“Kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita”
Imam Besar adalah “imam agung bangsa Yahudi yang berasal dari golongan aristokrat Yahudi. Ia berwibawa besar baik dalam bidang sipil maupun agama, sejauh mewakili bangsanya di hadapan penguasa Roma. Ia mengepalai ‘Mahkamah Agama’, namun baik hak-haknya maupun kewajiban-kewajibannya terutama menyangkut ‘peribadatan’. Setelah dilantik dengan pengurapan khusus dan dianugerahi kesucian, ia mempersembahkan ‘korban harian’, ia mengetuai semua acara besar, dan seorang diri ia memasuki tempat yang ‘terkudus pada hari raya Perdamaian” (Xavier Leon – Dufour: Ensiklopedi Perjanjian Baru, Penerbit Kanisius – Yogyakarta 1990, hal 280-281). Kutipan ini saya angkat untuk mengajak anda sekalian dalam rangka mengenangkan Yesus Kristus, Imam Besar Agung, yang mempersembahkan Diri seutuhnya kepada Allah dan dunia, demi keselamatan seluruh umat manusia, dengan wafat di kayu salib pada hari ini.
“Ibu, inilah, anakmu!" (Yoh 19:26)
Kutipan diatas ini adalah sabda Yesus di puncak kayu salib kepada Bunda Maria seraya memandang murid yang terkasih. Kata-kata yang keluar dari mulut seseorang menjelang kematiannya pada umumnya mengesan alias sungguh didengarkan dan dilaksanakan atau ditanggapi secara positif. Bunda Maria adalah Bunda umat beriman, yang setia bersama dengan ‘Puteranya’ sampai detik terakhir; ia diserahi murid terkasih untuk selanjutnya didampingi dalam perjalanan penghayatan imannya. Murid terkasih Yesus berarti menjadi sahabat Yesus, hidup dan bertindak dengan meneladan cara hidup dan cara bertindak Yesus maupun melaksanakan sabda-sabda-Nya. Kita percaya bahwa Bunda Maria setia pada sabda Yesus tersebut di atas, yaitu sampai kini ia setia mendampingi umat beriman dengan doa-doanya, terutama bagi mereka yang sungguh berkehendak untuk menjadi sahabat-sahabat Yesus, dan tentu saja secara khusus bagi para imam.
Berkehendak untuk menjadi sahabat Yesus berarti siap sedia untuk meneladan-Nya, antara lain senantiasa menjadi suci dalam hidupnya. Yesus telah menyucikan dunia seisinya dengan menderita dan wafat di kayu salib, maka berkehendak menjadi suci berarti senantiasa siap sedia untuk menderita dan mati karena kesetiaan dan ketaatan pada iman dan panggilan. Mungkin kita tidak akan menderita dan mati seperti Yesus, tetapi ada kemungkinan bahwa kita harus sungguh mempersembahkan diri seutuhnya demi penghayatan panggilan dan tugas pengutusan kita. Sebagai umat beriman kita memiliki dimensi imamat umum kaum beriman, sedangkan para imam memiliki rahmat imamat khusus. Pertama-tama kepada para rekan imam kami ajak untuk senantiasa siap sedia menderita dan mati demi keselamatan jiwa umat yang harus dilayani, antara lain sebagaimana dihayati oleh Romo Dewanta SJ di Timor Leste/Timur beberapa tahun lalu ketika terjadi kerusuhan atau perang antar suku. Sedangkan kepada segenap umat beriman kami ajak untuk setia menghayati imannya dalam cara hidup dan cara bertindak setiap hari atau “dalam semangat imam kristiani hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berasaskan Pancasila dan UUD 45”.
"Inilah ibumu” (Yoh 19:27), demikian sabda Yesus kepada murid terkasih. Kita semua berkehendak menjadi murid-murid terkasih Yesus, maka marilah kita sungguh-sungguh menghayati Bunda Maria sebagai ibu kita, teladan umat beriman. Untuk mengenangkan kasih Bunda Maria kepada kita semua yang beriman kepadanya, kiranya dapat dibantu dengan lagu ini, yaitu “Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”. Orang yang tidak mengasihi ibunya, yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkannya dengan aneka cara hemat saya tak tahu syukur dan terima kasih, sehingga cara hidup dan cara bertindaknya tak beriman alias amburadul, tak bermoral dan kurangajar. Kita dipanggil meneladan ibu yang mengasihi tanpa batas dan hanya memberi tak harap kembali. Penderitaan dan wafat Yesus di puncak kayu salib juga merupakan bentuk atau wujud kasih yang tak terbatas. Pengorbanan-Nya sekali dan berlaku untuk selama-lamanya.
“Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita. Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr 4:14-15)
Setia pada iman, panggilan dan tugas pengutusan memang tak akan terlepas dari aneka cobaan untuk berbuat dosa atau melakukan apa yang jahat, tidak baik. Jika menghadapi cobaan-cobaan, kita diharapkan tetap setia dan tabah, serta tidak melakukan dosa sedikitpun. Sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus kita telah mengimani-Nya sebagai imam besar, yang sama dengan kita, hanya tidak berbuat dosa. Mengimani-Nya sebagai imam besar berarti kita semua dipanggil untuk menghayati imamat umum kaum beriman.
Salah satu fungsi imam adalah menjadi ‘penyalur’ rahmat Allah kepada umat manusia serta doa-doa umat manusia kepada Allah. Penyalur yang baik adalah yang tak pernah korupsi sedikitpun atau tak pernah menyakiti yang lain. Anggota tubuh kita, yang kelihatan, yang berfungsi menjadi penyalur hemat saya adalah ‘leher’. Bukankah makanan, minuman dan udara segar masuk ke perut melalui leher, dan leher tidak pernah mengambil atau menikmati sedikitpun yang lewat, melainkan apa yang diterima semuanya segera diteruskan. Dengan kata lain kita semua sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus dipanggil pertama-tama dan terutama tidak pernah melakukan tindak korupsi sedikitpun. Tidak melakukan korupsi pada masa kini sungguh mendesak dan up to date untuk kita hayati dan sebar-luaskan mengingat korupsi masih merebak di sana-sini.
Selain tidak melakukan korupsi kita semua juga dipanggil untuk menjadi penyalur rahmat atau berkat Allah, yang berarti senantiasa melakukan apa yang baik dan benar, sehingga siapapun yang melihat kita atau hidup bersama dengan kita akan merasa enak, aman dan tenteram, serta tidak merasa terancam sedikitpun. Secara konkret panggilan sebagai penyalur berkat Allah dapat kita wujudkan dengan memberi perhatian kepada orang lain, entah secara phisik atau spiritual. Secara phisik berarti memberi sumbangan berupa harta benda atau uang kepada mereka yang miskin dan berkekurangan, sedangkan secara spiritual berarti dengan rela dan senang hati berani memboroskan waktu dan tenaga bagi mereka yang kurang menerima perhatian alias menemani atau tinggal bersama mereka.
“Sesungguhnya, hamba-Ku akan berhasil, ia akan ditinggikan, disanjung dan dimuliakan. Seperti banyak orang akan tertegun melihat dia -- begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi -- demikianlah ia akan membuat tercengang banyak bangsa, raja-raja akan mengatupkan mulutnya melihat dia; sebab apa yang tidak diceritakan kepada mereka akan mereka lihat, dan apa yang tidak mereka dengar akan mereka pahami” (Yes 52:13-15). Apa yang dikatakan oleh nabi Yesaya ini memang merupakan ramalan atas Yesus, Penyelamat kita, yang menderita dan wafat di kayu salib, tetapi kiranya juga terarah bagi kita semua yang beriman kepadaNya. Marilah jika karena hidup jujur alias tidak melakukan korupsi sedikitpun, kemudian kita diincar untuk disingkirkan dari pekerjaan atau jabatan, sehingga merasa dirinya berada di ujung tanduk, kita tetap tabah, tenang dan tak takut sedikitpun. Percayalah bahwa kebenaran dan kejujuran pasti akan menang dan berjaya.
“Di hadapan semua lawanku aku tercela, menakutkan bagi tetangga-tetanggaku, dan menjadi kekejutan bagi kenalan-kenalanku; mereka yang melihat aku di jalan lari dari padaku. Aku telah hilang dari ingatan seperti orang mati, telah menjadi seperti barang yang pecah. Tetapi aku, kepada-Mu aku percaya, ya TUHAN, aku berkata: "Engkaulah Allahku!" Masa hidupku ada dalam tangan-Mu, lepaskanlah aku dari tangan musuh-musuhku dan orang-orang yang mengejar aku” (Mzm 31:12-13.15-16)
Jumat, 6 April 2012
Romo Ignatius Sumarya, SJ