“Tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka”
Menurut aneka info melalui aneka mass media jumlah orang yang tergolong miskin di Indonesia sekitar 30(tiga puluh) juta orang, dan rasanya mereka belum memperoleh perhatian yang memadai dari yang berwenang. Nampaknya mereka yang berwenag tidak memiliki hati yang tahu belas kasih terhadap mereka yang menderita dan berkekurangan. Itu semua menunjukkan bahwa mereka begitu bersikap mental materialistis atau duniawi yang masih bercokol dalam hati mereka. Sikap materialistis atau duniawi ini hemat saya terjadi sebagai korban atau akibat system pendidikan di Negara kita yang kurang memperhatikan pendidikan budi pekerti, nilai dan moral di dalam keluarga maupun sekolah-sekolah. Maklum selama masa Orde Baru yang berlangsung bertahun-tahun program pembangunan lebih ditekankan dan dikedepankan pada kesuksesan ekonomi atau materi, yang mau tidak mau juga mempengaruhi sikap mental para pengelola dan pengurus sekolah-sekolah. Selama masa Reformasi pun hal itu belum berubah, mengingat yang mengakui tokoh Reformasi pun juga belum berubah sikap mentalnya, antara lain menggejala dalam tindakan korupsi yang masih atau semakin marak dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sabda hari ini mengingatkan dan mengajak kita semua untuk lebih mengutamakan atau mengedepankan pembinaan atau pendidikan nilai, budi pekerti atau moral dalam proses pendidikan atau pembelajaran, entah di dalam keluarga maupun di sekolah-sekolah.
“Ketika Yesus mendarat, Ia melihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala. Lalu mulailah Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka” (Mrk 6:34)
“Yesus mendarat” berarti Ia sungguh merakyat, turun ke bawah untuk melihat dan mencermati kenyataan hidup yang ada di masyarakat. Maka kepada siapapun yang beriman kepadaNya dipanggil untuk meneladan cara hidup dan cara bertindakNya. Belum lama ini kita ikuti berita atau informasi perihal Pilkada Gubernur DKI, dan dalam putaran pertama Bapak Jokowi, walikota Solo-Jawa Tengah, tiba-tiba mengejutkan bahwa ia menjadi calon gubernur yang paling banyak memperoleh suara. Hal itu kiranya terjadi dengan kesederhanaanya baik dalam hidup sehari-hari maupun berkampanye, dimana ia sungguh ‘mendarat’, turun ke bawah untuk menyapa dan mendengarkan rakyat kecil, yang memang juga menjadi kebiasaan hidup dan bertindaknya sebagai walikota Solo. Hatinya sungguh tergerak oleh dambaan, jeritan, harapan rakyat, terutama mereka yang miskin dan berkekurangan.
“Hati yang berbekas kasih”, itulah hendaknya yang harus kita usahakan dan perkembangkan serta perdalam bersama-sama sebagai umat beriman. Kita semua tahu dan mengalami bahwa hati lebih awal berperan dan berfungsi daripada otak atau pikiran dalam diri kita, namun sungguh memprihatinkan bahwa dalam perkembangan dan pertumbuhan sebagai manusia hati kurang memperoleh perhatian yang memadai, atau bahkan dikesampingkan. Maka juga tidak mengherankan bahwa antar anggota keluarga pun sering kurang saling memperhatikan satu sama lain. Salah satu bentuk memperhatikan adalah dengan memboroskan waktu dan tenaga, dan rasanya hal ini pada masa kini semakin mengalami erosi, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan sarana komunikasi yang modern dan canggih, seperti HP dan internet.
Kami berharap “hati” mendapat perhatian yang memadai dalam pendidikan, entah di dalam keluarga-keluarga maupun sekolah-sekolah; dengan kata lain pendidikan nilai, moral atau budi pekerti sungguh diperhatikan secara memadai dalam proses pendidikan. Kami percaya kepada para orangtua bahwa pada umumnya ketika anak masih kecil, masa balita, kiranya memperoleh perhatian yang memadai dari orangtua, semoga perhatian ini juga menjadi nyata dalam pendidikan nilai, moral atau budi pekerti pada anak-anak sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan mereka. Pendidikan nilai, moral atau budi pekerti di sekolah-sekolah hendaknya dilakukan dalam semua mata pelajaran, tidak hanya diajarkan secara khusus melalui pelajaran nilai atau budi pekerti, yang kiranya lebih bersifat teoritis. Pendidikan nilai, moral atau budi pekerti lebih merupakan pelatihan-pelatihan atau pembiasaan-pembiasaan dalam bentuk tindakan atau perilaku. Selain pembiasaan atau pelatihan hemat saya keteladanan atau kesaksian dalam penghayatan nilai, moral atau budi pekerti dari para orangtua dan guru/pendidik mutlak dibutuhkan.
“Sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu "jauh", sudah menjadi "dekat" oleh darah Kristus.Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu” (Ef 2:13-16)
“Jauh di mata dekat di hati”, itulah kata sebuah pepatah, yang kiranya dapat diartikan bahwa meskipun saling berjauhan tempat tinggal atau berada, namun merasa satu di hati, sehingga meskipun sendirian tak pernah merasa kesepian. Kedekatan atau kesatuan hati dapat diwujudkan dengan saling mendoakan, karena Tuhan lah yang mendekatkan atau menyatukan. Sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, ketika merasa kesepian hendaknya memandang Dia yang tergantung di kayu salib, karena sebagaimana dikatakan oleh Paulus bahwa “Dialah damai sejahtera itu, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan matiNya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya”, yang sering disalahgunakan sehingga terjadi permusuhan atau perseteruan.
Dalam kenyataan hidup dan kerja bersama, aturan atau tata tertib atau hukum, yang sebenarnya bertujuan untuk menyatukan telah menjadi sarana pemecah belah, karena orang hanya melihat dan memperhatikan hal-hal yang menguntungkan dirinya sendiri, tidak menyikapi aturan atau tata tertib secara utuh atau keseluruhan. Salib adalah wujud kasih Tuhan kepada kita, maka jika saya mengajak memandang Dia yang Tersalib tidak lain adalah mengajak anda sekalian untuk menyikapi segala sesuatu oleh dan dalam kasih. Sekali lagi saya angkat bahwa aneka tata tertib atau aturan dibuat dan diundangkan dalam dan demi kasih, maka hendaknya senantiasa disikapi dan dihadapi dalam dan dengan kasih juga.
"Celakalah para gembala yang membiarkan kambing domba gembalaan-Ku hilang dan terserak!" (Yer 23:1), demikianlah firman TUHAN. Kutipan ini kiranya mengingatkan para gembala, pemimpin atau atasan yang berfungsi untuk mempersatukan. Kami berharap orangtua dapat menjadi teladan atau saksi persatuan bagi anak-anaknya serta membina anak-anak untuk senantiasa hidup dalam persatuan atau persaudaraan sejati. Maka dengan rendah hati kami berharap para suami-isteri setia saling mengasihi sampai mati alias tidak tergerak untuk bercerai atau berpisah. Para pemimpin atau atasan dalam hidup bersama dalam bentuk apapun kami harapkan juga dapat menjadi teladan atau saksi persaudaraan atau persatuan serta membina anak buah atau bawahan untuk senantiasa hidup dalam persaudaraan atau persatuan sejati dalam dan oleh Tuhan. Untuk itu hendaknya para pemimpin atau atasan sering atau setiap hari mendoakan anak buah atau bawahannya.
“TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.” (Mzm 23:1-5)
Minggu, 22 Juli 2012
Romo Ignatius Sumarya, SJ