HOMILI: Hari Minggu Biasa XXXI (Keb. 11:22 - 12:2; Mzm. 145:1-2,8-9,10-11,13cd-14; 2Tes. 1:11 - 2:2; Luk. 19:1-10)



Rekan-rekan pemerhati kisah Zakheus!

Peristiwa yang dikisahkan dalam Luk 19:1-10 dan dibacakan pada hari Minggu Biasa XXI tahun C ini terjadi dalam perjalanan Yesus menuju ke Yerusalem. Satu hari ia singgah di Yerikho dan menumpang di rumah kepala pemungut cukai yang bernama Zakheus. Kejadian ini membuat orang banyak kurang senang. Mereka menggerutu (ayat 7), "Ia menumpang di rumah orang berdosa!" Namun Yesus berkata (ayat 9-10), "Hari ini telah terjadi keselamatan kepada seisi rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham. Sebab Anak Manusia (= dirinya) datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang." Apa maksudnya? Dan apa tujuan Lukas menceritakan peristiwa ini?

YANG KEHILANGAN ARAH

Ungkapan "yang hilang" (ayat 10) mengandung gagasan ialah "yang kehilangan arah dan mengalami bahaya maut". Yesus menerapkannya pada Zakheus. Memang di mata orang banyak ia "kehilangan arah" dan sudah tak tertolong lagi. Bayangkan, seorang Yahudi yang bekerja memungut cukai dari bangsa sendiri bagi penguasa asing. Pekerjaan ini dianggap kotor. Memang tak sedikit dari mereka yang menjadi kaya dengan memeras orang lain. Zakheus bukan hanya seorang pemungut cukai, ia kepala pemungut cukai. Lukas juga menyebutnya sebagai orang kaya. Pembaca Injil ini dapat membayangkan bagaimana anggapan orang banyak mengenai Zakheus ini. Ia pendosa besar. Ia sudah terhukum di mata banyak orang.

Namun Lukas juga menyiapkan pembacanya agar mengerti apa yang sedang terjadi pada Zakheus. Dalam Luk 15:1-7 dicatatnya perumpamaan domba yang sesat. Dari tiga ayat pertama jelas bahwa perumpamaan itu disampaikan Yesus untuk menanggapi gerutuan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat yang melihatnya bergaul dengan para pemungut cukai dan pendosa lainnya. Kelompok yang dijauhi oleh orang-orang yang merasa diri saleh ini diumpamakan sebagai seekor domba yang tersesat - tak menemukan jalan yang ditempuh ke-99 ekor lainnya. Namun pemilik kawanan domba tadi merasa kepunyaannya tidak lagi utuh - tidak lagi bulat seratus - bila satu saja hilang. Maka ia pergi mencarinya sampai ketemu. Dan ia lega ketika menemukannya kembali. Ia bahkan mengajak handai taulannya ikut bersukacita. Kata yang dipakai untuk menyebut domba yang hilang dalam Luk 15:4 itu - "to apoloolos" - sama dengan yang digunakan untuk mengibaratkan Zakheus dalam Luk 19:10.

AJAKAN BERNALAR

Perumpamaan mengenai domba yang sesat itu menggambarkan kesungguhan Tuhan untuk membuat kawanannya utuh kembali. Orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang merasa diri saleh dan tahu kehendak Tuhan diminta agar berusaha melihat apa yang sungguh dilakukan Tuhan kepada manusia dan tidak hanya puas dengan praktek kesalehan dan rumusan doktrin mereka sendiri. Kini dalam kisah Zakheus, bukan hanya mereka yang dihimbau, melainkan juga orang banyak, termasuk orang-orang yang mengagumi Yesus dan mengiringkannya dari tempat ke tempat. Mereka ini mudah berubah sikap bila melihat tokoh yang mereka kagumi itu tidak menepati bayangan mereka! Tetapi Yesus tetap mengajak mereka berpikir. Zakheus ini ialah domba yang kehilangan arah - tidakkah kalian iba? Tidakkah kalian ingin agar kawanan menjadi utuh kembali, tanpa meninggalkan seorangpun mencari-cari arah dan menghadapi bahaya? Apakah kalian tidak ingin ikut bergembira dengan pemilik kawanan tadi, dengan perempuan yang menemukan dirham yang terselip (Luk 15:8-10), dengan sang ayah yang mendapati anaknya yang hilang yang kini telah kembali (Luk 15:11-32)?

PUTAR HALUAN?

Zakheus bergembira karena rumahnya didatangi Yesus. Tentu ia juga sadar bahwa dengan tindakannya ini Yesus mempertaruhkan gambaran tentang dirinya sendiri di hadapan banyak orang. Tapi Zakheus juga percaya bahwa public figure yang satu ini tidak membiarkan diri ditentukan oleh pandangan umum. Dari manakah integritas yang seperti itu? Pasti Zakheus bertanya-tanya dalam hati demikian. Ia tahu ada kekuatan yang mendampingi Yesus. Dengan mendatanginya, Yesus berbagi kekuatan dengannya. Ia sendiri kini juga mendapatkan kekuatan tadi. Zakheus kini berani "putar haluan". Ia mau berbagi milik dengan orang miskin dan siap mengembalikan hasil pungutan liar empat kali lipat. Ini bukan hanya antusiasme sesaat belaka. Kesediaannya berbagi harta dan mengembalikan pungutan tak sah itu menjadi usahanya yang nyata untuk menelusuri kembali arah yang bakal membawanya pulang ke jalan yang benar.

Apakah peristiwa di Yerikho itu dimaksud sebagai imbauan bagi pembaca agar berputar haluan seperti Zakheus? Boleh jadi kita cenderung cepat-cepat menafsirkannya demikian. Tapi bila kita tempuh arah itu, warta petikan ini akan mudah terasa hambar karena tampil sebagai cerita contoh kelakuan baik belaka. Kita malah akan ikut-ikutan menggarisbawahi sikap orang banyak yang mengadili Zakheus dan akhirnya juga mengadili Yesus sendiri. Maklum, bagi orang-orang itu, satu-satunya jalan bagi Zakheus agar bisa menjadi lurus kembali ialah "bertobat". Dan satu-satunya cara bagi Yesus untuk naik kembali dalam skala moral mereka ialah hanya bergaul dengan orang yang sudah bertobat, bukan pendosa lagi. Namun Injil mengajak kita melihat ke arah lain. Yang diharapkan putar haluan dan bertobat justru orang banyak tadi. Dapatkah mereka melihat apa yang sedang terjadi kini? Utusan Tuhan yang sedang berjalan ke Yerusalem singgah menumpang di rumah orang yang tak masuk hitungan mereka. Maukah mereka berusaha menangkap isyarat ilahi ini? Bagaimana bila kita juga termasuk orang banyak itu?

Kata-kata Yesus pada akhir petikan ini (ayat 10) mendorong agar orang berani memikirkan pandangan mereka mengenai siapa dia itu dan apa yang dilakukannya. Ia itu Anak Manusia, salah satu dari kemanusiaan yang diutus untuk mencari sampai ketemu dia yang kehilangan arah dan meluputkannya dari bahaya maut. Ia diutus untuk melepaskan orang dari ikatan-ikatan yang menyesatkan, kedatangannya bukan untuk dielu-elukan belaka.

MENYELAMATKAN "SEISI RUMAH"

Dikatakan penyelamatan terjadi "pada seisi rumah ini" (ayat 9). Ungkapan ini luas cakupannya. Yang dimaksud ialah siapa saja dan apa saja yang ada di situ: Zakheus, harta miliknya, dan....orang banyak juga! Yang terjadi pada Zakheus sudah jelas. Kini giliran harta miliknya diselamatkan karena mendapat arti yang baru. Kekayaan yang tadi menyendirikannya kini dapat membuatnya mendapat banyak rekan. Harta mati itu kini menghidupkan!

Juga orang-orang yang tadi tidak puas melihat Yesus kini mau tak mau akan mulai memikirkan kembali kembali perangkat ukuran kesalehan mereka. Penyelamatan pun terjadi pada mereka. Entah diterima atau tidak adalah tanggung jawab orang-perorangan. Itulah yang terjadi pada hari itu. Orang kini mau tak mau harus keluar dari persembunyian di balik pendapat umum, tidak lagi bisa jadi "orang banyak".

Dalam teks aslinya, dipakai kata "sooteeria", yang lebih baik diungkapkan kembali sebagai "penyelamatan", dan bukan "keselamatan" karena yang ditekankan ialah kegiatan menyelamatkan bukan melulu hasilnya, yakni "keselamatan". Ini lebih dari sekadar latihan tatabahasa atau perkara terjemahan belaka. Bila dipakai kata "keselamatan", akan sulit dimengerti keselamatan terjadi pada orang banyak yang kurang suka menerima kelakuan Yesus tadi. Belum tentu mereka menerima keselamatan. Tetapi bila yang tampil itu gagasan "penyelamatan", maka akan lebih terang maksudnya. Yesus berusaha menyelamatkan orang banyak tadi dari anggapan-anggapan mereka sendiri mengenai kaum pendosa dan mengenai Tuhan. Mereka menerima atau tidak adalah soal lain.

ABRAHAM, BAPAK SEMUA ORANG BERIMAN

Zakheus diselamatkan karena ia pun anak Abraham. Tak sukar memahami maksud Yesus. Ia mengajak orang-orang yang merasa diri pewaris iman Abraham agar juga mau berlaku seperti Abraham sendiri, yakni mau membiarkan Tuhan leluasa menuntun orang di jalanNya dan tidak menghalang-halangiNya dengan gagasan-gagasan mereka sendiri mengenai apa yang harus dikerjakanNya atau apa yang tak sepantasnya diperbuatNya.

Dapatkah Warta Gembira hari ini dibawa ke zaman kita? Abraham, yang juga diucapkan sebagai Ibrahim itu, adalah bapak iman dalam tiga agama yang mengakui keesaan Tuhan. Dia yang Mahaesa itu memperkenalkan diri dengan macam-macam cara kepada keturunan orang yang dikasihiNya itu. Boleh jadi lebih tepat dikatakan, Ia membiarkan diri dikenal dengan pelbagai cara untuk memperkaya manusia-manusia yang menghayati iman Abraham/Ibrahim. KebesaranNya tak bakal selesai diwartakan dan tak bakal tuntas diajarkan.

Tiap anak Abraham atau Ibrahim berhak mendapatkan yang diinginkan Yang Mahakuasa sendiri. Bagaimana dengan kenyataan yang kita lihat? Ada keretakan, bahkan ada saling kebencian. Ironi. Namun tak perlu sisi suram kemanusiaan ini membuat orang mencari-cari wajah Tuhan yang mangkir. Dia masih ada dan masih sama, kerahimanNya masih ditawarkan bagi semua orang. Dan syukurlah masih ada orang yang percaya akan hal ini. Dan kekuatan iman mereka ini membuat wajah Tuhan makin terlihat. Pemeluk iman yang dipercontohkan Abraham-Ibrahim dapat membuat wajahNya makin tampak.

Salam hangat

A. Gianto

OBITUARI ROMO MARYO: The Last Supper

 
Senin, 28 Oktober 2013 , 23:05:00 WIB
Oleh: AM Putut Prabantoro


SETIAP orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. Dan, seperti pencuri yang datang pada malam hari, seseorang tidak pernah tahu kapan suatu masa akan berakhir dan dengan cara apa seseorang akan mengakhiri masanya.

Berita meninggalnya Romo Ignatius Sumarya SJ pada Minggu 27 Oktober 2013, saya baca pukul 08.30 dengan tidak yakin. Seperti Thomas yang tidak mempercayai bahwa Yesus Gurunya benar-benar bangkit dari wafat pada hari Minggu Paskah, seperti itulah kira-kira gambaran ketidakyakinan saya bahwa Rektor Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang itu meninggal dunia.

Pada Sabtu, 26 Oktober 2013 pukul 17.30, saya bertemu Romo Maryo, demikian panggilan akrabnya, dalam makan malam yang sudah direncanakan sehari sebelumnya. Sembilan orang hadir dalam meja perjamuan itu termasuk Romo Eka Heru Nurcahyana SJ dan empat siswa seminari Benediktus Juliar Elmiawan asal Bandung, Carolus Boromeus Aditya Deddy Perdana dari Ganjuran, Yogyakarta, Gregorius Dimas Arya Pradipta dari Pugeran Yogyakarta, Yohanes Bernevo Puchrima Wardana dari Klaten . Kami semua tidak tahu pernah menyangka bahwa itu adalah The Last Supper atau Perjamuan Terakhir bagi kita semua bersama Romo Sumarya SJ.

Di stall makanan Seafood 99, Salsa Gading Serpong, kami memesan dua ekor ikan gurame asam pedas, satu fuyung hai, dua piring pare ikan asin, dua hotplate kangkung blacan, dan satu mangkuk muntahu serta masing-masing mendapat satu porsi nasi. Ini bukan makanan mewah tetapi makanan lezat yang jarang ditemui di asrama seperti seminari menengah Mertoyudan, yang merupakan tempat kelahiran PTIK dan Akademi Polisi Indonesia pada tahun 1946. Itu kesan Romo Sumarya SJ. Sambil melayani keempat siswanya pastor berusia 60 tahun itu mengatakan, mereka harus makan sayur karena merupakan gizi tinggi bagi pertumbuhan. Anak-anak jaman sekarang enggan makan sayur dan lebih menyukai junkfood. Ia menasehati, bahwa sayur yang dihidangkan adalah gizi sempurna untuk bekal marathon esok hari. "Anggap saja ini, perbaikan gizi demi kesehatan," ujarnya

Mereka berenam datang ke Jakarta dari Mertoyudan, Magelang, demikian penuturannya, untuk memenuhi undangan lomba Mandiri Jakarta Marathon dari dan sekaligus sebagai tanda hormat kepada kelompok eks Siswa Canisius College, Menteng, Jakarta.

Romo akan mengikuti lomba marathon dengan jarak 5km, para siswa akan mengikuti marathon berjarak 10km.

Mengingat usianya yang sudah kepala enam, keraguan akan kekuatan berlari ditepis Romo dengan mengatakan, kita ini penggembira dan bukan hadiah sebagai tujuan. Selain itu juga, menurut analisa Romo, dengan 10.000 peserta tentu para peserta tidak mungkin dapat lari dengan cepat. Bahkan ia juga berpesan agar dikirim wartawan untuk meliput dirinya dan juga siswa seminari yang akan ikut marathon. "Ini kejadian langka serta bersejarah sekali dalam seumur hidup dan saya ingin masuk media. Jangan lupa temen-temen wartawan untuk meliput ya...." ujar mantan Rektor SMA
Kanisius itu.

TERKENANG
Masih di perjamuan makan, Romo Maryo terkenang dengan kehadiran Basuki Tahja Purnama (Ahok) ke seminari Mertoyudan pada Juli 2011. Pada waktu itu, Ahok, yang masih anggota DPR dan berhasrat mengikuti pencalonan Gubernur DKI, hadir sebagai pembicara dalam seminar pluralisme bersama dengan Zuhairi Misrawi (Ketua Masyarakat Islam Moderat), Teguh Santosa (Wakil Sekjen PP Pemuda Muhammadiyah), Trias Kuncahyono (Wapemred Kompas) dan Maryatmo (Rektor Universitas Atmajaya Yogyakarta) yang hadir sebagai moderator.
  
Menurut kacamatanya, dwitunggal Joko Widodo (Jokowi) dan Ahok dengan gaya kepemimpinannya akan mempengaruhi begitu banyak gubernur, walikota dan bupati dalam mengelola daerahnya. Semoga Indonesia segera mengalami perubahan dan kemajuan dalam mengelola negara yang semakin amburadul.

“Inilah adalah sejarah pertama kali Jakarta menjadi tempat marathon dan saya ikut di dalamnya. Jika, banyak pemimpin daerah menggunakan pendekatan budaya seperti ini, konflik horizontal pasti akan berkurang karena interaksi ini membuat orang kenal satu sama lain,” ujarnya. Diskusi ringan dan berat senantiasa diselingi dengan canda tawa serta tidak henti-hentinya mengungkapkan kesannya betapa “nikmatnya” makan pada malam itu. Memang tidak seperti biasa, Romo Maryo yang terkenal “kaku” dan sedikit bicara, pada malam itu seakan kelebihan dosis berceloteh apa saja. Tidak tahu, apakah kelebihan dosis bicara itu ada hubungannya dengan minuman es susu soda gembira yang dipesannya. Memang di meja makan, tidak ada pemecahan roti dan minum anggur, tetapi kehebatan perjamuan makan malam saat itu sungguh terasa karena semua makanan dilahap dengan tuntas tak bersisa. Bahkan Romo Maryo tidak segan-segan menghabiskan ikan hingga tulang kepala terakhir.

EMPATPULUH TAHUN
Romo yang berkulit hitam itu mengulangi undangannya agar saya hadir dalam pesta 40 tahun imamatnya di Jogya. Saya agak ragu apakah 40 tahun pesta imamat ataukah 30 tahun, karena jika usianya 60 tahun dan dikurangi 40 tahun berarti Sumarya muda menjadi imam baru berusia 20 tahun dan rasanya itu tidak mungkin. Yang paling tepat adalah pesta ultah imamat ke 30 tahun dan 40 tahun hidup membiara.

Hanya saja pesan yang diberikan melalui BB dan juga pengulangan undangan di meja makan, Romo Maryo masih menggunakan 40 tahun imamat, yang jatuh pada hari Kamis, 31 Oktober 2013. Tanpa perlu beradu argumentasi, pengulangan undangan itu merupakan perintah bagi saya untuk hadir. Namun saya menolak untuk membawa undangan resmi, ketika penyuka Gudang Garam Surya 16 itu menawarkan. “Kalau tidak membawa undangan dan ditolak oleh panitia, nanti saya nunggu di luar aja, Mo,” gurau saya. Bahkan untuk menegaskan kembali atas kehadiran saya dalam pesta syukur imamatnya, saya harus mengatakan goodbye dengan menggantikan dengan kata-kata, “Sampai ketemu hari Kamis ya Mo!" sambil melambaikan tangan ketika romo Maryo meninggalkan saya di teras Lobi Starbuck, mall SMS, Gading Serpong pada pukul 21.30. Usia 40 tahun dalam kehidupan imamat adalah sesuatu yang luar biasa karena menghilangkan jati dirinya, dan menukarnya dengan ketaatan mati kepada komunitas, kesetiaan kepada pimpinan dan sertah menjaga kesucian seumur hidup. Romo Sumarya SJ adalah “wong ndeso yang baik”, ujar Romo Hariyanto SJ, rekan seangkatannya dalam misa Requiem Minggu, 27 Oktober 2013, pukul 20.00 di Kapel Kanisius, Menteng, Jakarta. Baik itu artinya, Romo Sumarya tidak pernah dapat dibelokkan ketika memegang prinsip dan menjalankan aturan. Mungkin itu terbentuk karena ia tidak memiliki latar belakang pengelolaan paroki. Yang dilakukannya adalah mengelola institusi gereja Katolik dan cara pandangnya pun terhadap suatu masalah sangat sederhana, polos dan tidak berbelit-belit.

Kesederhanaan itulah yang mungkin sangat tepat dilekatkan pada kepribadian Romo Maryo, termasuk misalnya membina siswa-siswa didikannya. Saat menikmati cappuccino di Coffee Bean setelah beranjak dari Salsa Foodcourt, SMS Gading Serpong, kepada empat siswanya, Romo mengatakan, nikmati surga dunia yang ada di mall ini dan bandingkan dengan kehidupan kemudian yang akan dihadapi. SMS Gading Serpong yang disebut Romo surga dunia adalah mall keluarga karena begitu banyak pasangan muda dan anak-anak yang datang ke tempat itu. Dan dengan polosnya, Romo melanjutkan pernyataannya, “Tapi yang jelas kalian berempat harus jadi pastor. Harus jadi pastor…” Menurut Romo, tidak ada cerita seorang romo atau pastor mati karena tidak mendapat makan. Seorang romo tidak pernah akan mati kekurangan makan. Logika dan alasan yang sangat sederhana.

JAM EMPAT
Ketika di Coffee Bean, Romo berulangkali melihat jam dan menyatakan ingin segera pulang karena Minggu pagi, 27 Oktober mereka harus bangun pagi pukul 04.00, kemudian melakukan pemanasan dan pukul 04.30 akan segera ke Monas mengikuti marathon. Saya menyarankan nanti saja pukul 21.00 pulangnya. Saya menyarankan beliau untuk membeli roti Breadtalk, untuk sarapan pagi-pagi sebelum marathon. Kamipun beraduargumentasi mengapa harus mengisi perut dahulu sebelum lari dan makanan yang dimakanpun harus netral agar perut tidak berulah. Usulan saya diterima dan kami semua menuju outlet Breadtalk yang terletak di dalam mall SMS.

Pukul 21.30 setelah mendapatkan roti keinginan masing-masing Romo Maryo dan rombongan kembali ke Kanisius di Menteng Raya, Jakarta. Dan saya melepas para tamu dengan kebahagiaan tersendiri karena sudah memenuhi janji untuk makan bersama.

Namun, kebahagiaan yang saya alami hanya bertahan sembilan jam setelah berita duka meninggalnya Romo Maryo saya terima pada Minggu pagi. Alasan kematian Romo Maryo itulah yang menjadi tanda tanya saya, karena rentang waktu antara pukul 04.00 dan 06.30 tidaklah lama. Dikabarkan Romo Maryo terjatuh ketika berlari di depan Hotel Pullman Bundaran Hotel Indonesia. Itu artinya jarak tempuh belum separoh dari lima kilometer yang ditetapkan. Ia meninggal dalam ambulan yang membawanya ke rumah sakit.

Misteri kematian Romo Maryo menjadi jelas ketika Tri Novi Riastuti, seorang penerima renungan hariannya, mengatakan Rektor Mertoyudan itu masih mengirim naskah renungannya pada pukul 02.15. Itu artinya, jika harus tidur pukul 02.30 itu berarti romo Maryo hanya istirahat 1,5 jam dan artinya juga, secara fisik ia sangat lemah untuk mengikuti lari maraton. Kenyataan, Romo Maryo masih melakukan pembicaraan dengan Romo Ismartono SJ pada pukul 03.00. Boleh dikata, Romo Maryo memang tidak istirahat sepanjang malam dan tidak sadar bahwa kondisi itu sangat berbahaya untuk mengikuti lari marathon bagi orang yang berusia di atas 60 tahun.

Romo Sumarya SJ sudah menyelesaikan hidupnya dalam kesederhanaan dan kepolosannya. Beliau menutup masanya dengan senyuman, gelak tawa dan juga “cerewet”. Ia pergi dengan tiga angka misteri yang menyertainya - 40 tahun ulang tahun imamatnya, empat siswa seminari dan jam empat yang menyertainya. Dan terakhir, menurut Romo Heru Nurcahyana SJ, ada empat mobil yang membawa jenasah Romo Sumarya SJ dari Jakarta ke Girisonta, Semarang, tempat peristirahatan terakhirnya - yakni mobil polisi, ambulan, mobil pribadi dan bis.

Selamat jalan Romo, selamat berpesta imamat di surga.

Terimakasih untuk Last Supper-nya!



Penulis adalah alumni Seminari Menengah Mertoyudan dan Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Gerakan Satu Bangsa).

Romo Ignatius Sumarya, SJ meninggal saat ikut Jakarta Marathon, untuk cari dana amal

Ignatius Sumarya (60) meninggal saat mengikuti Jakarta Marathon. Sumarya yang merupakan Rektor Sekolah Tinggi Seminari Mertoyudan mengikuti Jakarta Marathon untuk kegiatan amal.

Hal itu disampaikan sahabat Ignatius, Romo Karolus Jande (55). Menurut Karolus, Ignatius Sumarya mengikuti kegiatan Jakarta Maraton dalam rangka penggalangan dana untuk seminari yang mereka pimpin.

"Karena siswa seminari banyak yang tidak mampu, jadi penggalangan dana untuk siswanya," ucap Romo Karolus saat ditemui di RS Saint Calous, Jalan Salemba Raya, Minggu (27/10/2013).

Karolus menyatakan, Ignatius Sumarya yang mendapat nomor 8.260 sebagai peserta itu, berasal dari Semarang. Soal penyebab kematian, Karolus belum mengetahui pasti termasuk dugaan sakit jantung yang sebelumnya disampaikan bagian medis Jakarta Marathon.

Ignatius Sumarya mengikuti Jakarta Marathon untuk kategori 10 Km. Pada kategori ini panitia menyiapkan hadiah uang sebesar USD 2.000. Dia terjatuh sekitar pukul 06.15 Wib lalu dilarikan ke rumah sakit. Ia dinyatakan meninggal pukul 07.15 WIB.

Pihak Jakarta Marathon siang ini menyambangi RS Saint Carolus di Salemba, Jakpus tempat Ignatius Sumarya (60) peserta yang meninggal disemayamkan. Panitia datang untuk memberikan santunan kepada Sumarya.

"Kita dari pihak sponsor yakni Bank Mandiri akan memberikan santunan untuk Romo (Sumarya)," kata perwakilan penyelenggara Jakarta Marathon Gunawan Wibisono di RS Saint Carolus, Salemba, Jakpus, Minggu (27/10/2013)

Menurutnya, untuk event internasional seperti Jakarta Marathon memang setiap peserta harus mengisi form asuransi. "Tapi Romo tidak mau mengisinya, jadi ini inisiatif kami saja," ujarnya tanpa menjelaskan alasan Sumarya enggan mengisi.

Soal besaran santunan yang akan diberikan belum ditentukan, namun pihak sponsor akan menyalurkan itu kepada seminari Mertoyudan yaitu sekolah tinggi yang dipimpin oleh Sumarya.

"Kesepakatan dengan keluarga akan diserahkan ke seminari Mertoyudan," ucapnya.

Gunawan juga menyatakan, sebelum mengikuti lari Jakarta Marathon Sumarya memang tak mengikuti tes kesehatan, karena tes itu hanya diberlakukan untuk pelari jarak 21K dan 42K. Sumaryo hanya ikut kategori 10K.

"Jadi kalau yang 5K dan 10K kan sifatnya fun run, jadi tidak ada tes kesehatan, kalau yang 21K dan 42K pasti ada tes kesehatannya," kata Bambang.

Ignatius Sumarya mengikuti Jakarta Marathon kategori 10 Km untuk kegiatan amal bagi kampusnya. Ignatius terjatuh dan meninggal saat sebelum sampai finish. Pada kategori ini panitia menyiapkan hadiah uang sebesar USD 2.000. Dia terjatuh sekitar pukul 06.15 Wib lalu dilarikan ke rumah sakit. Ia dinyatakan meninggal pukul 07.15 Wib.

Sumber: detik.com

RIP: Rektor Seminari Mertoyudan Romo Ign. Sumarya SJ Saat Ikut Jakarta Maraton

Rektor Seminari Mertoyudan Romo Ignatius Sumaryo SJ mendadak jatuh pingsan saat ikut lomba lari Jakarta Maraton bersama beberapa romo Jesuit lainnya. Alm. Romo Maryo meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Hingga kabar duka ini kami rilis, jenazah almarhum Romo Maryo masih disemayamkan di RS Sint Carolus Jakarta.

Menurut rencana, misa requiem untuk alm$arhum Romo Maryo SJ akan berlangsung Minggu (27/10) malam ini di Kapel Kolese Kanisius Menteng.

Berdasarkan arsip Sesawi.Net, alm. Romo Sumaryo SJ adalah imam Jesuit putra asli asal Paroki Wedi (kini Paroki Gondang), Klaten.

Menerima tahbisan imamat dari Kardinal Julius Darmaatmadja SJ selaku Uskup Agung Semarang tahun 1983, alm. Romo Maryo SJ mendapat penugasan berkarya sebagai Direktur Yayasan Strada Jakarta sekalian menjadi Pastur Unit Wisma Skolastik SJ di Jl. Bangunan Barat 10 Kampung Ambon Jaktim.

Kemudian, alm. Romo Maryo SJ berkarya di lingkungan KWI sebagai Ketua MNPK sekaligus menjadi Rektor Kolese Kanisius Jakarta.

Beberapa tahun terakhir ini, alm. Romo Maryo SJ berkarya sebagai formator di Seminari Menengah Mertoyudan dalam posisinya sebagai Rektor.

Salah satu warisan berharga almarhum adalah untaian renungan biblis harian yang beliau tulis setiap hari mengikuti penanggalan liturgis dan dia kirimkan ke berbagai jaringan milis katolik dan non katolik.

Requiescat in pace.

Sumber: Sesawi.net