Perbedaannya: Maria, Maria, dan Maria
Sering kita mendengar, bahwa tiga hal yang paling membedakan antara kita umat Katolik dengan saudara- saudari kita yang Kristen non- Katolik, adalah ajaran tentang Maria, Maria, dan Maria. Sesungguhnya ini adalah fakta yang cukup ironis, justru karena seharusnya Bunda Maria dapat mempersatukan kita sebagai satu saudara. Mengapa? Karena melalui rahmat Pembaptisan yang satu (lih. Ef 4:5) kita dijadikan anak- anak angkat Allah di dalam Kristus (lih. Ef 1:4-5), dan oleh karena itu, kalau Bunda Maria adalah Bunda Kristus, maka ia adalah Bunda kita juga. Ya, Maria adalah Bunda Gereja, ibu rohani bagi semua umat beriman.
1. Dasar penghormatan umat Katolik: Maria adalah Bunda Allah dan Hawa yang baru
Jadi dasar penghormatan umat Katolik kepada Bunda Maria adalah, karena Tuhan telah terlebih dahulu memilihnya sebagai Bunda Allah; sebab Kristus yang dikandung dan dilahirkannya adalah Allah. Itulah sebabnya di dalam Kitab Suci, Maria disebut sebagai Bunda Allah (lih. Luk 1:43, 35, Gal 4:4). Jika kita merenungkan bagaimana malaikat Tuhan menyapa Bunda Maria pada saat ia memberitakan kabar suka cita, kita akan melihat betapa Allah sendiri -melalui malaikat utusan-Nya- menghormati Maria, dengan menyapanya, “Hail, full of grace/ Salam, hai engkau yang dikaruniai” (Luk 1:28). Kata aslinya menurut Vulgate adalah kecharitomene, yang lebih tepat untuk diterjemahkan sebagai “Salam, hai engkau yang penuh rahmat”. Sapaan semacam ini tidak pernah ditujukan kepada tokoh manapun di dalam Alkitab. Dan kata “penuh rahmat” ini menjadi salah satu dasar yang dipandang oleh para Bapa Gereja untuk mengatakan bahwa sudah sejak awal hidupnya dalam kandungan ibunya, Maria sudah dipenuhi dengan rahmat Allah. Oleh karena tugas yang diembannya sebagai Bunda Allah, maka Maria dibebaskan dari noda dosa.
Nah, selanjutnya, karena Maria adalah Bunda yang melahirkan Kristus Sang Hidup (Yoh 14:6), yang memberi hidup kepada dunia (Yoh 6:33), maka Bunda Maria juga secara tidak langsung berperan serta dalam memberikan Hidup kepada dunia.[1]. Dengan demikian, Maria menyempurnakan arti kata ‘Hawa’ yang artinya ibu dari segala yang hidup”mother of the living“/ ibu dari segala yang hidup. Maria adalah Sang Hawa yang baru, yang daripadanya lahir Sang Hidup, yang memberikan hidup yang kekal. Maka peran Maria sebagai Hawa yang baru mendukung peran Kristus sebagai Adam yang baru (lih. Rom 5:12-21). Rasul Paulus membandingkan Adam dengan Kristus, pada saat mengatakan bahwa oleh ketidaktaatan satu orang [Adam], semua orang telah jatuh dalam kuasa maut; dan karenanya oleh ketaatan satu orang [Kristus] semua orang beroleh hidup yang kekal. Mengambil prinsip yang sama, St. Irenaeus (180) membandingkan Hawa dengan Maria sebagai Hawa yang baru, “Ikatan ketidaktaatan Hawa dilepaskan oleh ketaatan Maria. Apa yang terikat oleh ketidakpercayaan Hawa dilepaskan oleh iman Maria.”[2] Ikatan ketidak-taatan di sini maksudnya adalah belenggu dosa yang mengikat manusia karena ketidaktaatannya kepada Allah. Harus diakui bahwa meskipun Adam juga berdosa, namun dosanya ini dilakukan setelah Hawa terlebih dahulu jatuh dalam dosa ketidaktaatan kepada kehendak Allah. Oleh karena itu, pada saat penebusan dosa, “obat penawar”-nya adalah kondisi sebaliknya, yaitu diawali dengan ketaatan Bunda Maria, sang Hawa yang baru, kepada kehendak Allah (lih. Luk 1: 38); sehingga Kristus sebagai Adam yang baru dapat datang ke dunia oleh ketaatan-Nya kepada kehendak Allah Bapa (lih. Ibr 10:5-7). Oleh karena ketaatan Maria inilah, Tuhan Yesus menjelma menjadi manusia di dalam rahim Maria dan kemudian dilahirkan olehnya; sehingga Maria layak disebut Bunda Allah. Dengan melahirkan Kristus, Maria juga dapat disebut sebagai Bunda Gereja, karena Kristus sebagai Kepala selalu berada dalam kesatuan dengan Gereja yang adalah anggota- anggota-Nya yang memperoleh hidup di dalam Dia. Oleh karena itu, para Bapa Gereja tak ragu untuk mengatakan bahwa Maria adalah “bunda mereka yang hidup” dan mengkontraskannya dengan Hawa, dengan menyatakan “maut melalui Hawa, hidup melalui Maria.” Dan inilah yang diajarkan kembali dalam Konsili Vatikan II saat menjabarkan hubungan antara Maria dengan Gereja.[3]
Perlu kita ketahui di sini bahwa para Bapa Gereja tidak mengartikan suatu gambaran dalam Kitab Suci dengan satu arti saja, melainkan dengan banyak arti yang memperkaya makna keseluruhan yang ingin disampaikan. Maka tidaklah menjadi masalah bahwa Maria yang adalah Bunda Kristus, kemudian juga disebut sebagai Hawa Baru, yang dalam konteks Adam yang baru, adalah mempelai-Nya. Semua gambaran ini adalah untuk menjabarkan makna persatuan antara Kristus dan Gereja yang adalah mempelai-Nya, di mana Maria menjadi anggotanya yang istimewa, karena ia telah terlebih dahulu dipilih Allah untuk melahirkan Kristus.
2. Karena Maria adalah ‘Bunda Allah’ dan ‘Hawa yang baru’, ia tidak pernah terpisah dari Kristus dan Gereja
Saat kejatuhan Adam dan Hawa, Allah telah merencanakan akan mengutus Sang Penyelamat yang akan lahir dari keturunan “sang perempuan”/ “the woman” (Kej 3:15). Menurut para Bapa Gereja, kata “perempuan” yang dimaksud di sini bukanlah Hawa, tetapi Hawa yang baru (’the New Eve’). Hal ini sudah menjadi pengajaran Gereja sejak abad ke-2 oleh Santo Yustinus Martir, Santo Irenaeus dan Tertullian, yang lalu dilanjutkan oleh Santo Agustinus.[4]
Sayangnya, memang dalam terjemahan bahasa Indonesia, pada ayat ini dikatakan ‘perempuan ini’, seolah-olah menunjuk kepada Hawa, namun sebenarnya adalah ‘the woman’ (bukan this woman) sehingga artinya adalah sang perempuan, yang tidak merujuk kembali ke lakon yang baru saja dibicarakan. “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.” (Kej 3:15) Ungkapan ‘woman’ ini yang kemudian kerap diulangi pada ayat Perjanjian Baru, misalnya pada mukjizat di Kana (lih. Yoh 2:4),[5] dan di kaki salib Yesus, saat Ia menyerahkan Bunda Maria kepada Yohanes murid kesayanganNya (Yoh 19:26).[6] dan di wahyu kepada Rasul Yohanes (Why 11:19-12:1-).[7] Pada tiga kesempatan tersebut, Sabda Tuhan mau menunjukkan bahwa Maria adalah ’sang perempuan’ yang telah dinubuatkan Allah pada awal mula dunia, yang akan berada dalam permusuhan dengan setan dan bahwa keturunannya akan mengalahkan setan (lih. Kej 3:15). Perempuan yang dimaksud di sini adalah Maria, berdasarkan kata “permusuhan” itu. Kata tersebut mempunyai pengertian “sesuatu yang berlawanan total“. Ini berarti, tidak tepat jika kita mengartikan bahwa perempuan itu adalah Hawa. Kita tahu bahwa Hawa dan ular (setan) tidaklah berlawanan total, karena Hawa telah berbuat dosa. Maka perlawanan total hanya mungkin terjadi jika perempuan yang dimaksud tidak berdosa. Kalau kita mengatakan bahwa perempuan itu adalah Hawa dan dia harus melawan ular (setan), maka tentu Hawa bukanlah lawan yang seimbang bagi setan, karena setelah berdosa, justru Hawa semakin tidak mempunyai kekuatan untuk melawan setan. “Perempuan itu” hanya menjadi lawan seimbang bagi setan dan berlawanan secara total dengan setan, kalau perempuan itu telah dipersiapkan oleh Allah sedemikian sehingga ia tidak berdosa. Ini sejalan dengan nubuat Kitab Yesaya, “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda (‘virgin‘= perawan) mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.” (Yes 7:14) Maka menjadi masuk akal dan benar, bahwa anak laki- laki itu adalah Kristus yang disebut Imanuel (lih. Mt 1:23). Dengan demikian, perempuan itu adalah Bunda Maria. Pemahaman di atas dan banyak tulisan Bapa Gereja mengajarkan bahwa “perempuan itu” yang disebut dalam Kej 3:15, memang sesungguhnya mengacu kepada Bunda Maria.
Di sinilah terlihat betapa gambaran yang dinyatakan samar- samar dalam Kitab Perjanjian Lama, kemudian digenapi di dalam Perjanjian Baru. Seperti halnya Kristus dengan ketaatannya sebagai Adam yang baru mematahkan ikatan dosa Adam, Maria dengan ketaatannya mematahkan ikatan dosa Hawa. Oleh ketaatan Maria, Kristus menjelma menjadi manusia di dalam tubuhnya. “Fiat” dari Maria, menjadi awal terbentuknya Tubuh Yesus atas kuasa Roh Kudus di dalam rahimnya; dan Ia mengambil apapun untuk pertumbuhan tubuh jasmaniNya dari tubuh Maria. Selanjutnya, Gereja yang adalah Tubuh Kristus, dibentuk oleh Yesus dari darah dan air yang keluar dari sisi/ lambung-Nya, serupa dengan dibentuknya Hawa dari sisi/ tulang rusuk Adam. Dengan demikian, terlihatlah betapa tak terpisahkannya hubungan antara Yesus, Maria dan Gereja. Walaupun Kristus dilahirkan oleh Maria, namun tidak menjadikan Maria lebih utama dari Kristus; sebab yang menjadi Kepala Tubuh (Kepala jemaat) adalah Kristus (Kol 1:18; Ef 5:23). Dengan demikian, Maria adalah anggota Tubuh-Nya yaitu Gereja-Nya. Namun demikian, Maria adalah anggota yang istimewa, justru karena ketaatannya yang ‘mendahului’ anggota Tubuh-Nya yang lain; dan karena dengan ketaatannya ini rencana Allah tergenapi.
Kesatuan antara Kristus, Bunda Maria dan Gereja, menjadikan Bunda Maria tidak terpisahkan dari Kristus dan dari Gereja; sehingga ia bukan saja menjadi Bunda Allah, namun juga adalah Bunda Gereja, yaitu Bunda umat beriman. Setidaknya ada dua alasan mengapa demikian. Yang pertama adalah karena Bunda Maria menempati tempat terdepan dalam perjalanan iman; dan yang kedua adalah karena sebelum wafat-Nya, Tuhan Yesus sendiri memberikan Bunda Maria kepada kita, murid- murid yang dikasihi-Nya.
3. Dengan persatuannya dengan Kristus, Bunda Maria menjadi terdepan dalam perjalanan iman
Sebagai ibu yang mengandung, melahirkan dan membesarkan Yesus, Bunda Maria hadir secara istimewa dalam kehidupan Yesus di dunia. Di setiap peristiwa hidupnya, ketaatan iman Maria terus diuji dan disempurnakan oleh Tuhan. Sejak terbentuk-Nya Kristus dalam rahimnya, saat kelahiran-Nya di tempat yang termiskin, saat mengungsi ke Mesir, saat hilangnya dan diketemukannya kembali Yesus di bait Allah; saat pertumbuhan-Nya sejak anak-anak sampai dewasa, Maria hidup bersama- sama dengan Tuhan Yesus di bawah satu atap, dalam kesederhanaan keluarga tukang kayu. Saat Yesus pertama kali melakukan mujizat di perkawinan di Kana, Bunda Maria hadir; demikian pula pada saat Yesus mengajar orang banyak. Walaupun Kitab Suci tidak mencatat secara detail tentang Bunda Maria, namun kita mengetahui bahwa Bunda Maria hadir di saat- saat penting dan menentukan dalam hidup Tuhan Yesus di dunia.
Penyertaan Bunda Maria mencapai puncaknya pada saat ia mendampingi Kristus, sampai di bukit Golgota, di saat hampir semua murid-Nya meninggalkan Dia. Maria tegar berdiri di kaki salib Kristus, dan turut mempersembahkan Dia di hadapan Allah Bapa. Maria melihat sendiri kesengsaraan Putera-nya Yesus Kristus yang melampaui segala ungkapan, untuk menebus dosa-dosa manusia. Di kaki salibNya, Maria melihat sendiri apa yang nampaknya seperti pengingkaran total apa yang dikatakan oleh Malaikat Gabriel saat memberikan Kabar Gembira, “Ia akan menjadi besar …. Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.” (Luk 1:22-23). Nyatanya, di hadapan mata Bunda Maria, yang terlihat adalah penderitaan Putera-nya yang tak terlukiskan, “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan ….ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia …” (lih. Yes 53:3-5). Betapa besarnya ketaatan iman yang ditunjukkan oleh Bunda Maria di kaki salib itu, di hadapan Allah! “Betapa totalnya ia memasrahkan dirinya kepada Tuhan tanpa syarat, mempersembahkan segala kehendak dan pemahamannya kepada Tuhan yang “tak terselami jalan- jalan-Nya” (Rom 11:33)… Ini mungkin adalah yang disebut sebagai “pengosongan diri yang paling dalam” yang pernah terjadi dalam sejarah kehidupan manusia.” [8]
Para ibu yang pernah menyaksikan anaknya meninggal dunia di depan matanya sendiri akan lebih dapat memahami perasaan Bunda Maria. Apalagi dalam hal ini, Yesus wafat dengan cara yang sangat memilukan hati: Ia disiksa sampai mati, dan kepada-Nya difitnahkan segala yang jahat, walaupun sesungguhnya Ia tidak bersalah. Di kaki salib Yesus tergenapilah nubuat nabi Simeon kepada Bunda Maria, “dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri….”(Luk 2:35) Di kaki salib itu Bunda Maria membuktikan persatuannya dengan Kristus, melalui keteguhan iman yang sama ketika ia menerima Kabar Gembira, “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu, ya Tuhan.” (lih. Luk 1: 38).
Mari kita memeriksa ke dalam diri kita masing- masing, seberapa jauh kita mempunyai iman yang sedemikian? Di saat berbagai masalah datang, dan sepertinya ‘gelap’ yang ada di hadapan kita, apakah kita masih dapat teguh beriman kepada Tuhan? Sesungguhnya, kita perlu belajar dari Bunda Maria untuk tetap dapat mengatakan kepada Tuhan, “Terjadilah kehendak-Mu,” dengan kepasrahan yang penuh; sebab kita percaya bahwa rancangan Tuhan jauh lebih tinggi dari rancangan kita (lih. Yes 55:8-9).
Sebab bukankah hal ini yang tergenapi pula di dalam diri Bunda Maria, bahwa karena ketaatan imannya, dan kesetiaannya kepada Tuhan, Maria juga melihat buah karya Allah selanjutnya. Kristus bangkit dari kematian (lih. Mat 28: 1-10; Mrk 16:1-8; Luk 24:1-12, Yoh 20:1-10), menampakkan diri-Nya dan menyatakan bahwa Dia sungguh hidup (Mrk 16:9-18; Luk 24:13-49, Yoh 20:11-29, 21:1-19, Kis 1:3) dan akhirnya, Kristus naik ke surga dengan mulia (lih. Luk 24:50-52; Kis 1:9-11). Selanjutnya, Bunda Maria turut berkumpul bersama- sama dengan para murid untuk bersama- sama sehati sejiwa menantikan Roh Kudus (lih. Kis 1:13-14), dan saat janji itu digenapi (Kis 2:1-4). Bunda Maria hadir pada hari Pentakosta, yaitu saat lahirnya Gereja dinyatakan, yang ditandai dengan datangnya Roh Kudus yang dijanjikan Kristus. Roh Kudus itulah yang secara ajaib mengubah para murid menjadi manusia baru di dalam Kristus. Mereka yang dulunya takut menjadi berani; yang dulunya kurang percaya menjadi teguh beriman.
Di tengah- tengah karya Allah membentuk para murid Kristus untuk menjadi semakin beriman, Maria tetap menjadi teladan iman, karena ia terus setia dan bertumbuh dalam penghayatannya akan rencana Tuhan sampai akhir. Atas jasa Kristus, dan karena persatuannya yang sempurna dengan Kristus untuk melawan setan sampai akhir hidupnya, maka Maria memperoleh hasil akhir dari kemenangan yang total atas dosa dan maut, yang selalu disebutkan dalam surat- surat Rasul Paulus (lih. Rom 5- 6; 1 Kor 15:21-26, 54-57). Karena itu, sebagaimana kebangkitan Kristus yang mulia menjadi bukti kemenangan ini, maka permusuhan Kristus [dalam kesatuan dengan Bunda Maria] dengan setan mencapai akhirnya dengan dimuliakannya juga Maria Bunda-Nya dalam tubuh kebangkitannya, seperti Tubuh kebangkitan Kristus. Maka, tergenapilah ajaran Rasul Paulus, “Dan sesudah yang dapat binasa ini mengenakan yang tidak dapat binasa dan yang dapat mati ini mengenakan yang tidak dapat mati, maka akan genaplah firman Tuhan yang tertulis: “Maut telah ditelan dalam kemenangan…” (1 Kor 15:54)….[9] “Dengan demikian, Bunda Maria…. sebagai pendukung Penyelamat yang telah mencapai kemenangan atas dosa dan segala akibatnya, akhirnya memperoleh juga puncak yang tertinggi dari kehormatan yang diterimanya, bahwa ia dibebaskan dari kerusakan tubuh dalam kubur dan sehingga, seperti Puteranya, yang telah mengatasi maut, ia [Maria] dapat diangkat tubuh dan jiwanya kepada kemuliaan surga, di mana sebagai Ratu, ia duduk di dalam kemuliaan di sisi kanan Puteranya, Sang Raja segala zaman (1 Tim 1:17).[10]
Dalam kesatuannya dengan Kristus jugalah, maka Bunda Maria tidak berpangku tangan di surga, tetapi terus mendukung Kristus yang masih terus melaksanakan karya keselamatan-Nya di dunia ini, dengan doa- doa syafaatnya[11]. Pengaruh Bunda Maria dalam karya keselamatan ini tentu terjadi bukan karena kuasa dirinya sendiri, tetapi karena kehendak Allah dan kebaikan-Nya. Peran pengantaraan Bunda Maria ini tidak menyaingi pengantaraan Kristus apalagi meniadakannya, melainkan mendukungnya. Konsili Vatikan II merumuskannya dengan indah, demikian:
“Pengantara kita hanya ada satu, menurut sabda Rasul: “Sebab Allah itu esa, dan esa pula pengantara antara Allah dan manusia, yakni manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang” (1Tim 2:5-6). Adapun peran keibuan Maria terhadap umat manusia sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya. Sebab segala pengaruh Santa Perawan yang menyelamatkan manusia tidak berasal dari suatu keharusan objektif, melainkan dari kebaikan ilahi. Pengaruh tersebut mengalir dari kelimpahan pahala Kristus, bertumpu pada pengantaraan-Nya, sama sekali tergantung dari padanya, dan menimba segala kekuatannya dari padanya. Pengaruh itu sama sekali tidak merintangi persatuan langsung kaum beriman dengan Kristus, melainkan justru mendukungnya.” (Lumen Gentium 60)
“Sebab tiada makluk satu pun yang pernah dapat disejajarkan dengan Sabda yang menjelma dan Penebus kita. Namun seperti imamat Kristus secara berbeda-beda ikut dihayati oleh para pelayan (imam) maupun oleh Umat beriman, dan seperti satu kebaikan Allah terpancarkan secara nyata kepada makhluk-makhluk ciptaan-Nya dengan cara yang berbeda-beda, begitu pula satu-satunya pengantaraan Penebus tidak meniadakan, melainkan membangkitkan pada mereka aneka bentuk kerja sama yang berasal dari satu-satunya sumber. Adapun Gereja tanpa ragu-ragu mengakui, bahwa Maria memainkan peran yang berada di bawah Kristus seperti itu. Gereja tiada hentinya mengalaminya, dan menganjurkan kepada kaum beriman, supaya mereka ditopang oleh perlindungan Bunda itu lebih erat menyatukan diri dengan Sang Pengantara dan Penyelamat.” (Lumen Gentium 62)
Jika Tuhan pernah bersabda, “doa orang yang benar sangat besar kuasanya” (Yak 5:16), bukankah akan sangat teramat besar kuasa doa Bunda Maria, yang telah dibenarkan Tuhan Yesus, dan terlebih lagi, karena ia adalah Bunda-Nya sendiri yang telah dikuduskan Allah? Itulah sebabnya Gereja Katolik menganjurkan kita umat beriman untuk memohon dukungan doa Bunda Maria, sebab hal itu baik untuk pertumbuhan iman kita, dan akan lebih erat lagi mempersatukan kita dengan Kristus.
Dengan demikian, nyatalah bahwa Maria telah masuk dalam rencana keselamatan Allah, sejak awal mula. Saat kejatuhan Adam dan Hawa, keberadaan Maria dan Kristus Puteranya telah dinubuatkan Allah; dan ini digenapi saat Maria menerima Kabar Gembira Malaikat. Selanjutnya, Bunda Maria selalu hadir dan bersatu dengan Kristus selama Ia hidup di dunia, saat sengsara, wafat, kebangkitan sampai kenaikan-Nya ke surga. Oleh kesetiaannya beriman sampai akhir, Bunda Maria diangkat ke surga, tubuh dan jiwanya dan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Tuhan kepada mereka yang percaya dan mengasihi Dia (lih. Why 2:10; Yak 1:12). Maka ajaran bahwa Bunda Maria diangkat ke surga dan dimahkotai di surga, bukan semata- mata merupakan penghormatan kepada Bunda Maria saja, tetapi merupakan ajaran tentang pengharapan akan penggenapan janji Kristus kepada semua orang yang percaya kepada-Nya, di mana Maria telah mengambil tempat yang terdepan, sebab ia telah terlebih dahulu menunjukkan teladan imannya yang sempurna di hadapan Allah.
St. Ambrosius mengajarkan bahwa Bunda Maria adalah teladan Gereja dalam hal iman, kasih dan persatuan sempurna dengan Kristus[12]. Dalam misteri Gereja, Bunda Maria disebut sebagai perawan dan ibu, dan kedua hal ini juga yang harus diteladani oleh Gereja. Keperawanan dan kekudusan Maria mendorong Gereja untuk terus berpegang pada iman yang murni, yang tidak dipengaruh oleh ajaran si ‘ular tua’/ setan yang dapat dinyatakan dalam banyak cara. Selanjutnya, teladan Maria sebagai ibu, juga wajib mendorong Gereja untuk meniru perbuatan kasihnya dalam memberikan dirinya untuk mewujudkan rencana Allah, yaitu untuk melahirkan Kristus di hati umat beriman. Teladan iman Bunda Maria dalam hal iman yang murni, pengharapan yang teguh dan kasih yang tulus inilah yang seharusnya terus terpatri dalam hati kita, agar bersama Bunda Maria, akhirnya kita dapat menerima juga penggenapan janji Tuhan kepada setiap orang yang percaya.
4. Tuhan Yesus memberikan Bunda Maria menjadi ibu bagi murid- murid-Nya
Selanjutnya, alasan yang sangat kuat mengapa kita menghormati dan mengasihi Bunda Maria sebagai ibu, adalah sebab Tuhan Yesus menghendakinya demikian. Sesaat sebelum wafat-Nya, Tuhan Yesus memberikan Bunda Maria kepada Yohanes, murid yang dikasihi-Nya. “Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya disampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya, “Ibu, inilah anakmu” kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya, “Inilah ibumu!”/ Behold, your mother! Dan sejak itu murid itu [Yohanes] menerima dia [Bunda Maria] di dalam rumahnya.” (Yoh 19: 26-27) Kita ketahui bahwa pesan ini adalah salah satu dari ketujuh perkataan Yesus sebelum wafatNya dan pastilah ini merupakan pengajaran yang penting. Gereja Katolik selalu memahami ucapan tersebut, sebagai kehendak Yesus yang mempercayakan Ibu-Nya kepada kita semua para murid-Nya, yang diwakili oleh Rasul Yohanes. Sama seperti Yohanes Pembaptis menyebutkan sesuatu yang penting tentang Yesus dengan berkata, “Lihatlah Anak Domba Allah”/ Behold, the Lamb of God (Yoh 1:29) untuk diterima sebagai kebenaran bagi semua umat beriman; maka Tuhan Yesus juga menyebutkan hal yang penting tentang Bunda Maria, dengan berkata kepada para murid-Nya,” Inilah ibumu!”/ Behold, your mother!, agar kita umat beriman juga dapat menerimanya sebagai kebenaran. Ya, Bunda Maria adalah ibu kita, sebab Tuhan Yesus memberikannya kepada kita umat beriman, untuk kita kasihi, kita hormati dan kita teladani. Sebab dengan menerimanya sebagai ibu, kita dapat belajar untuk mengikuti teladan imannya sampai akhir; agar kitapun dapat masuk dalam Kerajaan-Nya dan beroleh mahkota kehidupan.
5. Ajaran Bapa Gereja tentang Bunda Maria sebagai Bunda Gereja
a. Origen (244)
Putera Maria hanya Yesus sendiri; dan ketika Yesus berkata kepada Ibu-Nya, “Lihatlah, anakmu,” seolah Ia berkata, “Lihatlah orang ini adalah Yesus sendiri, yang engkau lahirkan.” Sebab setiap orang yang dibaptis, hidup tidak lagi dirinya sendiri, tetapi Kristus hidup di dalamnya. Dan karena Kristus hidup di dalamnya, perkataan kepada Maria ini berlaku baginya, “Lihatlah anakmu- Kristus yang diurapi.”[13]
b. St. Ephrem dari Syria (306- 373)
“Kelahiran-Mu yang ilahi, O Tuhan, melahirkan semua ciptaan;
Umat manusia dilahirkan kembali darinya [Maria], yang melahirkan Engkau.
Manusia melahirkan Engkau di dalam tubuh; Engkau melahirkan manusia di dalam roh…” [14]
c. St. Agustinus (416)
“Maria adalah sungguh ibu dari anggota- anggota Kristus, yaitu kita semua. Sebab oleh karya kasihnya, umat manusia telah dilahirkan di Gereja, [yaitu] para umat beriman yang adalah Tubuh dari Sang Kepala, yang telah dilahirkannya ketika Ia menjelma menjadi manusia.”[15]
d. Paus Pius X (1903- 1914)
“Bukankah Maria adalah Bunda Yesus? Oleh karena itu ia adalah bunda kita juga…. Maria yang mengandung Sang Juruselamat dalam rahimnya, dapat dikatakan juga mengandung mereka yang hidupnya terkandung di dalam hidup Sang Juruselamat. Karenanya, kita semua … telah dilahirkan dari rahim Maria sebagai tubuh yang bersatu dengan kepalanya. Oleh karena itu, dalam pengertian rohani dan mistik, kita disebut sebagai anak- anak Maria, dan ia adalah Bunda kita semua.[16]
6. Sudahkah Bunda Maria menjadi ibu bagi anda dan saya?
Apapun yang disampaikan di atas tidak akan terlalu berguna bagi kita, jika kita tidak menerimanya sebagai kehendak Tuhan bagi kita. Tuhan Yesus sudah memberikan segala- galanya bagi kita: kasih-Nya, hidup ilahi-Nya, dan bahkan ibu-Nya sendiri. Sekarang memang terserah kepada kita, apakah yang menjadi tanggapan kita. Apakah kita sudah bersikap seperti Rasul Yohanes yang menerima Bunda Maria sebagai ibu kita juga? Jika sudah, sejauh mana kita telah meniru teladan iman Bunda Maria? Mungkin kita memerlukan perjuangan tanpa henti untuk menanggapi pertanyaan yang kedua ini. Sebab sungguh, sepanjang hidup ini memang kita perlu berjuang untuk tetap taat dan setia kepada Tuhan. Namun tentu jika kita berjalan bersama Bunda Maria, kita akan dikuatkan sampai kita dapat memandang Kristus dalam kemuliaan-Nya yang kekal abadi di surga. Semoga pada saat itu, kita dapat memandang Tuhan Yesus, dan mengatakan, “Aku mengasihi-Mu, Tuhan, dan seturut kehendak-Mu, aku juga telah mengasihi Ibu-Mu yang Engkau berikan kepadaku.”
Bunda Maria, Bunda Kristus dan Bunda kami umat beriman, doakanlah kami, sekarang dan waktu kami mati. Amin.
- lih.Konsili Vatikan II tentang Gereja, Lumen Gentium 53 [↩]
- St. Irenaeus, Against Heresies, 189 AD, 3:22:24 [↩]
- Lihat Lumen Gentium 56, S. Ireneus, “dengan taat Maria menyebabkan keselamatan bagi dirinya maupun bagi segenap umat manusia” Maka … para Bapa zaman kuno, … menyatakan bersama Ireneus: “Ikatan yang disebabkan oleh ketidak-taatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria; apa yang diikat oleh perawan Hawa karena ia tidak percaya, telah dilepaskan oleh perawan Maria karena imannya” Sambil membandingkannya dengan Hawa, mereka menyebut Maria “bunda mereka yang hidup”. Sering pula mereka (St. Jerome, St. Agustinus, St. Cyril, St. Yohanes Krisostomus, St. Yohanes Damaskinus) menyatakan: “maut melalui Hawa, hidup melalui Maria.” [↩]
- John R Willis, S.J. ed., The Teachings of the Church Fathers, Ignatius Press, San Francisco, 2002 reprint, edisi asli Herder and Herder, New York, 1966 h. 356 [↩]
- John 2:4, RSV Bible, “O Woman, what have you to do with me? My hour has not yet come.” Diterjemahkan di dalam bahasa Indonesia, “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saatku belum tiba.” [↩]
- John 19:26-27, RSV Bible, “When Jesus saw his mother, and the disciple whom he loved standing near, he said to his mother,”Woman, behold, your son!” Then he said to the disciple, “Behold, your mother!” diterjemahkan di dalam bahasa Indonesia: Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya, “Ibu, inilah anakmu!” Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: “Inilah ibumu!” [↩]
- Rev 12:1-2 RSV Bible, “Then God’s temple in heaven was opened, and the ark of his covenant was seen within his temple…. And a great portent appeared in heaven, a woman clothed with the sun, with the moon under her feet, and on her head a crown of twelve stars…. Terjemahannya: Maka terbukalah Bait Suci Allah yang di sorga, dan kelihatanlah tabut perjanjian-Nya di dalam Bait Suci itu …. Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya. [↩]
- Paus Yohanes Paulus II, Redemptoris Mater 18 [↩]
- lih. Paus Pius XII, Konstitusi Apostolik, Munificentissimus Deus, 39 [↩]
- Paus Pius XII, Munificentissimus Deus, 40, lihat juga definisi dari dogma Maria diangkat ke surga yang disebutkan oleh dokumen yang sama, alinea 44: “…. dengan kuasa dari Tuhan kita Yesus Kristus, dan dari Rasul Petrus dan Paulus yang terberkati, dan oleh kuasa kami sendiri, kami mengumumkan, menyatakan dan menentukan hal ini sebagai dogma yang diwahyukan Tuhan: bahwa Bunda Tuhan yang tidak bernoda, Maria yang tetap Perawan, setelah menyelesaikan tugas nya di dunia, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi.” [↩]
- lih. Lumen Gentium 62 [↩]
- lih. Lumen Gentium, 63 [↩]
- Origen, Commentary on John I,4, 23, PG 14, 32 [↩]
- St. Ephrem, Hymn 3 on the Birth of the Lord, v.5., ed. Lamy, II, pp 464 f [↩]
- St. Augustine, De sancta virginitate, 6 (PL 40, 399) [↩]
- Paus Pius X, Ad diem illum Laetissimum [↩]
Ditulis oleh: Ingrid Listiati
Sumber: www.katolisitas.org