HOMILI: Hari Minggu Biasa XXIII ( Yeh 33:7-9; Mzm 95:1-2.6-7.8-9; Rm 13:8-10; Mat 18:15-20)

Hari Minggu Biasa XXIII/Kitab Suci Nasional: Yeh 33:7-9; Mzm 95:1-2.6-7.8-9; Rm 13:8-10; Mat 18:15-20

“Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka."

Jika ada dua atau tiga orang berkumpul pada umumnya mereka kemudian cenderung untuk ngrumpi alias ngrasani daripada curhat, sharing pengalaman. Memang ngrumpi atau ngrasani akan terasa enak dan nikmat, sedangkan sharing pengalaman pribadi akan terasa berat. Demikian juga pegawai di kantor ketika tidak diawasi oleh atasannya juga sering terjebak untuk berkelompok sambil ngrumpi atau ngrasani, tak ketinggalan juga para ibu yang menunggu anaknya sedang belajar di Taman Kanak-Kanak. Dalam hal ngrumpi atau ngrasani pada umumnya wanita lebih tekun, meskipun dengan suara lembut dan berbisik-bisik dari mulut ke mulut, sedangkan pria lebih keras dalam omongan, meskipun jarang ngrasani atau ngrumpi; dengan kata lain baik wanita maupun pria sama saja. Sabda hari ini mengingatkan dan mengajak kita semua untuk ‘berkumpul dalam nama Tuhan’, maka baiklah seraya merayakan Minggu Kitab Suci Nasional, saya mengajak kita semua untuk mawas diri sejauh maka kita ‘berkumpul dalam nama Tuhan’.

“Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (Mat 18:20)

Memang ada kecenderungan hati dan pikiran kita untuk lebih melihat kekurangan dan kelemahan orang lain daripada kebaikan dan kekuatannya. Baiklah jika memang demikian keberadaan kita, hendaknya kita hayati sabda Yesus "Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata” (Mat 18:15). Kita diharapkan untuk melokalisir kesalahan dan kekurangan orang lain, memperkecil bukan memperbesar; hendaknya jangan menceriterakan kesalahan orang lain tanpa izin dari yang bersangkutan, dan pertama-tama tunjukkan dengan rendah hati kesalahan orang tersebut secara langsung di hadapannya, tanpa ada orang ketiga alias ‘empat mata’.

Sebagai orang beriman kita semua dipanggil untuk hidup dan bertindak ‘dalam nama Tuhan’ dimanapun dan kapanpun; dalam nama Tuhan berarti dikuasai oleh Tuhan, sehingga mau tak mau harus melaksanakan kehendak atau perintah Tuhan. Kehendak atau perintah Tuhan antara lain tertulis di dalam Kitab Suci, maka hendaknya rajin membaca dan merenungkan apa yang tertulis di dalam Kitab Suci. Setiap hari dengan rendah hati saya kutipkan perikop dari Kitab Suci sesuai dengan Kalendarium Liturgi serta refleksi sederhana dan singkat, dengan harapan dapat membantu anda dalam membaca dan merenungkan sabda Tuhan sebagaimana tertulis di dalam Kitab Suci. Maka dengan senang hati saya tidak berkeberatan jika apa yang saya kutipkan dan refleksikan dibacakan dan direnungkan kembali, entah secara pribadi atau bersama-sama, misalnya di dalam keluarga, lingkungan atau stasi.

‘Berkumpul dalam nama Tuhan’ juga dapat berarti bersama-sama saling tukar pengalaman atau sharing pengalaman iman, pengalaman hidup dan bersatu dengan Tuhan dalam hidup sehari-hari alias menceriterakan apa-apa yang baik, menyelamatkan dan membahagiakan, terutama keselamatan dan kebahagiaan jiwa. Kami percaya masing-masing dari kita lebih memiliki pengalaman yang baik daripada pengalaman yang buruk, yang menggairahkan daripada yang membuat loyo atau frustrasi. Kebiasaan untuk saling berbagi pengalaman iman, apa yang baik, menyelamatkan dan membahagiakan ini hendaknya sedini mungkin dididikkan pada anak-anak di dalam keluarga dengan teladan konkret dari orangtua. Maka baiklah jika di dalam keluarga diusahakan seoptimal mungkin dapat berkumpul bersaman setiap hari bagi seluruh anggota keluarga, misalnya pada sore hari seraya makan bersama. Selama makan bersama ini kiranya dapat saling curhat perihal pengalaman baik sepanjang hari. Selesai makan bersama baiklah diadakan doa/ibadat bersama singkat antara lain dibacakan dan didengarkan bersama sabda Tuhan pada hari yang bersangkutan, sesuai dengan petunjuk dari Kalendarium Liturgi. Dalam doa/ibadat bersama ini hendaknya juga diadakan doa-doa spontan: permohonan, syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Ingat dan hayati sabda-Nya “Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apa pun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Mat 18:19-20)

“Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapa pun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat. Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain mana pun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat” (Rm 13:8-10)

Kita semua dipanggil untuk hidup dan bertindak saling mengasihi serta ‘jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri’. Ngrumpi atau ngrasani hemat saya merupakan tindakan lembut atau halus dari membunuh, karena berarti menghendaki apa yang saya ceriterakan tidak ada; tindakan membunuh yang paling lembut ialah mengeluh atau menggerutu. Bukankah mengeluh atau menggerutu juga berarti merusak hidup saling mengasihi alias berlawanan dengan perintah saling mengasihi? Seluruh apa yang tertulis di dalam Kitab Suci hemat saya ditulis dalam dan oleh cintakasih dengan harapan siapapun yang membaca dan merenungkannya akan hidup saling mengasihi; seluruh isi Kitab Suci hemat saya juga dapat dipadatkan dalam perintah untuk saling mengasihi. “Kasih adalah kegenapan hukum Taurat”, demikian kata Paulus, maka kasih juga kegenapan aneka macam tata tertib atau aturan. Berzinah, membunuh dan mencuri merupakan pelanggaran tata tertib, dan dengan demikian juga melawan kasih sejati. Berzinah, entah dengan diri sendiri atau dengan orang lain, merupakan pelecehan terhadap harkat martabat manusia, yang diciptakan sesuai dengan gambar atau citra Allah, demikian juga membunuh maupun mencuri. Pencurian pada umumnya dilakukan secara diam-diam, demikian juga perzinahan; korupsi juga merupakan salah satu bentuk pencurian yang sungguh merugikan. Ingat korupsi yang telah dilakukan oleh Nazarudin telah menyita waktu dan tenaga para elite politik maupun pemerintahan untuk saling membenarkan diri alias mencari keuntungan diri sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan atau kebutuhan rakyat. Berbulan-bulan waktu dan tenaga tercurahkan pada kasus korupsi Nazarudin, sehingga orang lupa akan hidup saling mengasihi.

“Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”, demikian perintah kasih dari Tuhan yang diangkat kembali oleh Paulus. Saya yakin tak ada seorangpun di antara kita yang suka disakiti atau dilecehkan, sebaliknya dambaannya adalah dihormati, dipuji dan dijunjung tinggi, maka baiklah agar kita dihormati, dipuji dan dijunjung tinggi, marilah kita juga menghormati, memuji dan menunjung tinggi orang lain. Dengan kata lain marilah kita saling menghormati, memuji dan menunjung tinggi, sebagai ciptaan terluhur dan termulia di bumi ini. Hendaknya kita tidak saling menyakiti, melecehkan atau mengecewakan. Marilah kita renungkan peringatan Yeheskiel di bawah ini.

“Jikalau engkau memperingatkan orang jahat itu supaya ia bertobat dari hidupnya, tetapi ia tidak mau bertobat, ia akan mati dalam kesalahannya, tetapi engkau telah menyelamatkan nyawamu” (Yeh 33:9). Mengingatkan orang berdosa agar bertobat, itulah panggilan dan tugas pengutusan kita semua sebagai orang beriman. Maka baiklah jika ada saudara-saudari kita yang melakukan apa yang tidak baik atau tak bermoral, hendaknya sesegera mungkin diperingatkan, dan jangan ditunda-tunda. Dengan kata lain jika kita melihat apa yang tidak baik, hendaknya segera diperbaiki, apa yang tak teratur segera kita atur , dst..

“Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita. Sebab Dialah Allah kita, dan kitalah umat gembalaan-Nya dan kawanan domba tuntunan tangan-Nya. Pada hari ini, sekiranya kamu mendengar suara-Nya! Janganlah keraskan hatimu seperti di Meriba, seperti pada hari di Masa di padang gurun, pada waktu nenek moyangmu mencobai Aku, menguji Aku, padahal mereka melihat perbuatan-Ku.” (Mzm 95:6-9)


Minggu, 4 September 2011

Romo Ignatius Sumarya SJ

Mohon doa, ibu saya Agata Sutareja tadi pagi pk 06.20 dipanggil Tuhan dalam usia 88 tahun. Dimakamkan hari Minggu pk 11.00 Misa Requiem di desa Sumyang, Jogonalan Klaten

Berita Duka

Telah berpulang ke Rumah Bapa di Surga ibu Agata Sutareja (ibu Romo Ign Sumarya, SJ) tadi pagi (Sabtu, 3 September 2011) pk 06.20 dipanggil Tuhan dalam usia 88 tahun. Dimakamkan hari Minggu, 4 September 2011 pk 11.00 Misa Requiem di desa Sumyang, Jogonalan Klaten

Semoga jiwanya berbahagia disurga dan keluarga diberi ketabahan dan kekuatan iman. Sugeng tindak Ibu Agata Suterejo. Tuhan senantiasa memberkati.

"Di manakah kita akan membeli roti supaya mereka ini dapat makan?" (Kol 1:21-23; Mzm 54:3-4.6.8; Luk 6:1-5)

“Pada suatu hari Sabat Yesus dan murid-murid-Nya berjalan di ladang gandum. Para murid memetik bulir gandum dan memakannya, sementara mereka menggisarnya dengan tangannya. Tetapi beberapa orang Farisi berkata: "Mengapa kamu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?" Lalu Yesus menjawab mereka: "Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan oleh Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan mengambil roti sajian, lalu memakannya dan memberikannya kepada pengikut-pengikutnya, padahal roti itu tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam?" Kata Yesus lagi kepada mereka: "Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat." (Luk 6:1-5), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan peringatan wajib St. Gregorius Agung, Paus dan Pujangga Gereja, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• Paus adalah penerus Yesus, Gembala Utama, yang bertugas untuk menggembalakan seluruh umat Allah di dunia. Sebagaimana dihayati oleh Yesus, yang minta bantuan para murid-Nya dalam melaksanakan tugas pengutusan-Nya, demikian juga Paus dibantu para kardinal, uskup, imam, biarawan-biarawati, kaum awam, dst... dalam menggembalakan umat Allah. Maka marilah kita semua ,yang terpanggil untuk membantu fungsi penggembalaan Paus, menanggapi sabda Yesus “Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?”. Di lingkungan hidup maupun kerja kita kiranya masih cukup banyak orang yang lapar dan haus, entah secara phisik maupun spiritual, maka marilah kita dengan besar hati berkorban untuk membantu mereka; marilah kita bagikan kekayaan kita kepada mereka. Bagi yang kaya akan harta benda atau uang hendaknya menyisihkan sebagian kekayaannya untuk disumbangkan bagi mereka yang sungguh membutuhkan, sedangkan bagi yang kaya akan nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan, keterampilan atau pengetahuan, hendaknya berani meluangkan waktu dan tenaga untuk membagikannya kepada mereka yang lapar dan haus akan nilai, keutamaan, keterampilan maupun pengetahuan. Pada dasarnya sebagai manusia, kita adalah makhluk sosial, ‘to be man or woman with/for others’, maka marilah kita hayati dan wujudkan jati diri kita ini dengan bermurah hati dan berbelas-kasih bagi mereka yang lapar dan haus. Jauhkan aneka bentuk egois yang akan mencelakakan kita, dan hendaknya anak-anak sedini mungkin di dalam keluarga dibina dan dididik untuk sosial terhadap saudara-saudarinya atau teman-temannya, dengan teladan konkret dari orangtua masing-masing.

• “Kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh alam di bawah langit, dan yang aku ini, Paulus, telah menjadi pelayannya.” (Kol 1:23), demikian saran Paulus kepada umat di Kolose. Marilah saran ini kita renungkan atau refleksikan. Sebagai orang beriman kita diharapkan ‘bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang’. Memang pada masa kini cukup banyak rayuan atau tawaran berupa kenikmatan-kenikmatan duniawi, yang menggerogoti iman kita serta dapat melumpuhkan iman kita. Sebagai contoh adalah rayuan atau tawaran berupa uang; kiranya cukup banyak orang menjadi rapuh atau lemah imannya karena uang. Uang memang dapat menjadi jalan ke neraka atau jalan ke sorga, dan sebagai umat beriman kita diharapkan memfungsikan uang sebagai jalan ke sorga. Maka baiklah kita jujur dan transparan dalam menggunakan uang, sesuai dengan pedoman ‘intentio dantis’ (=maksud pemberi), tentu saja maksud di sini adalah maksud yang baik dan menyelamatkan jiwa manusia. Secara khusus kami berharap kepada mereka yang bertugas untuk mengurus atau mengelola uang dalam berorganisasi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, untuk ‘tetap teguh dan tidak tergoncang’ dalam menghadapi aneka rangsangan, rayuan atau tawaran untuk korupsi. Kami berharap kepada mereka yang berkarya di lingkungan Departemen Agama maupun Departemen Pendidikan dapat menjadi teladan dalam keteguhan dan ketekunan iman, sehingga tidak melakukan korupsi sedikitpun. Kemerosotan moral yang masih terus terjadi di hampir semua bidang kehidupan bersama masa kini hemat saya antara lain disebabkan kerapuhan iman mereka yang berkarya di dalam lingkungan Departemen Agama maupun Departemen Pendidikan. Ingat dan sadari bahwa para koruptor pernah bersekolah dan mengaku beragama, yang berarti terjadi kerapuhan iman dalam pengelolaan atau pengurusan sekolah maupun agama.

“Ya Allah, selamatkanlah aku karena nama-Mu, berilah keadilan kepadaku karena keperkasaan-Mu! Ya Allah, dengarkanlah doaku, berilah telinga kepada ucapan mulutku! Sesungguhnya, Allah adalah penolongku; Tuhanlah yang menopang aku” (Mzm 54:3-4.6)


Sabtu, 3 September 2011


Romo Ignatius Sumarya, SJ

Pertemuan I BKSN 2011: Perumpamaan orang Samaria yang baik hati


Pengantar Singkat

Awal Bulan Kitab Suci Nasional adalah keprihatinan Gereja bahwa umat kurang akrab dengan kitab suci. Tahun 1975 Lembaga Biblika Indonesia menyarankan agar tiap paroki mengadakan misa Syukur dalam bulan Agustus untuk menyambut terbitnya Alkitab ekumenis. Di tahun 1976 ditentukan Minggu Kitab Suci yang tahun itu jatuh pada tanggal 24/25 Juli 1976. Selanjutnya sidang MAWI 1977 menetapkan hari minggu pertama bulan September sebagai Hari Minggu Kitab Suci Nasional (HMKSN). Dalam perkembangannya satu minggu dalam setahun dirasakan kurang, maka ditetapkanlah bulan September sebagai Bulan Kitab Suci Nasional, yang diisi dengan pelbagai kegiatan bersangkutan dengan Kitab Suci. Hal ini masih berlangsung sampai sekarang.

Pada tahun 2011 ini ada empat perumpamaan yang dipilih untuk dijadikan bahan renungan serta pembelajaran bersama dalam Bulan Kitab Suci ini, yaitu:

1. Orang Samaria Yang Baik Hati (Luk.10:25-37)
2. Anak Yang Hilang (Luk 15:1-32)
3. Lalang di Ladang Gandum (Mat. 13:24-30)
4. Pengampunan (Mat. 18:21-35).

Kedua perumpamaan yang pertama hanya terdapat di dalam Injil Lukas, sedang kedua perumpamaan terakhir hanya terdapat di dalam Injil Matius. Pemilihan keempat perumpamaan tersebut didasari oleh isinya yang relevan untuk situasi kita bersama saat ini. Kita mencoba bersama-sama menggali pesan-pesan perumpamaan dalam bentuk sharing, berbagi pengalaman dan berbagi pendapat. Bulan September ini kita memasuki bulan Kitab Suci, marilah setiap hari kita membaca dan merenungkan apa yang tertulis dalam Kitab suci, aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di lingkungan, wilayah maupun Sarasehan Kitab Suci yang diselenggarakan di Paroki dan kiranya juga dapat memanfaatkan tulisan-tulisan renungan yang ada di blog ini.

Pertemuan I. Perumpamaan orang Samaria yang baik hati


INJIL Lukas 10:25-37

Pada suatu ketika, seorang ahli kitab berdiri hendak mencobai Yesus, "Guru, apakah yang harus kulakukan untuk memperoleh hidup yang kekal?" Jawab Yesus kepadanya, "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?" Jawab orang itu, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Kata Yesus kepadanya, "Benar jawabmu itu. Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata lagi, "Dan siapakah sesamaku manusia?" Jawab Yesus, "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho. Ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi juga memukulnya, dan sesudah itu meninggalkannya setengah mati. Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu. Ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu. Ketika melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. Lalu datanglah ke tempat itu seorang Samaria yang sedang dalam perjalanan. Ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasih. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya, 'Rawatlah dia, dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya waktu aku kembali.' Menurut pendapatmu siapakah di antara ketiga orang ini adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Jawab orang itu, "Orang yang telah menunjukkan belas kasih kepadanya." Yesus berkata kepadanya, "Pergilah, dan lakukanlah demikian!"

***


Meskipun tidak jelas-jelas disebutkan, kisah orang Samaria yang baik hati dalam Luk 10:25-37 adalah sebuah perumpamaan. Yesus menampilkannya dalam pembicaraan dengan seorang ahli Taurat. Marilah kita simak latar perumpamaan ini.

HIDUP KEKAL = DASAR DIALOG IMAN?

Apa yang mesti dilakukan untuk memperoleh kehidupan kekal? Masalah yang diungkapkan ahli Taurat kepada Yesus ini menyuarakan pertanyaan dalam diri banyak orang. Orang merasa adanya kaitan antara kehidupan sekarang dan nanti. Bila orang dapat membiasakan diri menerima kehadiran Yang Mahakuasa, tentunya nanti dalam kehidupan selanjutnya ia akan diingat olehNya. Bila orang berusaha berbuat baik kepada orang lain, rasa-rasanya juga tidak akan terlantar bila sudah pindah ke dunia sana nanti. Meski tidak ada jaminan yang pasti, keyakinan seperti ini menjadi dasar iman dalam arti yang paling umum yang diajarkan tiap agama. Bila begitu, mengapa dialog antar iman yang kerap dilakukan di banyak tempat di negeri kita ini jarang menyentuh dasar yang paling umum dari iman sendiri? Sedemikian lumrah sehingga terabaikan? Pokok ini bisa juga menjadi dasar dialog iman tanpa segera mengarah pada perbedaan agama seperti bacaan hari ini.

Baik Yesus maupun ahli Taurat mempunyai jawaban yang sama bagi pertanyaan bagaimana memperoleh kehidupan kekal tadi. Memang disebutkan bahwa sang ahli Taurat bermaksud "mencobai" Yesus. Maksudnya untuk menguji apa guru dari kalangan bukan resmi ini juga paham apa masalahnya. Yesus menggulirkan pertanyaannya kembali kepadanya. Tentu ahli Taurat itu senang mendapat kesempatan mengutarakan tesis baru mengenai soal iman tadi. Begitulah dalam ayat 27 ("Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati, dengan segenap jiwamu, dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akalbudimu"), ia merumuskan kembali Ul 6:5 ("Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu") dan menggabungkannya dengan Im 19:8 ("Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."). Kedua perintah itu diketahui dan dipercaya orang, tetapi gabungan antara keduanya sebagai jalan emas untuk mencapai kehidupan kekal belum biasa terdengar di antara orang Yahudi. Lagipula apa hubungan antara keduanya, yang satu mewujudkan yang lain, atau dua hal terpisah dijalankan bersama?

DARI PERSPEKTIF PERJANJIAN LAMA

Perintah mengasihi Tuhan itu bagian dari ungkapan "Syema' Israel" ("Dengarkanlah hai Israel!") yakni ungkapan kepercayaan atau syahadat mereka, "Dengarkanlah hai Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!" (Ul 6:4) dan dalam ayat selanjutnya (Ul 6:5) dilanjutkan dengan kata-kata yang dikutip ahli Taurat tadi, yakni "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu." Teks ini menyebut tiga unsur yang dijelaskan dengan kata "segenap". Ahli Taurat tadi menambahkan hal keempat, yakni "segenap akalbudi" (Luk 10:27; Yesus juga menyebutkannya dalam Mrk 12:30 juga dalam Mat 22:37, walaupun Matius tidak menyebutkan "dan dengan segenap kekuatanmu"). Masalah teks ini tidak sukar dijelaskan. Dalam alam pikiran Ibrani, "hati" aslinya ialah tempat bernalar, jadi sama dengan akalbudi. Namun kemudian "hati" juga dimengerti sebagai tempat afeksi, termasuk iba hati, yang dulu-dulunya dibayangkan bertempat di perut. Beriba hati diungkapkan dengan "rahimnya tergetar", "isi perutnya terpilin-pilin", tergerak hatinya, seperti orang Samaria dalam Luk 10:33. Karena perkembangan itu maka dalam penerusan ayat tadi sering ditambahkan penjelasan mengenai yang sesungguhnya dimaksud dengan "segenap hati" tadi, yakni "seluruh akalbudi". Penjelasan ini ditaruh pada akhir ayat sehingga tidak memecah rumusan asli.

Mengasihi Tuhan dengan segenap hati maksudnya ialah memikirkannya dengan sungguh, mencari tahu sampai ke dasar-dasarnya, mempelajari siapa Dia itu, mencoba mengerti kebesaranNya, juga dengan filsafat. Dengan "segenap jiwa" artinya tidak berpura-pura, di luar tampaknya penuh perhatian tapi di dalamnya tak peduli, atau ada udang di balik batu, ada agenda tersembunyi. Orang sekarang akan merumuskannya dengan gagasan "integritas". Akhirnya, "segenap kekuatan" berarti kekayaan, harta, kedudukan, kepandaian, ketrampilan, apa saja yang dimiliki yang dapat membuat orang jadi terpandang. Semua hal yang ada pada manusia itu, hati/budi, integritas, kemampuan dapat diamalkan sehingga ungkapan "mengasihi Tuhan" makin berarti. Jadi mengasihi Tuhan itu sama dengan menjadi manusia yang makin utuh.

TASIR MENGASIHI SESAMA

Bagian kedua dari kutipan ahli Taurat tadi merujuk kepada Im 19:18, yakni mengasihi sesama "seperti dirimu sendiri". Apa artinya? Mengasihi orang lain dengan cara seperti layaknya kita memperhatikan diri kita sendiri, seperti yang ada dalam petuah emas "lakukan kepada orang lain seperti apa yang kauinginkan terjadi padamu"? Memang sering ditafsirkan demikian. Namun kalimat itu sebenarnya lebih sederhana: kasihilah sesamamu mengingat sesama itu ya seperti kamu-kamu juga. Sama-sama butuh keselamatan, sama-sama mau mendapat kebahagiaan dalam hidup kekal nanti. Jadi di sini ada ajakan menumbuhkan solidaritas di antara orang-orang yang berkemauan baik.

MENENGOK INJIL MARKUS

Apa arti penggabungan perintah mengasihi sesama dalam Im 19:18 dengan perintah mengasihi Tuhan dalam Ul 6:5 tadi? Inilah pokok masalah yang sebenarnya ingin diajukan ahli Taurat tadi. Ia ingin tahu apa Yesus paham perkaranya. Apa bagi Yesus perintah yang pertama belum cukup dan harus digabung dengan yang kedua? Atau yang pertama itu mengharuskan yang kedua? Atau yang pertama itu bisa dilaksanakan dengan yang kedua, jadi yang kedua itu bentuk nyata dari yang pertama? Ahli Taurat itu mau tahu apa Yesus memiliki kemampuan berteologi atau hanya tahu abece katekismus saja.

Hal ini sudah pernah muncul dalam Mrk 12:28-34 (lihat juga Mat 22:34-40). Seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus manakah perintah yang utama. Jawab Yesus dalam Mrk 12:29-31 sama dengan kata-kata ahli Taurat dalam Luk 10:27 tadi. Dalam Mrk 12:32-33 sang ahli Taurat membenarkan Yesus dengan mengulang kedua perintah itu sambil menambahkan "[mengasihi Tuhan] dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri jauh lebih utama daripada semua kurban bakaran dan kurban lainnya." Pernyataan "lebih utama" itu jelas terlihat dalam teks aslinya dimaksud sebagai predikat "mengasihi sesama..." Ini pernyataan yang amat berani. Ahli Taurat dalam Mrk 12:33 tadi menandaskan bahwa beragama itu intinya mengasihi sesama manusia - ini lebih utama dari pada semua praktek yang langsung meluhurkan dan mengasihi Tuhan, yakni segala macam kurban, segala macam upacara. Markus mencatat bahwa Yesus melihat ahli Taurat itu menjawab dengan bijaksana dan menyatakan bahwa ia tidak jauh dari Kerajaan Allah (Mrk 12:34).

Di kalangan orang Yahudi menjelang zaman Yesus ada pelbagai aliran kebatinan yang menekankan kesatuan antara kedua perintah tadi sambil menegaskan bahwa mengasihi sesama adalah jalan yang paling membuat orang sungguh mengasihi Tuhan. Pengajaran Yesus sendiri juga ada dalam arah itu. Nanti dalam ajaran mistik Yahudi dalam Abad Pertengahan, manusia kerap digambarkan sebagai percikan api yang asalnya dari Tuhan. Artinya dalam diri manusia ada secercah terang yang membawanya kembali kepadaNya, tanpa susah-susah, asal diterima. Jadi terimalah sesama karena ia juga mempunyai recikan keilahian yang sama, karena ia itu sesama itu gambar dan rupa ilahi. Sering ada ketegangan dengan mereka yang lebih melihat kedua perintah itu sebagai dua hal, bukan satu hal. Yesus mengatakan dalam Mrk 12:34 bahwa ahli Taurat yang bijaksana itu tidak jauh dari Kerajaan Allah, maksudnya, pemikiran ahli Taurat tadi amat dekat dengan warta Yesus sendiri. Pembicaraan dalam Luk 10:25-28 yang mendahului perumpamaan orang Samaria yang baik hati itu cerminan Mrk 12:28-34. Lukas mengolahnya dengan kisah orang Samaria yang baik hati.

ORANG SAMARIA

Ahli Taurat dalam Luk 10:25-37 itu mau tahu apakah Yesus paham di sini ada perkara teologis yang hanya bisa dipecahkan dengan kebijaksanaan seperti dalam Markus tadi. Apa Yesus itu orang yang hanya asal percaya huruf atau bisa dianggap kolega yang pintar berusaha mengerti ayat-ayat? Jawaban Yesus yang mengiakan itu memberi kesan seakan-akan ia tidak melihat apa yang diarah ahli Taurat tadi. Aha! Makin jelas perkaranya nih, begitu pikir sang ahli Taurat girang. Makin empuk mendekat ke pemecahan. Lalu kata Lukas yang sebenarnya memoderatori seminar antar pakar agama itu, ahli Taurat tadi bertanya lagi "untuk membenarkan dirinya" (ayat 28), dan mengungkapkan pokok masalah kedua: "Siapakah sesamaku manusia itu?"

Dengan bercerita mengenai orang Samaria yang baik hati itu Yesus menuntun ahli Taurat tadi sampai pada kebenaran. Tapi caranya khas. Ia dibawa ke arah yang berlawanan dan baru pada akhir orang dihadapkan pada jawaban sesungguhnya. Ahli Taurat itu mau tahu siapa sesama manusia dan perumpamaan itu pasti membuatnya mengira bahwa Yesus mau mengatakan bahwa sesama manusia ialah orang yang malang yang tak ditolong oleh kaumnya sendiri itu. Seolah-olah mau diajarkan bahwa pemuka Yahudi mestinya sadar bahwa mengasihi sesama itu mengasihi orang yang kena malang. Namun mereka sudah tahu. Pada akhir cerita itu (ayat 36) Yesus bertanya dan membuat orang sadar akan arah yang semestinya dipikirkan. Siapakah dari antara ketiga orang itu adalah sesama bagi orang malang itu? Tak bisa lagi dielakkan, sesama manusia bagi orang malang itu ialah orang Samaria tadi.

Orang dituntun beralih dari bertanya "Siapakah sesamaku?" menuju ke pemeriksaan diri "Aku ini sesama bagi siapa?" Kejujuran, kebaikan hati, kemauan menolong tidak menjadi pusat perhatian. Semua ini diandaikan ada. Yang mesti ditanyakan, semua ini kupunyai untuk siapa? Dengan semua ini aku bisa menjadi sesama bagi siapa? Lebih maju lagi, dengan menjadi "sesama" ini, bisakah aku makin menjadi jalan bagi sesama itu untuk tahu apa itu "mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap kekuatan dan segenap akalbudi"? Bila orang sampai ke situ, boleh dibayangkan Yesus juga akan menyapanya dengan penuh pengertian, "Sana, jalankanlah!".

Salam hangat,

Romo. A. Gianto, SJ


(sumber renungan: www.mirifica.net)

“Anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula” (Kol 1:15-20; Mzm 100:2-5; Luk 5:33-39)

“Orang-orang Farisi itu berkata pula kepada Yesus: "Murid-murid Yohanes sering berpuasa dan sembahyang, demikian juga murid-murid orang Farisi, tetapi murid-murid-Mu makan dan minum." Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat mempelai laki-laki disuruh berpuasa, sedang mempelai itu bersama mereka? Tetapi akan datang waktunya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa." Ia mengatakan juga suatu perumpamaan kepada mereka: "Tidak seorang pun mengoyakkan secarik kain dari baju yang baru untuk menambalkannya pada baju yang tua. Jika demikian, yang baru itu juga akan koyak dan pada yang tua itu tidak akan cocok kain penambal yang dikoyakkan dari yang baru itu. Demikian juga tidak seorang pun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian, anggur yang baru itu akan mengoyakkan kantong itu dan anggur itu akan terbuang dan kantong itu pun hancur. Tetapi anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula. Dan tidak seorang pun yang telah minum anggur tua ingin minum anggur yang baru, sebab ia akan berkata: Anggur yang tua itu baik." (Luk 5:33-39), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• “Demenyar = demen sing anyar” (suka yang baru), demikian bunyi peribahasa Jawa, yang menggambarkan orang yang senantiasa suka pada apa-apa yang baru, maka yang bersangkutan ketika ada barang baru senantiasa membeli atau mengusahakan. Memang pada umumnya orang bergairah untuk mendapatkan sesuatu yang baru, namun lemah atau kurang dalam merawat atau memelihara yang baru, yang diperolehnya tersebut. “Anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula”, demikian sabda Yesus. Sabda ini kiranya mengajak dan memanggil kita untuk senantiasa memperbaha-rui diri, sesuai dengan motto “ecclesia semper reformanda est” (=Gereja harus selalu diperbaharui). Yang dimaksudkan dengan Gereja adalah kita semua yang beriman kepada Yesus Kristus khususnya, tetapi bolehlah saya juga mengenakan pada seluruh umat beriman. Secara konkret ajakan atau panggilan tersebut antara lain dapat dihayati: (1) sebagai yang telah dibaptis hendaknya hidup dan bertindak sesuai dengan janji baptis, (2) sebagai suami-isteri hendaknya hidup dan bertindak sesuai dengan janji perkawinan, yang berarti laki-laki dan perempuan telah menjadi satu dan bukan dua lagi, maka hendaknya senantiasa diusahakan kesatuan dalam berbagai hal, (3) sebagai anggota lembaga hidup baik, biarawan dan biarawati, hendaknya hidup dan bertindak sesuai dengan karisma pendiri, (4) sebagai imam hendaknya setia menjadi penyalur rahmat Tuhan bagi sesamanya, dst.. Untuk itu semua kiranya dibutuhkan matiraga alias pengendalian nafsu anggota tubuh agar bergerak atau berfungsi sesuai dengan kehendak Ilahi. Hari-hari ini semangat baru, dalam merayakan Idul Fitri, kiranya masih menggema, maka kami berharap semangat tersebut terus diperkembangkan dan diperdalam dalam hidup sehari-hari di kemudian hari.

• “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” (Kol 1:15-16). Yang dimaksudkan dengan ‘Ia’ disini adalah Yesus Kristus. Kita semua yang beriman kepada-Nya dipanggil untuk meneladan-Nya, maka marilah kita mawas diri apakah kita layak menjadi ‘gambar Allah yang tidak kelihatan’. Baiklah kita sadari bahwa masing-masing dari kita diciptakan oleh Allah sesuai dengan gambar atau citra-Nya, namun kiranya dalam perjalanan waktu hal tersebut mengalami erosi atau kemerosotan karena kelalaian atau kesambalewaan kita. Marilah ‘back to basic’, kembali ke jati diri kita yang sejati sebagai gambar atau citra Allah, dan memang untuk itu butuh matiraga. Menjadi gambar atau citra Allah antara lain berarti siapapun yang bertemu, bergaul dan bercakap-cakap dengan kita tergerak untuk semakin mempersembahkan dirinya kepada Allah, semakin suci, semakin beriman. Allah adalah kasih, maka sebagai gambar atau citra Allah berarti hidup dan bertindak dalam serta oleh kasih, yang antara lain menjadi nyata dalam “sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran, menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1Kor 13:4-7).

“Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai! Ketahuilah, bahwa TUHANlah Allah; Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya. Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah nama-Nya! Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun” (Mzm 100:2-5)


Jumat, 2 September 2011


Romo Ign Sumarya, SJ

"Jangan takut mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia." (Kol 1:9-14; Mzm 98:2-6; Luk 5:1-11)


“ Pada suatu kali Yesus berdiri di pantai danau Genesaret, sedang orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Allah. Ia melihat dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya telah turun dan sedang membasuh jalanya. Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia supaya menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu. Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan." Simon menjawab: "Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga." Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam. Ketika Simon Petrus melihat hal itu ia pun tersungkur di depan Yesus dan berkata: "Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa." Sebab ia dan semua orang yang bersama-sama dengan dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap; demikian juga Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon. Kata Yesus kepada Simon: "Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia." Dan sesudah mereka menghela perahu-perahunya ke darat, mereka pun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus.” (Luk 5:1-11), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• Hidup terpanggil menjadi imam, bruder atau suster maupun aneka jabatan atau fungsi dalam hidup dan kerja bersama hemat saya merupakan pengembangan dan pendalaman aneka bakat dan keterampilan alias anugerah Tuhan yang kita terima dalam kehidupan masa kanak-kanak dan remaja kita di dalam keluarga maupun masyarakat. Mereka yang pada masa dewasanya menjadi imam, bruder atau suster ataupun pejabat dan pegawai rajin, tekun, bekerja keras, disiplin, cermat, kreatif, proaktif, dst…pada umumnya sifat-sifat tersebut telah dididikkan atau dibiasakan oleh orangtua maupun lingkungan hidupnya. Itulah yang terjadi dalam diri para rasul dari penjala ikan ditingkatan menjadi penjala manusia. Sabda hari ini mengingatkan dan mengajak kita semua untuk senantiasa mengutamakan atau mengedepankan keselamatan jiwa manusia dalam cara hidup dan cara bertindak kita dimanapun dan kapanpun. Maka marilah kita fungsikan bakat, keterampilan serta kecerdasan kita untuk hidup dan bekerja demi keselamatan jiwa manusia. Kepada para pengusaha atau mereka yang mempekerjakan manusia kami harapkan sungguh memperhatikan keselamatan jiwa mereka; ingatlah dan hayati bahwa semakin mereka, para pekerja, semakin selamat dan sejahtera hidupnya berarti akan semakin sukses pula usaha anda. Hendaknya aneka macam usaha dan kesibukan senantiasa lebih mengutamakan keselamatan jiwa manusia daripada aneka macam sarana-prasarana lainnya. Dekati dan sikapi setiap manusia secara manusiawi serta cinta dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan tenaga/kekuatan.

“Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih; di dalam Dia kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa.” (Kol 1:13-14). Kutipan ini kiranya mengingatkan kita semua yang telah dibaptis, yaitu telah dipersatukan dengan Yesus Kristus alias menjadi sahabat-sahabat Yesus Kristus, hidup dan bertindak dengan menghayati sabda-sabda serta meneladan cara hidup dan cara bertindak-Nya. Dengan kata lain kita diharapkan hidup dalam ‘terang’, yang antara lain memiliki cirikhas jujur, transparan, terbuka, disiplin, tertib, teratur dst.. ; kemanapun kita pergi atau dimanapun kita berada senantiasa menerangi saudara-saudari kita, menjadi fasilitator bagi mereka, dst.. Maka marilah kita mawas diri apakah kita sungguh hidup dalam ‘terang’, senantiasa berbuat baik kepada sesama, serta tidak pernah mengewakan mereka. Hidup dalam terang juga berarti hidup dijiwai oleh Roh Kudus, sehingga kita memiliki dan menghayati keutamaan-keutamaan seperti “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22-23), sedangkan hidup dalam kegelapan berarti dijiwai oleh roh jahat atau setan, sehingga suka melakukan apa yang jahat, seperti “percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya” (Gal 5:19-21). Kami harapkan hidup dalam ‘terang’ sedini mungkin dibiasakan atau dididikkan bagi anak-anak di dalam keluarga dengan teladan konkret dari orangtua atau bapak-ibu.

“TUHAN telah memperkenalkan keselamatan yang dari pada-Nya, telah menyatakan keadilan-Nya di depan mata bangsa-bangsa.Ia mengingat kasih setia dan kesetiaan-Nya terhadap kaum Israel, segala ujung bumi telah melihat keselamatan yang dari pada Allah kita.Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi, bergembiralah, bersorak-sorailah dan bermazmurlah! Bermazmurlah bagi TUHAN dengan kecapi, dengan kecapi dan lagu yang nyaring, dengan nafiri dan sangkakala yang nyaring bersorak-soraklah di hadapan Raja, yakni TUHAN!” (Mzm 98:2-6)


Kamis, 1 September 2011



Romo Ign Sumarya, SJ

Romo Josephus Wiharjono SJ, Spesialis Pelayanan Pastoral Pedesaaan


oleh Mathias Hariyadi


JAM baru menunjukkan pukul 11.00 menjelang tengah hari, ketika Toyota Hilux yang gagah perkasa menerobos masuk jalanan becek sempit ke kampung Taom, sebuah stasi udik sekitar 60 km dari Siem Reap, Kamboja. Perbincangan Sesawi.Net dengan Romo Stephanus “Panus” Winarta SJ –sang sopir Hilux—menghangat ketika berbincang mengenai Gereja Paroki St. Isidorus di Sukorejo, Weleri—tempat Romo Panus pernah berkarya selama 3 tahun sebelum akhirnya menjadi “misionaris” di Kamboja.

Salah satu bahan perbincangan tentu saja menyangkut hal-ikhwal Romo Josephus Wiharjono SJ yang pernah dikenal penulis ketika mengunjungi Paroki Sukorejo tahun 1985 untuk sebuah penelitian pastoral. Pun pula Romo Panus yang selalu mengingat Paroki Sukorejo –terutama Stasi Gemuh—yang berlokasi di dalam hutan dimana Suzuki Katana pastoran pernah berjalan tertatih-tatih menerobos jalanan super sempit agar tak masuk jurang.

Tentang Paroki St. Isidorus di Sukorejo di Kabupaten Kendal itulah, kami berdua lantas membicarakan Romo Josephus Wiharjono, pastur Yesuit berperawakan mungil pun murah senyum yang selalu mendapat tugas pelayanan pastoral spesialis permukiman udik.

“Ngrasani” romo yang akan meninggal

Ternyata 10 jam kemudian usai perbincangan di Taom, Siem Reap, Romo Wiharjono SJ diberitakan baru saja meninggal dunia karena sakit di RS Elizabeth Semarang. Pengalaman sama juga dicurahkan oleh Romo Ignatius Sumarya SJ, Rektor Seminari Menengah Mertoyudan. Sesaat setelah menyebut almarhum Romo Dr. Ignatius Wibowo SJ dalam doa umat di Kapel Kolese Kanisius beberapa bulan silam, demikian ‘isi curhatan’ Romo Maryo, ternyata beberapa menit kemudian romo spesialis studi China itu meninggal dunia.

“Selesai kotbah, saya mengaja umat ikut mendoakan Romo Bowo (saat itu tengah sakit keras) dan tiba-tiba saja kepada saya disodorkan secarik kertas oleh koster Kanisius. Beritanya mengejutkan: Romo Bowo baru saja dipanggil Tuhan. Waktunya kurang lebih sama ketika saya mendoakannya,” tulis Romo Maryo di milis intern eks Jesuit Indonesia.

Selasa (30/8) malam 2011, sambung Romo Maryo, bersama empat orang Nostri (para yesuit) yang berkarya di Seminari Mertoyudan mereka lagi ngrasani para rekan yesuit yang lagi terbaring sakit. “Salah satu orang yang kami bicarakan adalah Romo Wiharjono yang banyak penyakit yang besar kemungkinan tidak bisa disembuhkan,” tuturnya dalam milis Sesawi.

“Selesai makan malam, saya membuka email dan ternyata muncul berita lelayu: Romo Wiharjono dipanggil Tuhan persis ketika kami selesai membicarakannya di kamar makan,” tulis Romo Maryo.

Kenangan lama

20 tahun silam adalah perjalanan waktu sangat lama. Namun, kata Heri Siswanto, kisah kenangan lama itu sepertinya baru terjadi kemarin sore. Saat itu, kata Heri yang asli Kendal ini, almarhum Romo Wiharjono datang menengok ayahnya yang lagi sakit keras. Kedatangan Romo Wi –begitu romo spesialis pelayanan pastoral di pedesaaan ini biasa dipanggil—untuk memberi Sakramen Perminyakan Suci kepada ayahnya.

“Yesus datang ke dunia untuk menengok anak-anakNya yang lagi berziarah di Bumi. Pada saat Ia kembali ke Surga, Ia menyiapkan kamar abadi untuk kita sesuai dengan nama masing-masing agar di saat kita pulang, kita tidak tersesat,” demikian kata Romo Wi di depan ayahnya yang sakit keras.

Malam harinya, tambah Heri Siswanto, ayahnya membisiki dia. “Le, aku wis siap; kabeh cekelan, jimat wis ucul kabeh. Ora ono anakku sing marisi. Saiki gur Gusti sing dadi nggon sumelehe bapakmu,” kata Heri mengenang kata-kata akhir sebelum ayahnya meninggal.

Pagi dini harinya, ayahnya meninggal dengan wajah tersenyum.

“Saya ingat betul. Tidak ada kesedihan di hatiku. Karena aku percaya, ada kamar di rumahNya yang telah disediakan untuk ayahku. Kini, satu kamar di surga terisi lagi oleh jiwa putera Sang Inigo,” tulis Heri Siswanto di milis Sesawi.

“Selamat jalan Romo Wi. Salam saya untuk Bapak. Romo pasti ketemu dia, karena ia menyambut untuk mengucapkan terima kasih atas Sakramen Minyak Sucimu. Aku berdoa dari sini. Dalam jarak dan waktu yang berbeda.. Namun disatukan oleh kasihNya yang melampaui ruang dan waktu,” tulis Yulis Heri Siswanto mengenang almarhum Romo Josephus Wiharjono SJ.

Jejak harum mewangi

Romo Wi memang jauh dari pemberitaan. Pun pula tak banyak orang mengenal Romo Wi, selain orang-orang desa di permukiman udik seperti Gereja Paroki St. Isidorus Sukorejo di Weleri, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Namun, harum semerbak bunga mewangi yang ditaburkan almarhum Romo Wi tidak hanya tercium di Sukorejo. Jejak-jejak langkah Romo Wi menabur bunga harum dan kasih juga membekas kuat di Pulau Buru, Maluku dimana Romo Wi bertahun-tahun merintis berdirinya Paroki Katolik di Namlea, Pulau Buru bersama para tahanan politik G30S/PKI.



Jejak-jejak karya pastoral almarhum Romo Wi tercium harum di Namlea, ketika Sesawi.Net tinggal menetap di Namlea, Pulau Buru, tahun 1996. “Dia tak hanya sekedar pastur untuk para umat dan tahanan politik di Pulau Buru. Lebih dari itu, Romo Wi adalah bapak untuk kami-kami semua,” tutur Yuli Setyawati, perempuan muda katolik di Namlea waktu itu.

Setelah lama berkarya di Keuskupan Amboina di Maluku, jejak-jejak harum Romo Wi juga tercium di Papua dimana Serikat Yesus memulai karya pastoralnya di Bumi Papua. Sebagai pionir merintis karya, maka Romo Wi menjadi andalan utama Serikat Jesus untuk menyiapkan jalan pastoral itu.

Tak berkibar di panggung nasional tentu saja bukan masalah bagi almarhum Romo Wi. Karena yang beliau hayati di kehidupan fana ini tak lain adalah melayani Tuhan dan sesama dengan semangat pengorbanan dan cinta kasih. Romo Wi dalam usianya 62 tahun telah menoreh jejak-jejak harum itu demi semangat AMDG (ad maiorem Dei gloriam).

Kamis, 1 September 2011 pukul 10.00, jenazah Romo Josephus Wiharjono SJ akan didoakan dalam misa requiem di Gereja Paroki Stanislaus Girisonta, Karangjati, Ungaran. Jejak-jejak harum almarhum Romo Wi akan dimateraikan di pusara Getsemani Emmaus Girisonta. Requiescat in pace.

Mathias Hariyadi, penulis dan anggota Redaksi Sesawi.Net.

Berita Duka

RIP

Rm. J. Wiharjono, SJ

Wafat 30 Agustus 2011 di RS Elisabeth
Misa Requiem 1 September 2011 di Gereja St. Stanislaus Girisonta dan akan dimakamkan di Girisonta.

Beliau pernah berkarya di Gereja St Antonius Purbayan (tahun 2002 - 1 Februari 2004), kemudian berpindah tugas di Sorong dan terakhir berkarya di KPTT Salatiga.

Turut belasungkawa, selamat jalan, selamat kembali ke rumah Bapa di surga

"Jangan takut mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia." (Kol 1:9-14; Mzm 98:2-6; Luk 5:1-11)


“ Pada suatu kali Yesus berdiri di pantai danau Genesaret, sedang orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Allah. Ia melihat dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya telah turun dan sedang membasuh jalanya. Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia supaya menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu. Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan." Simon menjawab: "Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga." Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam. Ketika Simon Petrus melihat hal itu ia pun tersungkur di depan Yesus dan berkata: "Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa." Sebab ia dan semua orang yang bersama-sama dengan dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap; demikian juga Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon. Kata Yesus kepada Simon: "Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia." Dan sesudah mereka menghela perahu-perahunya ke darat, mereka pun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus.” (Luk 5:1-11), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
• Hidup terpanggil menjadi imam, bruder atau suster maupun aneka jabatan atau fungsi dalam hidup dan kerja bersama hemat saya merupakan pengembangan dan pendalaman aneka bakat dan keterampilan alias anugerah Tuhan yang kita terima dalam kehidupan masa kanak-kanak dan remaja kita di dalam keluarga maupun masyarakat. Mereka yang pada masa dewasanya menjadi imam, bruder atau suster ataupun pejabat dan pegawai rajin, tekun, bekerja keras, disiplin, cermat, kreatif, proaktif, dst…pada umumnya sifat-sifat tersebut telah dididikkan atau dibiasakan oleh orangtua maupun lingkungan hidupnya. Itulah yang terjadi dalam diri para rasul dari penjala ikan ditingkatan menjadi penjala manusia. Sabda hari ini mengingatkan dan mengajak kita semua untuk senantiasa mengutamakan atau mengedepankan keselamatan jiwa manusia dalam cara hidup dan cara bertindak kita dimanapun dan kapanpun. Maka marilah kita fungsikan bakat, keterampilan serta kecerdasan kita untuk hidup dan bekerja demi keselamatan jiwa manusia. Kepada para pengusaha atau mereka yang mempekerjakan manusia kami harapkan sungguh memperhatikan keselamatan jiwa mereka; ingatlah dan hayati bahwa semakin mereka, para pekerja, semakin selamat dan sejahtera hidupnya berarti akan semakin sukses pula usaha anda. Hendaknya aneka macam usaha dan kesibukan senantiasa lebih mengutamakan keselamatan jiwa manusia daripada aneka macam sarana-prasarana lainnya. Dekati dan sikapi setiap manusia secara manusiawi serta cinta dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan tenaga/kekuatan.

• “Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih; di dalam Dia kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa.” (Kol 1:13-14). Kutipan ini kiranya mengingatkan kita semua yang telah dibaptis, yaitu telah dipersatukan dengan Yesus Kristus alias menjadi sahabat-sahabat Yesus Kristus, hidup dan bertindak dengan menghayati sabda-sabda serta meneladan cara hidup dan cara bertindak-Nya. Dengan kata lain kita diharapkan hidup dalam ‘terang’, yang antara lain memiliki ciri khas jujur, transparan, terbuka, disiplin, tertib, teratur dst.. ; kemanapun kita pergi atau dimanapun kita berada senantiasa menerangi saudara-saudari kita, menjadi fasilitator bagi mereka, dst.. Maka marilah kita mawas diri apakah kita sungguh hidup dalam ‘terang’, senantiasa berbuat baik kepada sesama, serta tidak pernah mengewakan mereka. Hidup dalam terang juga berarti hidup dijiwai oleh Roh Kudus, sehingga kita memiliki dan menghayati keutamaan-keutamaan seperti “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22-23), sedangkan
hidup dalam kegelapan berarti dijiwai oleh roh jahat atau setan, sehingga suka melakukan apa yang jahat, seperti “percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya” (Gal 5:19-21). Kami harapkan hidup dalam ‘terang’ sedini mungkin dibiasakan atau dididikkan bagi anak-anak di dalam keluarga dengan teladan konkret dari orangtua atau bapak-ibu.

“TUHAN telah memperkenalkan keselamatan yang dari pada-Nya, telah menyatakan keadilan-Nya di depan mata bangsa-bangsa.Ia mengingat kasih setia dan kesetiaan-Nya terhadap kaum Israel, segala ujung bumi telah melihat keselamatan yang dari pada Allah kita.Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi, bergembiralah, bersorak-sorailah dan bermazmurlah! Bermazmurlah bagi TUHAN dengan kecapi, dengan kecapi dan lagu yang nyaring, dengan nafiri dan sangkakala yang nyaring bersorak-soraklah di hadapan Raja, yakni TUHAN!” (Mzm 98:2-6)

Kamis, 1 September 2011

Romo Ign Sumarya, SJ

“Yesus berangkat dan pergi ke suatu tempat yang sunyi” ( Kol 1:1-8; Mzm 52:10-11; Luk 4:38-44)

“Kemudian Ia meninggalkan rumah ibadat itu dan pergi ke rumah Simon. Adapun ibu mertua Simon demam keras dan mereka meminta kepada Yesus supaya menolong dia. Maka Ia berdiri di sisi perempuan itu, lalu menghardik demam itu, dan penyakit itu pun meninggalkan dia. Perempuan itu segera bangun dan melayani mereka. Ketika matahari terbenam, semua orang membawa kepada-Nya orang-orang sakitnya, yang menderita bermacam-macam penyakit. Ia pun meletakkan tangan-Nya atas mereka masing-masing dan menyembuhkan mereka. Dari banyak orang keluar juga setan-setan sambil berteriak: "Engkau adalah Anak Allah." Lalu Ia dengan keras melarang mereka dan tidak memperbolehkan mereka berbicara, karena mereka tahu bahwa Ia adalah Mesias. Ketika hari siang, Yesus berangkat dan pergi ke suatu tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mencari Dia, lalu menemukan-Nya dan berusaha menahan Dia supaya jangan meninggalkan mereka. Tetapi Ia berkata kepada mereka: "Juga di kota-kota lain Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus." Dan Ia memberitakan Injil dalam rumah-rumah ibadat di Yudea” (Luk 4:38-44), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

Ketika orang sukses dalam hidup dan kerja serta menerima pujian banyak orang atas kesuksesannya, maka dan kemungkinan orang lupa pada jati diri, entah pribadi maupun tugas panggilannya. Itulah kiranya yang dialami oleh Yesus, ketika Ia membuat banyak mukjizat dapat terjadi kesalahpahaman di antara para pendengar atau pengikut-Nya. Para pendengar atau pengikut-Nya belum sepenuhnya dapat memahami dan menerima Dia sebenarnya, maka ketika setan membuka jati diri-Nya yang sebenarnya Yesus merasa ‘tidak aman’. “Tidak aman” yang kami maksudkan adalah Yesus akan dibatasi ruang gerak dan pelayanan-Nya, yaitu sebagai orang sakti atau ‘dukun’, padahal Ia memiliki tugas pengutusan untuk ‘memberitakan Injil Kerajaan Allah’. Maka Ia berusaha menyendiri untuk berdoa guna mempertahakan dan memperteguh jati diri-Nya sebagai ‘pemberita Injil Kerajaan Allah’. Kami mengajak dan mengingatkan kita semua untuk mawas diri perihal jatidiri kita masing-masing. Pada hari-hari libur dalam rangka merayakan Idul Fitri ini kiranya kita juga meninggalkan tugas pekerjaan kita sehari-hari, entah tugas belajar atau bekerja, dan bertemu dengan sanak-saudara dan handai-taulan. Dalam kesempatan macam ini kiranya masing-masing dari kita menyadari diri sebagai cucu, anak, orangtua atau kakek-nenek. Maka baiklah hal ini kita hayati sebagai kesempatan untuk memperteguh dan memperkuat jati diri kita sebagai cucu, anak, orangtua atau kakek-nenek, serta menyadari dan menghayati tugas dan fungsi masing-masing dalam kehidupan bersama atau membangun dan memperdalam persaudaraan/persahabatan sejati, sehingga kebersamaan hidup dapat menjadi ‘warta gembira’ bagi siapapun. Marilah kita hayati bahwa kita bertemu dengan saudara dan handai-taulan sebagai kesempatan untuk saling menggembirakan dan menyelamatkan.

• “Kami selalu mengucap syukur kepada Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, setiap kali kami berdoa untuk kamu, karena kami telah mendengar tentang imanmu dalam Kristus Yesus dan tentang kasihmu terhadap semua orang kudus, oleh karena pengharapan, yang disediakan bagi kamu di sorga.” (Kol 1:3-5a). Marilah kita meneladan Paulus yang ‘selalu mengucap syukur kepada Allah’ serta berdoa bagi saudara-saudari dan handai-taulan kita. Kita bersyukur dan berterima kasih kepada Allah, karena kita telah dianugerahi hidup serta aneka macam sarana-prasarana yang kita butuhkan untuk hidup dan kerja kita. Dalam keadaan atau kondisi dan situasi apapun hendaknya senantiasa bersyukur dan berterima kasih kepada Allah, dan tentu saja syukur dan terima kasih ini kita wujudkan terhadap saudara-saudari kita, sehingga kita saling bersyukur dan berterima kasih satu sama lain. “Saat sukses kita bersyukur, saat gagal pun kita bersyukur. Sesungguhnya kekayaan dan kebahagiaan sejati ada di dalam rasa bersyukur” (Andrie Wongso). Syukur kita terhadap sesama dapat kita wujudkan dengan berbuat baik kepada mereka dalam situasi dan kondisi apapun dan dimanapun, entah dengan memperhatikan, membantu atau mendoakan. Kita juga dipanggil untuk saling mendoakan, maka baiklah di masa liburan Idul Fitri ini kalau tidak mungkin bertemu dengan saudara dan handai-taulan, entah karena tugas, kesibukan atau alasan lain, marilah kita mendoakannya. Orangtua atau kakek-nenek mendoakan anak-anak atau cucu-cucunya, sebaliknya anak-anak atau cucu-cucu mendoakan orangtua atau kakek-neneknya. Kebiasaan berdoa dan saling mendoakan di masa Puasa atau bulan suci hendaknya terus ditingkatkan dan diperdalam di dalam kesibukan sehari-hari. Ingatlah dan hayati bahwa berdoa merupakan salah satu cirikhas hidup beragama atau beriman.

“Aku ini seperti pohon zaitun yang menghijau di dalam rumah Allah; aku percaya akan kasih setia Allah untuk seterusnya dan selamanya. Aku hendak bersyukur kepada-Mu selama-lamanya, sebab Engkaulah yang bertindak; karena nama-Mu baik, aku hendak memasyhurkannya di depan orang-orang yang Kaukasihi!” (Mzm 52:10-11)

Rabu, 31 Agustus 2011

Romo Ign Sumarya, SJ

"Alangkah hebatnya perkataan ini!” ( 1Tes 5:1-6.9-11; Mzm 27:1.4.13-14; Luk 4:31-37)

“Kemudian Yesus pergi ke Kapernaum, sebuah kota di Galilea, lalu mengajar di situ pada hari-hari Sabat. Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab perkataan-Nya penuh kuasa. Di dalam rumah ibadat itu ada seorang yang kerasukan setan dan ia berteriak dengan suara keras: "Hai Engkau, Yesus orang Nazaret, apa urusan-Mu dengan kami? Engkau datang hendak membinasakan kami? Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah." Tetapi Yesus menghardiknya, kata-Nya: "Diam, keluarlah dari padanya!" Dan setan itu pun menghempaskan orang itu ke tengah-tengah orang banyak, lalu keluar dari padanya dan sama sekali tidak menyakitinya. Dan semua orang takjub, lalu berkata seorang kepada yang lain, katanya: "Alangkah hebatnya perkataan ini! Sebab dengan penuh wibawa dan kuasa Ia memberi perintah kepada roh-roh jahat dan mereka pun keluar." Dan tersebarlah berita tentang Dia ke mana-mana di daerah itu” (Luk 4:31-37), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• Orang yang banyak kerja dan sedikit bicara pada umumnya apa yang dikatakan sungguh bermakna dan berkuasa, sebaliknya orang yang banyak bicara sedikit bekerja maka apa yang dikatakan bagaikan angin berlalu saja. Kata-kata yang keluar sungguh bermakna dan berkuasa, karena apa yang dikatakan pada umumya juga dihayati, dengan kata lain kata-kata yang keluar dari mulutnya merupakan luapan isi hati dan pengalamannya. Itulah kiranya yang terjadi dalam diri Yesus Penyelamat Dunia: sabda-Nya dengan penuh wibawa mengusir setan atau roh jahat, sehingga mereka yang menyaksikan-Nya berkata “Alangkah hebatnya perkataan ini! Sebab dengan penuh wibawa dan kuasa Ia memberi perintah kepada roh-roh jahat dan mereka pun keluar”. Kita semua yang beriman kepadaNya dipanggil untuk meneladan-Nya, maka marilah dengan bantuan rahmatNya kita dengan rendah hati berusaha. Hendaknya dalam berkata-kata tidak asal-asalan saja, melainkan kata yang keluar melalui mulut sungguh merupakan luapan isi hati yang beriman, sehingga kata-kata tersebut merupakan bisikan Roh Kudus. Kata-kata yang dijiwai oleh Roh Kudus, sebagaimana yang disampaikan oleh para gembala kita, Paus maupun Uskup bewibawa dan berkuasa mempengaruhi atau menjiwai cara hidup dan cara bertindak kita. Untuk itu kita harus tidak melupakan hidup doa, meditasi atau kontemplasi, merenungkan sabda-sabda Tuhan sebagaimana tertulis di dalam Kitab Suci. Biarlah sabda Tuhan akhirnya juga menjadi milik kita, sehingga kata-kata yang keluar dari mulut kita juga merupakan ‘sabda Tuhan’.

• “Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, yang sudah mati untuk kita, supaya entah kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup bersama-sama dengan Dia. Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan.” (1Tes 5:9-11). Sebagai sesama umat beriman kita dipanggil untuk saling menasihati, yang berarti saling bertukaran atau membagi pengalaman iman. Secara kebetulan hari ini adalah Hari Raya Idul Fitri, hari kemenangan bagi saudara-saudari kita yang baru saja selesai menghayati puasa dalam waktu satu bulan. Hari ini kiranya kita juga terlibat dalam saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan menceriterakan pengalaman iman, apalagi bagi kita yang sudah cukup lama tidak bertemu dengan saudara-saudari atau handai-taulan. Kami percaya dalam saling memberi salam, bertemu dan bercakap-cakap di hari raya hari ini, kita saling menyampaikan pengalaman yang baik, sehingga terjadilah persaudaraan sejati yang mempesona, menarik dan memikat. Maka kami berharap pengalaman hari ini tidak berlalu begitu saja, melainkan terus menerus diperdalam dan diperkembangkan dalam hidup sehari-hari di kemudian hari. Marilah kita bangun, perdalam dan perkembangkan persaudaraan umat beriman, antar agama, dalam cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari dimanapun dan kapanpun. Allah menghendaki kita tidak akan ditimpa malapetaka atau celaka, melainkan bahagia dan selamat, maka hendaknya kita saling membahagiakan dan menyelamatkan. Kepada saudara-saudari kita yang suka menyendiri, kami harapkan untuk membuka diri dan bergaul dengan saudara-saudari yang lain. Ingatlah jika kita hidup menyendiri pasti akan celaka atau menemui malapetaka. Kebersamaan hidup yang dijiwai oleh cinta kasih akan merupakan cara merasul tersendiri, maka marilah kita bangun kebersamaan hidup dimanapun kita berada.

“Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup! Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!” (Mzm 27:13-14)

”SELAMAT IDUL FITRI, 1 SYAWAL 1432 H”

Selasa, 30 Agustus 2011

Romo Ignatius Sumarya, SJ

“Tidak halal engkau mengambil isteri saudaramu!” (Yer. 1:17-19; Mzm. 71:1-2,3-4a,5-6ab,15ab,17; Mrk. 6:17-29)

“Memang Herodeslah yang menyuruh orang menangkap Yohanes dan membelenggunya di penjara berhubung dengan peristiwa Herodias, isteri Filipus saudaranya, karena Herodes telah mengambilnya sebagai isteri. Karena Yohanes pernah menegor Herodes: "Tidak halal engkau mengambil isteri saudaramu!" Karena itu Herodias menaruh dendam pada Yohanes dan bermaksud untuk membunuh dia, tetapi tidak dapat, sebab Herodes segan akan Yohanes karena ia tahu, bahwa Yohanes adalah orang yang benar dan suci, jadi ia melindunginya. Tetapi apabila ia mendengarkan Yohanes, hatinya selalu terombang-ambing, namun ia merasa senang juga mendengarkan dia. Akhirnya tiba juga kesempatan yang baik bagi Herodias, ketika Herodes pada hari ulang tahunnya mengadakan perjamuan untuk pembesar-pembesarnya, perwira-perwiranya dan orang-orang terkemuka di Galilea. Pada waktu itu anak perempuan Herodias tampil lalu menari, dan ia menyukakan hati Herodes dan tamu-tamunya. Raja berkata kepada gadis itu: "Minta dari padaku apa saja yang kauingini, maka akan kuberikan kepadamu!", lalu bersumpah kepadanya: "Apa saja yang kauminta akan kuberikan kepadamu, sekalipun setengah dari kerajaanku!" Anak itu pergi dan menanyakan ibunya: "Apa yang harus kuminta?" Jawabnya: "Kepala Yohanes Pembaptis!" Maka cepat-cepat ia pergi kepada raja dan meminta: "Aku mau, supaya sekarang juga engkau berikan kepadaku kepala Yohanes Pembaptis di sebuah talam!" Lalu sangat sedihlah hati raja, tetapi karena sumpahnya dan karena tamu-tamunya ia tidak mau menolaknya. Raja segera menyuruh seorang pengawal dengan perintah supaya mengambil kepala Yohanes. Orang itu pergi dan memenggal kepala Yohanes di penjara. Ia membawa kepala itu di sebuah talam dan memberikannya kepada gadis itu dan gadis itu memberikannya pula kepada ibunya. Ketika murid-murid Yohanes mendengar hal itu mereka datang dan mengambil mayatnya, lalu membaringkannya dalam kuburan.” (Mrk 6:17-29), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan dalam rangka mengenangkan pesta St. Yohanes Pembaptis hari ini, saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• Mereka yang memiliki jabatan strategis dalam hidup dan kerja bersama, entah dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara maupun menggereja, sering dengan mudah memanfaatkan kuasa atau wewenangnya untuk melakukan korupsi alias merampas hnk orang lain seenaknya. Itulah yang juga dilakukan oleh Herodes, raja, yang gila harta benda, jabatan dan kehormatan duniawi, merampas isteri saudaranya. Memang orang yang berkedudukan dan kaya akan harta benda sering dengan mudah untuk menyeleweng dan berselingkuh. Hari ini kita kenangkan St. Yohanes Pembaptis, yang dengan berani menegor Herodes, karena ia merampas isteri saudaranya. Sikap mental kenabian itulah yang hendaknya kita hayati sebagai orang beriman, meneladan St. Yohanes Pembaptis. Bentuk perampasan hak orang lain pada masa kini yang sungguh memprihatinkan ialah korupsi. Korupsi adalah tindakan pembusukan hidup bersama, maka masyarakat, bangsa atau Negara yang masih sarat dengan korupsi berarti busuk alias tidak sedap. Marilah kita hayati panggilan kenabian kita dengan tidak melakukan korupsi sedirkitpun berani memberantas korupsi dalam lingkungan hidup dan kerja kita. Memang untuk itu ada kemungkinan kita akan dibenci atau disingkirkan seperti Yohanes Pembaptis. Sekali lagi saya ingatkan dan ajak para pengelola dan pelaksana pendidikan di sekolah untuk memberlakukan ‘dilarang menyontek dalam ulangan maupun ujian’ bagi para peserta didik. Menyontek merupakan pendidikan korupsi, maka membiarkan para peserta didik berarti mendidik atau melatih mereka untuk berkorupsi alias melanggengkan korupsi yang masih marak pada masa kini. Sungguh memprihatinkan bahwa mereka yang berjanji untuk melayani dan memperjuangkan rakyat melakukan korupsi, seperti para anggota DPR maupun para pejabat pemerintah. Departemen Agama dan Departemen Pendidikan, yang seharusnya membina rakyat agar berbudi pekerti luhur, juga tak lepas dari korupsi, atau bahkan jika dicermati secara teliti hemat saya di dalam dua departemen inilah tindakan korupsi yang paling besar

• “Engkau ini, baiklah engkau bersiap, bangkitlah dan sampaikanlah kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadamu. Janganlah gentar terhadap mereka, supaya jangan Aku menggentarkan engkau di depan mereka!” (Yer 1:17), demikian firman Tuhan kepada Yeremia. Yeremia adalah nabi, tugas dan panggilan seorang nabi adalah meneruskan atau menyampaikan kebenaran-kebenaran yang telah diterima dari Allah alias menjadi ‘corong/suara kehendak Allah’. Kehendak Allah dalam hidup dan kerja kita sehari-hari antara lain diterjemahkan ke dalam aneka tata tertib yang terkait dengan panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing,maka marilah kita hayati atau laksanakan tata tertib yang terkait dengan panggilan dan tugas pengutusan pribadi kita dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan tubuh/tenaga. Pertama-tama dan terutama saya pribadi harus menjadi saksi penghayatan tata tertib, sehingga layak disebut sebagai pribadi tertib, jujur dan disiplin dalam hidup dan kerja. Jika saya demikian adanya maka saya tidak akan takut dan tidak gentar untuk menyuarakan kebenaran-kebenaran, mengingatkan saudara-saudari kita akan taat dan setia pada tata tertib. Sekali lagi saya mengingatkan dan mengajak para orangtua untuk sedini mungkin mendidik dan membina anak-anak untuk tertib, jujur dan disiplin dalam hidup sehari-hari, dan tentu saja dengan teladan konkret orangtua atau bapak-ibu sendiri. Bapak-ibu hendaknya menjadi teladan kesetiaan pada janji perkawinan, dengan setia saling mengasihi satu sama lain, baik dalam sehat maupun sakit, untung atau malang
sampai mati.

“Pada-Mu, ya TUHAN, aku berlindung, janganlah sekali-kali aku mendapat malu. Lepaskanlah aku dan luputkanlah aku oleh karena keadilan-Mu, sendengkanlah telinga-Mu kepadaku dan selamatkanlah aku! Jadilah bagiku gunung batu, tempat berteduh, kubu pertahanan untuk menyelamatkan aku; sebab Engkaulah bukit batuku dan pertahananku. Ya Allahku, luputkanlah aku dari tangan orang fasik” (Mzm 71:1-4a)


Senin, 29 Agustus 2011


Romo Ign Sumarya, SJ