Setiap
manusia atau kita semua diciptakan didalam kebersamaan atau
gotong-royong oleh Allah yang bekerjasama dengan orangtua kita
masing-masing yang saling bergotong-royong atau kerjasama dalam
cintakasih. Dengan kata lain masing-masing dari kita adalah buah
kesatuan cintakasih atau kerjasama, antara laki-laki dan perempuan yang
berbeda satu sama lain dalam banyak hal. Maka kita semua dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik sesuai dengan kehendak Allah maupun dambaan
kita yang baik jika kita hidup dan bekerja dalam kebersamaan atau
gotong-royong. Berbagai kasus telah menjadi bukti, yaitu mereka yang
jarang berkumpul atau sama sekali tak mau berkumpul dengan
saudara-saudarinya, misalnya imam dengan sesama imam, suster dengan
sesama suster, bruder dan sesama bruder, antar anggota keluarga atau
komunitas/Tarekat, pada umumnya tidak lama kemudian ‘hilang’ atau
‘mengundurkan diri’ dari kebersamaan hidup terpanggil. Jika yang
bersangkutan tidak mundur pada umumnya buah karya atau pelayanannya juga
kurang memberi buah keselamatan jiwa. Kebersamaan atau
kegotong-royongan dengan saudara-saudari merupakan wujud kebersamaan
kita dengan Allah, maka marilah kita mawas diri sejauh mana kita hidup
dan bertindak dalam kebersamaan atau gotong-royong.
“Akulah
pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di
dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku
kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5).
Sebagai
ciptaan Allah jika kita mendambakan hidup berbahagia, damai sejahtera
dan selamat lahir maupun batin, fisik maupun jiwa, dan tentu saja
terutama dan pertama-tama jiwa, maka kita senantiasa harus bersatu dan
bersama dengan Allah kapan pun dan dimana pun. Kebersamaan atau
persatuan dengan Allah harus menjadi nyata juga dalam kebersamaan atau
persatuan dengan saudara-saudari kita. Apa yang disabdakan oleh Yesus di
atas rasanya secara konkret telah dihayati oleh para suami dan isteri
yang saling mengasihi satu sama lain sebagai kebersamaan atau persatuan,
yang antara lain ditandai dalam hubungan seks dan akhirnya menghasilkan
buah cintakasih atau kerjasama, seorang anak atau keturunan. Semoga
kesatuan para suami-isteri tidak sebatas fisik saja, melainkan juga
sampai pada kesatuan hati, jiwa dan akal budi, karena dengan demikian
buahnya atau keturunannya akan mewarisi kesatuan tersebut.
Tinggal dan hidup maupun bekerja
bersama dengan Allah memang dapat kita wujudkan dalam hidup dan bekerja
bersama dalam cintakasih, dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap
akal budi dan segenap tenaga. Kesatuan dengan Allah juga dapat menjadi
nyata dalam kesatuan dengan Yesus Kristus, Allah yang telah menjadi
manusia seperti kita kccuali dalam hal dosa, menderita sengsara, wafat
disalibkan dan dibangkitkan dari mati. Dengan kata lain kita sungguh
mencintai Yesus Kristus. “Menghayati cinta mendalam kepada
pribadi Kristus menyebabkan bahwa kita ingin mengenakan ‘pikiran
Kristus’, supaya kita menjadi, nampak dan berbuat seperti Dia. Itulah
yang merupakan corak pertama daan dasar cara kita bertindak” (SJ, Teman Dalam Perutusan, Penerbit Kanisius 1985, hal 330).
“Nampak dan berbuat seperti Dia” alias menjadi sahabat-sahabat Yesus itulah kiranya yang baik kita renungkan dan hayati. Pertama-tama
hendaknya kita sungguh mengenal Yesus Kristus dan untuk itu kiranya
dapat kita lakukan dengan membaca dan mencecap dalam-dalam apa yang
tertulis di dalam Kitab Suci atau Injil. Di dalam Injil dikisahkan ‘cara
melihat, cara merasa, cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak’
Yesus terhadap aneka manusia maupun peristiwa kehidupan, yang dijiwai
oleh cintakasih. Maka sebagai sahabat-sahabat atau murid-murid Yesus
Kristus kita semua dipanggil untuk senantiasa hidup dan bertindak
dijiwai oleh cintakasih, apalagi kita semua diadakan/diciptakan dan
dibesarkan sebagaimana adanya saat ini karena dan oleh cintakasih.
Pertama-tama dalam mengasihi saudara-saudari kita hendaknya dengan
rendah hati dan lemah lembut sesuai dengan apa yang mereka butuhkan demi
kesejahteraan dan keselamatan mareka, terutama jiwanya. Pada masa kini
yang mungkin sulit dan berat adalah ‘dikasihi’. Dikasihi tidak hanya
enak dan nikmat di dalam tubuh, melainkan juga sering tidak enak dan
menyakiti, yaitu ketika kita diejek, dikritik, diberitahu,
dididik/dibimbing dst.. Hendaknya semua sapaan, perlakuan dan sikap
saudara-saudari kita dihayati sebagai kasih mereka kepada kita.
“Anak-anakku,
marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi
dengan perbuatan dan dalam kebenaran. Demikianlah kita ketahui, bahwa
kita berasal dari kebenaran. Demikian pula kita boleh menenangkan hati
kita di hadapan Allah, sebab jika kita dituduh olehnya, Allah adalah
lebih besar dari pada hati kita serta mengetahui segala sesuatu.” (1Yoh 3:18-20)
Cintakasih
sejati memang harus menjadi nyata dalam tindakan atau perilaku, tidak
berhenti pada kata-kata manis dan mesra di lidah saja. Anda semua yang
menjadi suami-isteri kiranya telah menghayati cintakasih tidak hanya
dalam perkataan manis dengan lidah saja, melainkan menjadi nyata dalam
tindakan atau perilaku yaitu dalam hubungan seksual dimana anda saling
memberikan diri seutuhnya secara terbuka atau telanjang bulat, tak ada
sesuatupun yang disembunyikan: semuanya dipersembahkan kepada yang
terkasih. Kami berharap pengalaman tersebut menjadi nyata juga atau
dihayati dalam mengasihi anak-anak yang dianugerahkan Tuhan kepada anda,
sehingga anak-anak tumbuh berkembang dalam cintakasih yang nyata dan
kelak kemudian hari mereka juga akan mengasihi sesamanya lebih dalam
tindakan atau perilaku daripada kata-kata atau omongan.
Kita
semua dapat mewujudkan cintakasih dalam saling memberi perhatian, dan
perhatian tersebut dapat menjadi nyata dalam aneka bentuk tergantung
situasi dan kondisi atau kesempatan dan kemungkinan. Perhatian antara
lain dapat diwujudkan dengan tinggal bersama, menghadiri atau
mendatangi, mendoakan dst.. Secara khusus kami ingatkan kepada mereka
yang mengunjungi saudara-saudarinya yang sedang menderita sakit,
hendaknya lebih mengutamakan hadir atau bersama mereka daripada
omong-omong, apalagi menanyakan sebab-sebab mereka menderita sakit.
Kepada para pimpinan karya atau hidup bersama kami harapkan sering
mendatangi anak buah atau anggota seraya memberi sapaan secukupnya. Yang
juga tak pernah boleh dilupakan adalah cintakasih atau perhatian
orangtua bagi anak-anaknya: hendaknya dengan besar hati dan pengorbanan
memboroskan waktu dan tenaga bagi anak-anaknya. Cintakasih memang antara
lain harus diwujudkan dalam pemborosan waktu dan tenaga bagi yang
terkasih.
“Selama
beberapa waktu jemaat di seluruh Yudea, Galilea dan Samaria berada
dalam keadaan damai. Jemaat itu dibangun dan hidup dalam takut akan
Tuhan. Jumlahnya makin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan
Roh Kudus” (Kis 9:31), demikian berita yang menggembirakan perihal
pertambahan jumlah mereka yang percaya kepada Yesus Kristus karena
kehadiran Paulus dan Barnabas. Hal ini kiranya merupakan contoh atau
teladan yang baik bagi para gembala umat atau para pastor/imam. Secara
khusus kami harapkan pada para pastor paroki: hendaknya memberi
perhatian dalam pelayanan pastoral dengan mengunjungi umat di wilayah
parokinya secara bergiliran sehingga seluruh umat pernah dikunjungi.
Berpatoral berarti mengunjungi atau mendatangi, lebih-lebih atau
terutama mereka yang kurang memperoleh perhatian atau mereka yang miskin
dan berkekurangan.
“Nazarku
akan kubayar di deapan mereka yang takut akan Dia. Orang yang rendah
hati akan makan dan kenyang, orang yang mencari TUHAN akan memuji-muji
Dia; biarlah hatimu hidup untuk selamanya! Segala ujung bumi akan
mengingatnya dan berbalik kepada TUHAN; dan segala kaum dari
bangsa-bangsa akan sujud menyembah di hadapan-Nya. Sebab TUHANlah yang
empunya kerajaan, Dialah yang memerintah atas bangsa-bangsa. Ya,
kepada-Nya akan sujud menyembah semua orang sombong di bumi, di
hadapan-Nya akan berlutut semua orang yang turun ke dalam debu, dan
orang yang tidak dapat menyambung hidup.”
(Mzm 22:26b-30)
Minggu, 6 Mei 2012
Romo Ignatius Sumarya, SJ