyamakan dirinya dengan
pelaku) mencetak sendiri buku TPE, tetap dibolehkan. Maka jelas bahwa
itu bukan persoalan cetak-mencetak demi untung.
Problem baru muncul ketika cara mendoakan DSA (Doa Syukur Agung) tidak sesuai dengan rubrik TPE baru.
3.
???
… apa ya orang berdosa karena ikut mengucapkan sebagian kalimat dalam
Doa Syukur Agung ya? Atau berdosakah orang yang menyanyikan salam damai?
???
***
Rasanya terlalu jauh
menghubungkan cara mendoakan DSA dengan dosa. Perihalnya bukan dosa,
melainkan Tradisi Suci Gereja Katolik. Tradisi Suci mengajarkan bahwa
DSA adalah doa presidensial, doa yang diucapkan pemimpin, yaitu imam.
Sudah sejak lama, Gereja Katolik melakukan cara itu. Sejak lama itu
sejak kapan? Buku-buku liturgi tahun 1000-an menunjukkan bukti, bahkan
jauh lebih tua lagi. Santo Yustinus Martir mencatat bagaimana orang
Katolik zamannya merayakan Misa. Kapan itu? Tahun 155. Tua sekali bukan.
Santo Yustinus mencatat: “Ia [pemimpin] mengambilnya [roti dan
campuran air-anggur], melambungkan pujian dan syukur kepada Bapa… dan
menyampaikan ucapan terima kasih…. Sesudah doa dan ucapan terima kasih
itu selesai, seluruh umat yang hadir lalu mengatakan: Amin.”
Nah,
jelas sekali bukan, sudah sangat lama Gereja Katolik mendoakan DSA
persis seperti cara yang sekarang berlaku: imam berdoa, lalu umat
menjawab amin. Keterangan Santo Yustinus tak terbantahkan. Ia mencatat
tahun 155. Itu artinya peristiwa yang dicatat jauh lebih tua lagi.
Itulah Tradisi Suci Gereja Katolik. Mengapa mau mengubah-ubah? Apakah
itu buruk? Tidak. Apakah jahat? Tidak? Kalau tidak buruk dan tidak
jahat, tetaplah demikian sebab itulah harta karun Gereja Katolik.
Lagipula, cara mendoakan DSA dengan umat “nimbrung”
bukan cara universal dan kuno. Itu cara karangan orang Indonesia
sebagai experimen, coba-coba sejak tahun 1979. Ketika disadari bahwa
coba-coba keliru, apa bukan kewajiban kita melakukan yang benar? TPE
2005 sudah menetapkan apa yang benar dan menjadi Tradisi Gereja sejak
zaman kuno. Pertanyaan balik: “Apa susahnya umat tidak ikut mendoakan DSA? Apa susahnya umat tidak menyanyikan Salam Damai?”
Tidak satu pun susah dilakukan. Oh ya, tentang dilarangnya nyanyian
Salam Damai, tentu ada maksud. Saat itu, Sang Kristus dalam wujud roti
dan anggur Ekaristi sudah bertakhta di altar mulia. Mengapa “pecicilan” dengan serong kanan-kiri dan lari sana-sini untuk salam-salaman? Tuhan bertakhta di sini, hai halo, hai halo, hai halo….
4.
??? Memang betul Paus adalah pimpinan Gereja Katolik tertinggi, tetapi jabatan itu sebetulnya bersifat koordinatif. ???
***
Benarkah jabatan Paus bersifat koordinatif?
Hukum Kanonik rupanya bicara lain. Saya bukan ahli hukum Gereja, tak
akan bicara panjang tentang ini. Silakan saja buka kanon-kanon tentang
Sri Paus dan Anda akan tahu kebenarannya.
5.
??? Akhirnya saya tarik kembali teks yang telah saya cetak sebagai counter terhadap perubahan TPE itu. ???
***
Apa alasan membuat “counter” atas perubahan TPE?
Kalau alasannya soal cetak-mencetak berbiaya, mengapa pula mencetak
sendiri? Kalau alasannya TPE baru salah, keliru, buruk, dan jahat,
manakah bagian yang demikian? Kalau alasannya, TPE baru itu tidak
sejalan dengan ajaran Gereja, manakah bagian yang begitu? Kalau penulis
(saya tegaskan: “kalau”) dengan ringan mengatakan “apa perlunya TPE
diubah?”, dengan sangat sederhana bisa dibalik “apa susahnya tidak
berubah?” Justru yang harus dipertanyakan lebih lanjut adalah maksud
dari “counter” itu. “Counter” terhadap hal yang baik,
bukankah itu buruk, setidaknya kurang baik? Manakah, silakan tunjukkan,
bagian dari TPE yang “buruk” atau “kurang baik”. Tidak ada? Kalau tidak
ada, mengapa di-“counter”?
6.
??? Bukankah ini jelas-jelas mau menempatkan Roma sebagai pusat Gereja dan apa-apa saja mau dicocokkan dengan Roma sana? ???
***
Tanggapan sederhana: Kalau bukan Roma, manakah pusat Gereja Katolik Roma? Jelas sekali ‘kan namanya (kapital tebal agar jelas): GEREJA KATOLIK ROMA.
Ritusnya Roma, pusatnya Roma. Apa-apa mau dicocokkan dengan Roma? Ya
jelas, karena ritus yang dipakai Ritus Roma. Sejauh ini tidak ada Ritus
Yogya, dan tidak ada Gereja Katolik Yogya. Gereja Katolik Timur
(ritus-ritus Bizantin, Alexandria, Antiokhia, Armenia, dan Khaldea)
tentu tidak perlu mencocokkan diri dengan Roma dalam hal ritus. Jelas
sekali, Gereja Katolik di Indonesia beritus Roma, maka ya perlu
dicocokkan dengan pusatnya. Sebagai catatan, Roma sebenarnya tidak
“ganas-ganas” amat supaya cocok persis. Tidak. Ada banyak catatan dan
kekecualian dan kelonggaran, tapi semuanya itu diatur, bukan semau udel sendiri. Mengapa diatur? Liturgi adalah doa Gereja, bukan doa si imam A atau B.
Masih ada hal-hal lain yang dibahas penulis. Isinya kurang lebih setengah tuduhan: “Orang-orang seperti ini bisa masuk dalam hirarki dan mempraktikkan klerikalisme: semua harus tunduk pada tatanan ini.”
Di situ penulis membuat asumsi bahwa “yang taat hukum” pastilah
klerikalis dan legalis. Apakah demikian? Rasa-rasanya penulis itu
antipati dengan yang namanya “hukum”, dan buru-buru menghubungkan
ketaatan pada hukum dengan “kehampaan”. Hukum, dalam hal ini hukum
ibadat, dibuat dengan maksud, juga bukan “barang baru”. Seperti sudah
saya tunjukkan, hukum ibadat dan tata cara doa dalam liturgi Gereja
Katolik telah melalui waktu yang berabad-abad, bukan karangan sesaat,
bukan comotan jahil, dan rajutan usil, melainkan kesinambungan Tradisi
Suci yang terus terpelihara sejak zaman Para Rasul. Meski kuno, semua
itu warisan leluhur iman. Ilustrasi: Tusuk konde dari emas yang tak
banyak karatnya mengapa bisa diagung-agungkan? Karena tusuk konde itu
warisan dari eyang leluhur sejak zaman Majapahit. Mau ditukar baru?
Tentu tidak.
Hal terakhir: Apa benar yang paling pokok dalam Ekaristi “cuma” DSA?
Ah, jangan mimpi di siang bolong, ah. Simaklah kesaksian Santo Yustinus
yang ditulis tahun 155. Rupanya, bukan “cuma” DSA. Bacalah sendiri pada
Katekismus Gereja Katolik no. 1345. Kalau baca secara jujur, Anda segera mengerti mengapa Misa kita begini dan begitu.
Akhirulkalam,
tindakan besar-besaran yang mendesak perlu dilakukan tentang Misa
adalah memberi umat pengajaran mengapa ini begini dan mengapa itu
begitu, bukannya membuat “keonaran” yang tidak perlu, sok bikin-bikin
Misa yang “asal beda”, tapi malah (agak menuduh) hampa makna. Yang
diperlukan itu katekese, bukan “kate ente”. Syalom aleikhem.
R.D. Y. Istimoer Bayu Ajie
Imam Gereja Katolik Ritus Roma
untuk Keuskupan Bandung