OBITUARI ROMO MARYO: The Last Supper

 
Senin, 28 Oktober 2013 , 23:05:00 WIB
Oleh: AM Putut Prabantoro


SETIAP orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. Dan, seperti pencuri yang datang pada malam hari, seseorang tidak pernah tahu kapan suatu masa akan berakhir dan dengan cara apa seseorang akan mengakhiri masanya.

Berita meninggalnya Romo Ignatius Sumarya SJ pada Minggu 27 Oktober 2013, saya baca pukul 08.30 dengan tidak yakin. Seperti Thomas yang tidak mempercayai bahwa Yesus Gurunya benar-benar bangkit dari wafat pada hari Minggu Paskah, seperti itulah kira-kira gambaran ketidakyakinan saya bahwa Rektor Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang itu meninggal dunia.

Pada Sabtu, 26 Oktober 2013 pukul 17.30, saya bertemu Romo Maryo, demikian panggilan akrabnya, dalam makan malam yang sudah direncanakan sehari sebelumnya. Sembilan orang hadir dalam meja perjamuan itu termasuk Romo Eka Heru Nurcahyana SJ dan empat siswa seminari Benediktus Juliar Elmiawan asal Bandung, Carolus Boromeus Aditya Deddy Perdana dari Ganjuran, Yogyakarta, Gregorius Dimas Arya Pradipta dari Pugeran Yogyakarta, Yohanes Bernevo Puchrima Wardana dari Klaten . Kami semua tidak tahu pernah menyangka bahwa itu adalah The Last Supper atau Perjamuan Terakhir bagi kita semua bersama Romo Sumarya SJ.

Di stall makanan Seafood 99, Salsa Gading Serpong, kami memesan dua ekor ikan gurame asam pedas, satu fuyung hai, dua piring pare ikan asin, dua hotplate kangkung blacan, dan satu mangkuk muntahu serta masing-masing mendapat satu porsi nasi. Ini bukan makanan mewah tetapi makanan lezat yang jarang ditemui di asrama seperti seminari menengah Mertoyudan, yang merupakan tempat kelahiran PTIK dan Akademi Polisi Indonesia pada tahun 1946. Itu kesan Romo Sumarya SJ. Sambil melayani keempat siswanya pastor berusia 60 tahun itu mengatakan, mereka harus makan sayur karena merupakan gizi tinggi bagi pertumbuhan. Anak-anak jaman sekarang enggan makan sayur dan lebih menyukai junkfood. Ia menasehati, bahwa sayur yang dihidangkan adalah gizi sempurna untuk bekal marathon esok hari. "Anggap saja ini, perbaikan gizi demi kesehatan," ujarnya

Mereka berenam datang ke Jakarta dari Mertoyudan, Magelang, demikian penuturannya, untuk memenuhi undangan lomba Mandiri Jakarta Marathon dari dan sekaligus sebagai tanda hormat kepada kelompok eks Siswa Canisius College, Menteng, Jakarta.

Romo akan mengikuti lomba marathon dengan jarak 5km, para siswa akan mengikuti marathon berjarak 10km.

Mengingat usianya yang sudah kepala enam, keraguan akan kekuatan berlari ditepis Romo dengan mengatakan, kita ini penggembira dan bukan hadiah sebagai tujuan. Selain itu juga, menurut analisa Romo, dengan 10.000 peserta tentu para peserta tidak mungkin dapat lari dengan cepat. Bahkan ia juga berpesan agar dikirim wartawan untuk meliput dirinya dan juga siswa seminari yang akan ikut marathon. "Ini kejadian langka serta bersejarah sekali dalam seumur hidup dan saya ingin masuk media. Jangan lupa temen-temen wartawan untuk meliput ya...." ujar mantan Rektor SMA
Kanisius itu.

TERKENANG
Masih di perjamuan makan, Romo Maryo terkenang dengan kehadiran Basuki Tahja Purnama (Ahok) ke seminari Mertoyudan pada Juli 2011. Pada waktu itu, Ahok, yang masih anggota DPR dan berhasrat mengikuti pencalonan Gubernur DKI, hadir sebagai pembicara dalam seminar pluralisme bersama dengan Zuhairi Misrawi (Ketua Masyarakat Islam Moderat), Teguh Santosa (Wakil Sekjen PP Pemuda Muhammadiyah), Trias Kuncahyono (Wapemred Kompas) dan Maryatmo (Rektor Universitas Atmajaya Yogyakarta) yang hadir sebagai moderator.
  
Menurut kacamatanya, dwitunggal Joko Widodo (Jokowi) dan Ahok dengan gaya kepemimpinannya akan mempengaruhi begitu banyak gubernur, walikota dan bupati dalam mengelola daerahnya. Semoga Indonesia segera mengalami perubahan dan kemajuan dalam mengelola negara yang semakin amburadul.

“Inilah adalah sejarah pertama kali Jakarta menjadi tempat marathon dan saya ikut di dalamnya. Jika, banyak pemimpin daerah menggunakan pendekatan budaya seperti ini, konflik horizontal pasti akan berkurang karena interaksi ini membuat orang kenal satu sama lain,” ujarnya. Diskusi ringan dan berat senantiasa diselingi dengan canda tawa serta tidak henti-hentinya mengungkapkan kesannya betapa “nikmatnya” makan pada malam itu. Memang tidak seperti biasa, Romo Maryo yang terkenal “kaku” dan sedikit bicara, pada malam itu seakan kelebihan dosis berceloteh apa saja. Tidak tahu, apakah kelebihan dosis bicara itu ada hubungannya dengan minuman es susu soda gembira yang dipesannya. Memang di meja makan, tidak ada pemecahan roti dan minum anggur, tetapi kehebatan perjamuan makan malam saat itu sungguh terasa karena semua makanan dilahap dengan tuntas tak bersisa. Bahkan Romo Maryo tidak segan-segan menghabiskan ikan hingga tulang kepala terakhir.

EMPATPULUH TAHUN
Romo yang berkulit hitam itu mengulangi undangannya agar saya hadir dalam pesta 40 tahun imamatnya di Jogya. Saya agak ragu apakah 40 tahun pesta imamat ataukah 30 tahun, karena jika usianya 60 tahun dan dikurangi 40 tahun berarti Sumarya muda menjadi imam baru berusia 20 tahun dan rasanya itu tidak mungkin. Yang paling tepat adalah pesta ultah imamat ke 30 tahun dan 40 tahun hidup membiara.

Hanya saja pesan yang diberikan melalui BB dan juga pengulangan undangan di meja makan, Romo Maryo masih menggunakan 40 tahun imamat, yang jatuh pada hari Kamis, 31 Oktober 2013. Tanpa perlu beradu argumentasi, pengulangan undangan itu merupakan perintah bagi saya untuk hadir. Namun saya menolak untuk membawa undangan resmi, ketika penyuka Gudang Garam Surya 16 itu menawarkan. “Kalau tidak membawa undangan dan ditolak oleh panitia, nanti saya nunggu di luar aja, Mo,” gurau saya. Bahkan untuk menegaskan kembali atas kehadiran saya dalam pesta syukur imamatnya, saya harus mengatakan goodbye dengan menggantikan dengan kata-kata, “Sampai ketemu hari Kamis ya Mo!" sambil melambaikan tangan ketika romo Maryo meninggalkan saya di teras Lobi Starbuck, mall SMS, Gading Serpong pada pukul 21.30. Usia 40 tahun dalam kehidupan imamat adalah sesuatu yang luar biasa karena menghilangkan jati dirinya, dan menukarnya dengan ketaatan mati kepada komunitas, kesetiaan kepada pimpinan dan sertah menjaga kesucian seumur hidup. Romo Sumarya SJ adalah “wong ndeso yang baik”, ujar Romo Hariyanto SJ, rekan seangkatannya dalam misa Requiem Minggu, 27 Oktober 2013, pukul 20.00 di Kapel Kanisius, Menteng, Jakarta. Baik itu artinya, Romo Sumarya tidak pernah dapat dibelokkan ketika memegang prinsip dan menjalankan aturan. Mungkin itu terbentuk karena ia tidak memiliki latar belakang pengelolaan paroki. Yang dilakukannya adalah mengelola institusi gereja Katolik dan cara pandangnya pun terhadap suatu masalah sangat sederhana, polos dan tidak berbelit-belit.

Kesederhanaan itulah yang mungkin sangat tepat dilekatkan pada kepribadian Romo Maryo, termasuk misalnya membina siswa-siswa didikannya. Saat menikmati cappuccino di Coffee Bean setelah beranjak dari Salsa Foodcourt, SMS Gading Serpong, kepada empat siswanya, Romo mengatakan, nikmati surga dunia yang ada di mall ini dan bandingkan dengan kehidupan kemudian yang akan dihadapi. SMS Gading Serpong yang disebut Romo surga dunia adalah mall keluarga karena begitu banyak pasangan muda dan anak-anak yang datang ke tempat itu. Dan dengan polosnya, Romo melanjutkan pernyataannya, “Tapi yang jelas kalian berempat harus jadi pastor. Harus jadi pastor…” Menurut Romo, tidak ada cerita seorang romo atau pastor mati karena tidak mendapat makan. Seorang romo tidak pernah akan mati kekurangan makan. Logika dan alasan yang sangat sederhana.

JAM EMPAT
Ketika di Coffee Bean, Romo berulangkali melihat jam dan menyatakan ingin segera pulang karena Minggu pagi, 27 Oktober mereka harus bangun pagi pukul 04.00, kemudian melakukan pemanasan dan pukul 04.30 akan segera ke Monas mengikuti marathon. Saya menyarankan nanti saja pukul 21.00 pulangnya. Saya menyarankan beliau untuk membeli roti Breadtalk, untuk sarapan pagi-pagi sebelum marathon. Kamipun beraduargumentasi mengapa harus mengisi perut dahulu sebelum lari dan makanan yang dimakanpun harus netral agar perut tidak berulah. Usulan saya diterima dan kami semua menuju outlet Breadtalk yang terletak di dalam mall SMS.

Pukul 21.30 setelah mendapatkan roti keinginan masing-masing Romo Maryo dan rombongan kembali ke Kanisius di Menteng Raya, Jakarta. Dan saya melepas para tamu dengan kebahagiaan tersendiri karena sudah memenuhi janji untuk makan bersama.

Namun, kebahagiaan yang saya alami hanya bertahan sembilan jam setelah berita duka meninggalnya Romo Maryo saya terima pada Minggu pagi. Alasan kematian Romo Maryo itulah yang menjadi tanda tanya saya, karena rentang waktu antara pukul 04.00 dan 06.30 tidaklah lama. Dikabarkan Romo Maryo terjatuh ketika berlari di depan Hotel Pullman Bundaran Hotel Indonesia. Itu artinya jarak tempuh belum separoh dari lima kilometer yang ditetapkan. Ia meninggal dalam ambulan yang membawanya ke rumah sakit.

Misteri kematian Romo Maryo menjadi jelas ketika Tri Novi Riastuti, seorang penerima renungan hariannya, mengatakan Rektor Mertoyudan itu masih mengirim naskah renungannya pada pukul 02.15. Itu artinya, jika harus tidur pukul 02.30 itu berarti romo Maryo hanya istirahat 1,5 jam dan artinya juga, secara fisik ia sangat lemah untuk mengikuti lari maraton. Kenyataan, Romo Maryo masih melakukan pembicaraan dengan Romo Ismartono SJ pada pukul 03.00. Boleh dikata, Romo Maryo memang tidak istirahat sepanjang malam dan tidak sadar bahwa kondisi itu sangat berbahaya untuk mengikuti lari marathon bagi orang yang berusia di atas 60 tahun.

Romo Sumarya SJ sudah menyelesaikan hidupnya dalam kesederhanaan dan kepolosannya. Beliau menutup masanya dengan senyuman, gelak tawa dan juga “cerewet”. Ia pergi dengan tiga angka misteri yang menyertainya - 40 tahun ulang tahun imamatnya, empat siswa seminari dan jam empat yang menyertainya. Dan terakhir, menurut Romo Heru Nurcahyana SJ, ada empat mobil yang membawa jenasah Romo Sumarya SJ dari Jakarta ke Girisonta, Semarang, tempat peristirahatan terakhirnya - yakni mobil polisi, ambulan, mobil pribadi dan bis.

Selamat jalan Romo, selamat berpesta imamat di surga.

Terimakasih untuk Last Supper-nya!



Penulis adalah alumni Seminari Menengah Mertoyudan dan Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Gerakan Satu Bangsa).