"Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.”
Sebut saja namanya ‘Pastor Yudas’ (nama samaran) dan yang bersangkutan adalah ketua sebuah Yayasan Pendidikan di kota Metropolitan Jakarta yang cukup terkenal dan favorit. Ia bangga dan merasa sukses dalam karya atau tugasnya karena telah mampu mengumpulkan dana alias menambah simpanan dana abadi yayasan cukup besar, dalam hitungan milyard rupiah. Setiap akhir tahun dalam laporan pertanggungjawabannya senantiasa mengatakan bahwa telah memperoleh surplus anggaran cukup besar guna menambah simpanan dana abadi yayasan. Namun di sisi lain para pegawai maupun guru kurang memperoleh perhatian dalam hal imbal jasa, bahkan jika dihitung secara nominal imbal jasa pegawai honor maupun harian yang diterima sesuai dengan peraturan yayasan lebih rendah dari jumlah UMP setempat. Apa yang saya angkat di atas merupakan sebuah contoh, dan kiranya masih cukup banyak contoh lain dalam karya pelayanan pastoral di lingkungan Gereja Katolik yang demikian adanya alias lebih bersikap mental materialistis daripada spiritual, lebih menekankan “material investment” daripada “human investment”. Rasanya ini merupakan buah iklim materialistis dan bisnis yang lebih dominan di negeri Indonesia tercinta ini, sebagaimana nampak dalam korupsi yang terjadi di linngkungan atau jajaran Departemen Pendidikan maupun Departemen Agama. Maka marilah kita renungkan sabda Yesus kepada para rasul di bawah ini, sebagai acuan kita dalam cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari dimana pun dan kapan pun
"Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” (Mrk 1:17)
“The man behind the gun” = Manusia dibalik senjata, itulah kata sebuah pepatah yang mengajak dan mengingatkan kita semua untuk lebih mengutamakan atau mengedepankan manusia dari pada harta benda atau materi. Dengan kata lain hendaknya kita senantiasa hidup dan bertindak secara manusiawi, sehingga dengan mudah melangkah ke yang spiritual atau rohani. Kami berharap agar anggaran belanja, entah di dalam keluarga, organisasi maupun pemerintah sungguh mengutamakan pendidikan atau pembinaan manusia, bukan pembangunan gedung dengan sarana prasarananya, sebagaimana menjadi opsi DPR RI yang ingin membangun gedung baru DPR RI yang megah atau memperbaiki toilet, yang tidak masuk akal. Orang-orang atau rakyat miskin saja kesulitan air bersih maupun MCK, lha kok para wakil rakyat ingin menghambur-hamburkan uang rakyat untuk kepentingan diri sendiri. Bukankah apa yang menjadi kecenderungan para wakil rakyat juga mempengaruhi sekompok warganegara yang bersikap mental materialistis: dengan mudah ganti mobil baru, sarana-prasarana tehnologi baru dst.., padahal yang ada atau dimiliki masih berfungsi dengan baik dan normal.
Kami berharap gizi anak-anak, entah itu berupa makanan dan minuman maupun perhatian dan kasih sungguh memadai. “Boroskan waktu dan tenaga/harta benda/uang” anda untuk pendidikan atau pembinaan anak-anak, sehingga anak-anak tumbuh berkembang menjadi pribadi yang sehat jasmani atau phisiknya maupun rohani atau spiritualnya. "Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!" (Mrk 1:15), demikian sabda Yesus. Kami berharap kepada mereka yang bersikap mental materialistis segera bertobat, dan percayalah pada Penyelenggaraan Ilahi atau Allah. Allah, yang telah menciptakan kita sesuai dengan gambar atau citra-Nya, hadir dan berkarya terus menerus dalam semua ciptaan-Nya, terutama dalam diri manusia, ciptaan yang terluhur dan termulia di bumi ini.
Marilah kita hayati dan tunjukkan bahwa kita manusia adalah ciptaan yang terluhur dan termulia di bumi ini, yang berarti menjadi ‘tuan atas ciptaan-ciptaan lainnya’. Aneka jenis harta benda dan uang hendaknya difungsikan sebagai sarana atau jalan bagi manusia untuk mengejar tujuan manusia diciptakan, yaitu keselamatan jiwa manusia, dengan mengabdi, menghormati, memuji dan memuliakan Allah dalam cara hidup dan cara bertindak setiap hari dimana pun dan kapan pun. Jika aneka harta benda dan uang mengganggu dalam mengejar tujuan manusia diciptakan, hendaknya segera dibuang atau dimusnahkan. Sikap mental materialistis hemat saya tidak hanya dihayati oleh mereka yang kaya akan harta benda atau uang, tetapi mereka yang miskin dan berkekurangan akan harta benda atau uang pun juga dapat bersikap mental materilistis, atau bahkan mereka yang telah berkaul untuk hidup miskin pun juga dapat bersikap mental materialistis. Sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, marilah kita meneladan “Ia, yang walaupun kaya telah memiskinkan dirinya agar dapat mengangkat orang miskin untuk menjadi kaya”, tentu saja terutama dan pertama-tama adalah kaya akan nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan kehidupan yang menyelamatkan jiwa manusia. Selanjutnya marilah kita renungkan sapaan Paulus kepada umat di Korintus di bawah ini.
“Saudara-saudara, inilah yang kumaksudkan, yaitu: waktu telah singkat! Karena itu dalam waktu yang masih sisa ini orang-orang yang beristeri harus berlaku seolah-olah mereka tidak beristeri; dan orang-orang yang menangis seolah-olah tidak menangis; dan orang-orang yang bergembira seolah-olah tidak bergembira; dan orang-orang yang membeli seolah-olah tidak memiliki apa yang mereka beli; pendeknya orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” (1Kor 7:29-31)
Paulus mengingatkan kita semua bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini sungguh bersifat sementara, maka ia mengingatkan “orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu”. Barang-barang duniawi adalah sarana dan bukan tujuan, sarana untuk membantu manusia dalam mengejar tujuan manusia diciptakan, yaitu demi keselamatan jiwa manusia. Maka dengan ini kami berharap dan mengingatkan anda sekalian jika ada barang-barang duniawi yang mengganggu tujuan manusia diciptakan atau keselamatan jiwa hendaknya segera disingkirkan atau dimusnahkan. Hal yang senada adalah anggota-anggota tubuh kita, kaki, tangan, mulut, hidung dst.., hendaknya difungsikan demi keselamatan jiwa kita sendiri maupun jiwa orang lain.
Salah satu anggota tubuh kita yang penting adalah telinga, maka marilah kita fungsikan untuk mendengarkan sabda Tuhan, sebagaimana dihayati oleh Samuel dengan berkata "Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar." (1Sam 3:10). Sabda Tuhan selain dapat kita temukan di dalam Kitab Suci, juga dapat kita temukan atau dengarkan melalui ciptaan-ciptaanNya di bumi ini, entah itu manusia, binatang maupun tanaman, yang antara lain menganugerahi kehidupan dan pertumbuhan atau perkembangan. Marilah kita hayati bahwa kita dapat hidup, tumbuh dan berkembang karena Tuhan, demikian juga ciptaan-ciptaan lainnya di bumi ini. Maka marilah kita saling mendengarkan satu sama lain, agar kita semakin diperkaya dengan pengalaman-pengalaman orang lain.
‘Mendengarkan’ merupakan salah satu keutamaan yang hendaknya terus menerus kita perdalam dan perkembangkan, karena apa yang kita dengarkan akan membentuk pribadi kita. Tentu saja seraya mendengarkan kita juga harus memilah dan memilih: yang baik kita tiru, sedangkan yang jelek atau jahat kita buang. Tentu saja kami juga berharap kepada kita semua akan apa-apa yang terdengar dari diri kita masing-masing adalah yang baik, yang menyelamatkan jiwa manusia. Dengan kata lain hendaknya kita senantiasa berusaha untuk melakukan apa yang baik dan menyelamatkan jiwa manusia.
“Ya Tuhan, tunjukkanlah itu kepadaku. Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku, sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku, Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari. Ingatlah segala rahmat-Mu dan kasih setia-Mu, ya TUHAN, sebab semuanya itu sudah ada sejak purbakala. Dosa-dosaku pada waktu muda dan pelanggaran-pelanggaranku janganlah Kauingat, tetapi ingatlah kepadaku sesuai dengan kasih setia-Mu, oleh karena kebaikan-Mu, ya TUHAN.” (Mzm 25:4b-7)
Minggu, 22 Januari 2012
Romo Ignatius Sumarya, SJ