HOMILI: Sabtu-Minggu, 07-08 Agustus 2010 Hari Minggu Biasa XIX

Hari Minggu Biasa XIX: Keb 18:6-9; Ibr II:1-2.8-19; Luk 12:32-48


“Hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu sangkakan.”


Jika kita cermati dalam kehidupan atau kinerja kita, ada salah satu kecenderungan umum yang terjadi dalam diri kita, yaitu menunda pekerjaan dan bekerja keras pada minggu, hari, jam atau menit terakhir. Misalnya: para murid atau pelajar serta mahasiwa hanya belajar menjelang ulangan umum atau ujian, bahkan satu jam sebelum ulangan atau ujian masih belajar. Sikap mental macam itu kelak kemudian hari akan berkembang menjadi orang dewasa (pekerja) yang suka menunda tugas pekerjaan serta kerja keras pada hari-hari atau jam-jam terakhir sampai kurang tidur dan kurang makan. Cara kerja mereka bagaikan salah satu ciri wartawan yang harus menulis dan melaporkan kerjanya sesegera mungkin sebelum edit dan pencetakan majalah atau surat kabar dikerjakan. Namun wartawan hemat saya tidak hanya bekerja pada jam-jam terakhir untuk mengejar ‘death line’ saja, tetapi mereka harus bekerja siang malam terus menerus dalam rangka mencari berita yang baik dan diharapkan. Para wartawan pada umumnya senantiasa siap sedia dan peka terhadap aneka peristiwa maupun issue serta ajakan atau panggilan untuk meliputi kejadian. Memang para wartawan tahu kapan harus batas akhir harus melapor, namun mereka tidak hanya asal lapor saja, tetapi berusaha seoptimal mungkin apa yang dilaporkan akan menjadi berita yang menarik, menyelamatkan dan membahagiakan banyak orang. Masing-masing dari kita tidak tahu kapan kita meninggal dunia atau dipanggil Tuhan, dan sewaktu-waktu, kapan saja dan dimana saja kita dapat meninggal dunia, misalnya karena kecelakaan lalu lintas atau bencana alam. Siapkah kita sewaktu-waktu dipanggil Tuhan atau meninggal dunia? Karena kita tidak tahu kematian kita, marilah kita senantiasa siap sedia untuk meninggal dunia atau dipanggil Tuhan.

“Ketahuilah ini: Jika tuan rumah tahu pukul berapa pencuri akan datang, ia tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar. Hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu sangkakan." (Luk 12:39-40)

Yang dimaksudkan dengan kedatangan ‘Anak Manusia’ disini adalah akhir zaman atau hari kiamat. Bagi kita masing-masing akhir zaman itu berarti kematian kita, ketika dipanggil Tuhan. Siap sediakah kita setiap saat dipanggil Tuhan alias meninggal dunia? Jam-jam atau menit-menit atau detik-detik terakhir hidup orang yang akan dipanggil Tuhan pada umumnya gelisah, jika yang bersangkutan senantiasa hidup dan bersatu dengan Tuhan maka kegelisahan itu lembut sekali, sebaliknya jika orang tidak bersatu dengan Tuhan dalam hidup sehari-hari maka kegelisahannya luar biasa, antara lain berteriak-teriak, kaki jejak sana-sini, tangan gerak ke sana kemari dst.. (bahasa Jawa -> ‘mecati’). Bersama dan bersatu dengan Tuhan berarti hidup baik dan berbudi pekerti luhur, hidup dan bertindak dijiwai oleh iman.

Peringatan agar kita senantiasa siap sedia sewaktu-waktu dipanggil Tuhan berarti kita diharapkan hidup baik dan berbudi pekerti luhur. Maka baiklah sekali lagi saya kutipkan ciri-ciri berbudi pekerti luhur di bawah ini untuk kita fahami, refleksikan dan hayati dalam hidup kita sehari-hari, yaitu: “bekerja keras, berani memikul resiko, berdisiplin, beriman, berhati lembut, berinisiatif, berpikir matang, berpikiran jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersikap konstruktif, bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis, efisien, gigih, hemat, jujur, berkemauan keras, kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, mawas diri, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai waktu, pemaaf, pemurah, pengabdian, pengendalian diri, produktif, rajin, ramah tamah, rasa kasih sayang, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, setia, sikap adil, sikap hormat, sikap tertib, sopan santun, sportif, susila, tangguh, tegas, tekun, tetap janji, terbuka dan ulet “ (Prof.Dr.Sedyawati: Pedoman Penananam Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka, Jakarta 1997). Kiranya kita tak mungkin menghayati semua ciri tersebut sepenuhnya, tetapi hemat kami ketika kita unggul dalam salah satu ciri tersebut di atas berarti secara inklusif ciri-ciri yang lain dihayati juga. Maka baiklah masing-masing dari kita mengusahakan nilai atau ciri mana yang paling cocok atau memadai untuk dengan unggul kita hayati dalam hidup kita sehari-hari.

Diam-diam anak-anak suci dari orang yang baik mempersembahkan korban dan sehati membebankan kepada dirinya kewajiban ilahi ini: orang-orang suci sama-sama akan mengambil bagian baik dalam hal-hal yang baik maupun dalam bahaya. Dalam pada itu sebelumnya sudah mereka dengungkan lagu-lagu pujian para leluhur” (Keb 18:9)

Kita semua diharapkan menjadi orang yang suci dan baik. Suci berarti senantiasa mempersembahkan atau menyisihkan diri seutuhnya kepada Tuhan di dalam hidup sehari-hari, sehingga hidup dan bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan. Ingat bahwa dibaptis berarti disucikan, dan ketika dibaptis antara lain dahi kita dicurahi air diiringi dengan kata-kata “…aku membaptis engkau dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus’. Dalam kebiasaan beberapa aliran/sekte Kristen pembaptisan dilakukan dengan menenggelamkan seluruh tubuh dalam air kolam. Dahi dicurahi air berarti otak atau pikiran kita dibersihkan atau disucikan. Apa yang akan kita lakukan hari ini tergantung apa yang ketika bangun pagi kita pikirkan, yang ada dalam pikiran kita masing-masing. Semoga dalam pikiran kita senantiasa apa yang suci dan baik. Ingat juga bahwa ketika dibaptis kita diharapkan berpakaian putih bersih yang melambangkan kesucian; semoga kita setia menjaga kesucian hati, jiwa, pikiran dan tubuh kita.

Orang-orang suci sama-sama akan mengambil bagian baik dalam hal-hal yang baik maupun dalam bahaya”, demikian peringatan penulis kitab Kebijaksanaan. Peringatan ini kiranya senada dengan kutipan dari surat Ibrani ini,yaitu “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita” (Ibr 11:1-2) Yang mungkin baik kita refleksikan kiranya adalah bahwa orang-orang suci mengambil bagian dalam bahaya, mengingat dan memperhatikan banyak di antara kita cenderung untuk menghindari atau melepaskan diri dari bahaya begitu saja tanpa alasan. Tumbuh berkembang dalam iman atau kesucian atau setia hidup suci memang tak akan terlepas dari aneka macam bahaya, termasuk bahaya mati atau dipanggil Tuhan sewaktu-waktu. Orang-orang suci takkan takut terhadap aneka macam bahaya.

Apa yang saya kutipkan dari surat Ibrani di atas selayaknya kita renungkan dan hayati juga, yaitu bahwa ‘iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat’. Apa yang disebut dengan harapan memang tak terlihat atau masih samara-samar dan tidak jelas secara akal sehat. Kita semua memliki harapan, entah harapan untuk sukses dalam belajar atau bekerja, harapan sukses menghayati hidup terpanggil sebagai suami-isteri, imam, bruder atau suster, dst.. Iman mendasari harapan berarti jika kita mendambakan apa yang kita harapkan terwujud atau menjadi kenyataan, kita diharapkan dengan sungguh-sungguh dalam belajar atau bekerja, dalam menghayati hidup terpanggil, setia dan mentaati aneka aturan dan tatanan yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas pengutusan.

“Sesungguhnya, mata TUHAN tertuju kepada mereka yang takut akan Dia, kepada mereka yang berharap akan kasih setia-Nya, untuk melepaskan jiwa mereka dari pada maut dan memelihara hidup mereka pada masa kelaparan. Jiwa kita menanti-nantikan TUHAN. Dialah penolong kita dan perisai kita! Kasih setia-Mu, ya TUHAN, kiranya menyertai kami, seperti kami berharap kepada-Mu.”

(Mzm 33:18-20.22)

Jakarta, 8 Agustus 2010


Romo. Ign Sumarya, SJ




Share|