“Tetapi ada di antara mereka yang berkata: "Ia mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, penghulu setan." Ada pula yang meminta suatu tanda dari sorga kepada-Nya, untuk mencobai Dia. Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka lalu berkata: "Setiap kerajaan yang terpecah-pecah pasti binasa, dan setiap rumah tangga yang terpecah-pecah, pasti runtuh. Jikalau Iblis itu juga terbagi-bagi dan melawan dirinya sendiri, bagaimanakah kerajaannya dapat bertahan? Sebab kamu berkata, bahwa Aku mengusir setan dengan kuasa Beelzebul.Jadi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, dengan kuasa apakah pengikut-pengikutmu mengusirnya? Sebab itu merekalah yang akan menjadi hakimmu. Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu. Apabila seorang yang kuat dan yang lengkap bersenjata menjaga rumahnya sendiri, maka amanlah segala miliknya. Tetapi jika seorang yang lebih kuat dari padanya menyerang dan mengalahkannya, maka orang itu akan merampas perlengkapan senjata, yang diandalkannya, dan akan membagi-bagikan rampasannya. Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan." "Apabila roh jahat keluar dari manusia, ia pun mengembara ke tempat-tempat yang tandus mencari perhentian, dan karena ia tidak mendapatnya, ia berkata: Aku akan kembali ke rumah yang telah kutinggalkan itu. Maka pergilah ia dan mendapati rumah itu bersih tersapu dan rapi teratur. Lalu ia keluar dan mengajak tujuh roh lain yang lebih jahat dari padanya, dan mereka masuk dan berdiam di situ. Maka akhirnya keadaan orang itu lebih buruk dari pada keadaannya semula.” (Luk 11:15-26), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Rumahtangga atau keluarga kuat, damai sejahtera dan bahagia, maka hidup bersama di masyarakat pun akan demikian adanya. Dengan kata lain hidup rumah tangga atau berkeluarga memang sungguh merupakan dasar atau modal utama hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maka berrefleksi atas Warta Gembira hari ini pertama-tama dan terutama kami mengajak dan mengingatkan anda semua yang hidup berrumahtangga atau berkeluarga untuk senantiasa mengusahakan kesatuan yang didasarkan pada cintakasih dalam situasi dan kondisi macam apapun. Ingatlah dan hayati bahwa cintakasih lah yang mendasari dan mengikat anda berdua sebagai suami-isteri, demikian juga kehadiran anak-anak di dalam keluarga juga karena cintakasih. Hadapi segala macam godaan untuk bercerai atau kemunduran hidup saling mengasihi dengan segala kerendahan hati seraya mengandalkan diri pada Allah yang telah mempertemukan anda berdua. Kami berharap entah suami atau isteri tidak berselingkuh, memang semakin anda berdua semakin dekat satu sama lain pasti akan semakin mengenal kelemahan dan kekurangan pasangannya. Tetapi ingat bahwa jika tidak mampu mengasihi mereka yang setiap hari hidup bersama, maka anda pun tak akan dapat mengasihi orang lain; semakin anda terampil saling mengasihi dengan orang-orang yang setiap hari hidup dan berkerja bersama, maka anda semakin terampil juga mengasihi orang lain, orang-orang yang baru saja dikenal dan bertemu. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, demikian kata sebuah pepatah yang hendaknya kita renungkan.
· “Jadi kamu lihat, bahwa mereka yang hidup dari iman, mereka itulah anak-anak Abraham. Dan Kitab Suci, yang sebelumnya mengetahui, bahwa Allah membenarkan orang-orang bukan Yahudi oleh karena iman, telah terlebih dahulu memberitakan Injil kepada Abraham: "Olehmu segala bangsa akan diberkati."Jadi mereka yang hidup dari iman, merekalah yang diberkati bersama-sama dengan Abraham yang beriman itu” (Gal 3:7-9). Sebagai orang beriman, entah agama atau kepercayaannya apapun sering disebut sebagai ‘anak-anak Abraham’, karena Abraham adalah bapa umat beriman. Memang orang mengaku beragama belum tentu beriman, sebaliknya orang yang sungguh beriman tidak otomatis juga beragama. Hemat saya yang penting dan utama adalah beriman bukan beragama, dan iman harus diwujudkan dalam tindakan atau perilaku, tidak berhenti pada wacana atau omongan. Maka marilah kita berlomba dalam mewujudkan iman dalam cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari dimana pun dan kapan pun. Hendaknya jangan memang suku, agama atau ras, maupun pangkat dan kedudukan, dalam menilai orang, melainkan perilaku atau tindakannya sebagai perwujudan iman. Kami berharap kepada para pemuka atau pemimpin agama untuk dapat menjadi teladan dalam penghayatan iman, dalam cara hidup dan cara bertindak yang baik, mulia dan bermoral atau berbudi pekerti luhur. Para pemuka, pemimpin atau tokoh agama hendaknya tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain melakukan apa yang berdosa atau jahat. Pada masa kini hemat saya sedang terjadi krisis keteladanan atau inspirasi untuk berbuat baik.
“Haleluya! Aku mau bersyukur kepada TUHAN dengan segenap hati, dalam lingkungan orang-orang benar dan dalam jemaah. Besar perbuatan-perbuatan TUHAN, layak diselidiki oleh semua orang yang menyukainya. Agung dan bersemarak pekerjaan-Nya, dan keadilan-Nya tetap untuk selamanya. Perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib dijadikan-Nya peringatan; TUHAN itu pengasih dan penyayang.” (Mzm 111:1-4)
Jumat, 12 Oktober 2012
Romo Ignatius Sumarya, SJ