“Cukuplah bagi seorang murid jika ia menjadi sama seperti gurunya” (Yer 18:1-6; Mzm 146:2-6; Mat 13:47-53)

Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya. Cukuplah bagi seorang murid jika ia menjadi sama seperti gurunya dan bagi seorang hamba jika ia menjadi sama seperti tuannya. Jika tuan rumah disebut Beelzebul, apalagi seisi rumahnya. Jadi janganlah kamu takut terhadap mereka, karena tidak ada sesuatu pun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui. Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang; dan apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah.” (Mat 10:24-27), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan dalam rangka mengenangkan pesta St.Petrus Faber, imam Yesuit, sahabat St.Iignatius Loyola, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Pertama-tama saya minta maaf kalau hari ini saya mengambil bacaan dan tema pesta St.Petrus Faber, imam Yesuit, karena saya juga imam Yesuit. Petrus Faber adalah seorang anak gembala domba, dan baru setelah usia 10 th ia belajar membaca dan menulis. Dalam tugas belajarnya ia akhirnya belajar di Universitas Sorbone-Paris, yang terkenal waktu itu sampai sekarang, dan di universitas ini ia berkenalan dengan Ignatius Loyola serta kemudian berguru kepada Ignatius Loyola perihal Latihan Rohani atau olah kebatinan Kristiani. Dan selanjutnya ia menjadi sahabat Ignatius Loyola, gurunya, sampai mati. Petrus Faber meneladan gurunya, Ignatius Loyola, memberitakan Kabar Baik “dari atas rumah”, yang berarti mengatasi melintasi batas daerah maupun suku dan bangsa alias siap sedia diutus untuk mewartakan Kabar Baik ke seluruh dunia. Semangat merasul para pengikut St.Ignatius Loyola memang siap sedia untuk memasuki daerah-daerah ‘frontier’ , di perbatasan aneka masalah, tantangan, suku dan bangsa, di antara ketegangan-ketegangan kehidupan atau remang-reman kehidupan untuk menanggapi sabda Yesus:”Apa yang Kutakataan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang”. Yang disabdakan oleh Yesus dalam gelap berarti dalam permenungan, meditasi atau kontemplasi, dimana dalam doa-doa ini orang menerima pencerahan dan pewahyuan baru, yang selanjutnya diteruskan kepada saudara-saudarinya dimana pun dan kapan pun. Kami berharap kepada segenap umat beriman untuk tidak takut dan tidak gentar meneruskan atau mewartakan apa yang baik, benar dan suci yang diterima atau ditemukan dalam doa atau pembelajaran dan pembacaan kepada siapapun dan dimanapun dalam hidup, pekerjaan dan pelayanan sehari-hari.

· Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu. Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar.” (1Kor 2:1-3), demikian kesaksian iman Paulus kepada umat di Korintus, kepada kita semua umat beriman, khususnya yang beriman kepada Yesus Kristus. “Aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan”, inilah yang hendaknya kita renungkan atau refleksikan. Beriman kepada Yesus Kristus tanpa mengimani Dia sebagai Yang Tersalib demi keselamatan jiwa seluruh dunia, umat manusia, kiranya tidak berarti apa-apa. Mengimani Yang Tersalib berarti senantiasa siap sedia dengan jiwa besar dan hati rela berkorban untuk menghayati iman, setia pada panggilan dan tugas pengutusan, meskipun untuk itu harus menderita dalam menghadapi aneka tantangan, masalah dan hambatan. “Jer basuki mowo beyo” = Untuk hidup mulia, bahagia dan damai sejahtera orang harus siap sedia untuk menderita dan berkorban, demikian kata pepatah Jawa. Penderitaan dan pengorbanan yang mendatangkan kebahagiaan dan kedamaian, secara manusia kiranya telah dihayati oleh rekan-rekan perempuan yang telah bersuami, yaitu dengan menderita sakit karena mengorbankan keperawanannya dalam relasi kasih dengan suaminya (penderitaan yang sama kiranya juga dihayati ketika sedang melahirkan anaknya). Maka benarlah bahwa dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya rekan-rekan perempuan lebih siap sedia dan rela untuk berkorban demi kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain. Marilah kita saling berkorban guna mengusahakan hidup bahagia dan damai sejahtera bersama. Kami berharap agar anak-anak sedini mungkin di dalam keluarga dididik dan dibiasakan dalam hal berkorban demi kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain, dengan kata lain jauhkan semangat atau sikap mental memanjakan anak-anak, yang pada giliranya akan mencelakakan mereka.

"Terpujilah Engkau, Tuhan, Allah nenek moyang kami, yang patut dihormati dan ditinggikan selama-lamanya. terpujilah nama-Mu yang mulia dan kudus, yang patut dihormat dan ditinggikan selama-lamanya. Pujilah Tuhan, hai segala malaikat Tuhan, nyanyikanlah dan tinggikanlah Dia selama-lamanya” (Dan 3:52.58)




Kamis, 2 Agustus 2012


Romo Ignatius Sumarya, SJ