30,31 Agustus, 01 September 2010

30.08.2010
“Bukankah Ia ini anak Yusuf?”

(1Kor 2:1-5; Luk 4:16-30)



“Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab. Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis: "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya." Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: "Bukankah Ia ini anak Yusuf?" Maka berkatalah Ia kepada mereka: "Tentu kamu akan mengatakan pepatah ini kepada-Ku: Hai tabib, sembuhkanlah diri-Mu sendiri. Perbuatlah di sini juga, di tempat asal-Mu ini, segala yang kami dengar yang telah terjadi di Kapernaum!" Dan kata-Nya lagi: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.”(Luk 4:16-24), demikian kutipan Warta Gembira hari ini



Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Barangsiapa tidak mampu mengasihi, menghormati dan menghargai mereka yang setiap hari hidup atau bekerja bersama, maka sikap terhadap yang lain dan jauh pasti akan menindas atau melecehkan. Sebaliknya barangsiapa mampu mengasihi, menghormati dan menghargai mereka yang setiap hari hidup atau bekerja bersama, maka terhadap yang lain/jauh pasti akan melayani, membahagiakan dan menyelamatkan. Orang-orang yang telah kenal Yesus pada masa kecilNya tidak percaya bahwa Yesus adalah Penyelamat Dunia yang mereka dambakan kedatanganNya, bahkan ketika Ia tampil di bait Allah untuk menyatakan Jati DiriNya, mereka berkata “Bukankah Ia ini anak Yusuf”, dan kemudian mengusirNya. Kami mengajak dan mengingatkan kita semua: marilah dengan rendah hati kita akui dan hayati apa yang baik, luhur, mulia, indah dalam diri saudara-saudari kita yang setiap hari hidup atau bekerja bersama dengan kita, entah di dalam keluarga, masyarakat atau tempat kerja/belajar. Ingat dan hayati bahwa masing-masing dari kita dapat hidup, tumbuh dan berkembang sebagaimana adanya pada saat ini karena jasa, kebaikan dan kasih mereka yang setiap hari hidup atau bekerja bersama dengan kini. Maka hendaknya dengan mereka yang setiap hari hidup atau bekerja bersama, kita senantiasa bersikap ‘berterima kasih dan bersyukur’, sehingga dalam hidup atau bekerja bersama kita saling berterima kasih dan bersyukur, saling melayani, membahagiakan dan menyelamatkan. Pengalaman berterima kasih dan bersyukur dalam keluarga akan menjadi modal dan kekuatan yang handal untuk senantiasa bersyukur dan berterima kasih kepada siapapun dan dimanapun.

· “Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah.” (1Kor 2:4-5), demikian kesaksian iman Paulus kepada umat di Korintus, kepada kita semua umat beriman. Kutipan ini kiranya mengingatkan dan mengajak kita semua untuk melihat, mengakui dan menghayati ‘kekuatan Allah’ dalam diri kita masing-masing atau saudara-saudari kita. Ingat dan hayati bahwa masing-masing dari kita diciptakan sebagai gambar atau citra Allah, Allah hidup dan berkarya dalam diri kita dengan menganugerahi perkembangan dan pertumbuhan serta aneka macam keutamaan atau nilai kehidupan. Masing-masing dari kita setiap hari/saat berubah, dan marilah kita hayati bahwa perubahan ini merupakan karya Allah, terutama perubahan ke arah lebih baik, mulia, luhur dan terhormat. Sebagai orang beriman kita diharapkan tidak menggantungkan diri pada hikmat manusia, melainkan pada kekuatan Roh, dengan kata lain hendaknya kita jangan bersikap mental materialistis, melainkan spiritual. Tidak berarti kita harus berdoa khusuk terus menerus, melainkan ‘menghayati Tuhan dalam segala sesuatu atau segala sesuatu dalam Tuhan’. Hidup spiritual atau kerohanian sejati terjadi dengan mendunia, berpartisipasi dalam seluk beluk atau hal-ikhwal duniawi dalam atau dengan semangat iman. Maka baiklah kami mengajak anda sekalian untuk menghayati tugas bekerja atau belajar bagaikan sedang beribadat, dengan kata lain sikap mental dalam belajar maupun bekerja seperti sikap mental dalam beribadat.



“Aku melihat batas-batas kesempurnaan, tetapi perintah-Mu luas sekali. Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari. Perintah-Mu membuat aku lebih bijaksana dari pada musuh-musuhku, sebab selama-lamanya itu ada padaku. Aku lebih berakal budi dari pada semua pengajarku, sebab peringatan-peringatan-Mu kurenungkan. Aku lebih mengerti dari pada orang-orang tua, sebab aku memegang titah-titah-Mu. Terhadap segala jalan kejahatan aku menahan kakiku, supaya aku berpegang pada firman-Mu. Aku tidak menyimpang dari hukum-hukum-Mu, sebab Engkaulah yang mengajar aku” (Mzm 119:96-102)

Jakarta, 30 Agustus 2010

Romo. I. Sumarya

31.08.2010

"Alangkah hebatnya perkataan ini!”

(1Kor 2:10b-16; Luk 4:31-37)



“Kemudian Yesus pergi ke Kapernaum, sebuah kota di Galilea, lalu mengajar di situ pada hari-hari Sabat. Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab perkataan-Nya penuh kuasa. Di dalam rumah ibadat itu ada seorang yang kerasukan setan dan ia berteriak dengan suara keras: "Hai Engkau, Yesus orang Nazaret, apa urusan-Mu dengan kami? Engkau datang hendak membinasakan kami? Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah." Tetapi Yesus menghardiknya, kata-Nya: "Diam, keluarlah dari padanya!" Dan setan itu pun menghempaskan orang itu ke tengah-tengah orang banyak, lalu keluar dari padanya dan sama sekali tidak menyakitinya. Dan semua orang takjub, lalu berkata seorang kepada yang lain, katanya: "Alangkah hebatnya perkataan ini! Sebab dengan penuh wibawa dan kuasa Ia memberi perintah kepada roh-roh jahat dan mereka pun keluar." Dan tersebarlah berita tentang Dia ke mana-mana di daerah itu” (Luk 4:31-37), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.



Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Sadar atau tidak kwalitas pertumbuhan dan perkembangan pribadi kita masing-masing sangat dipengaruhi oleh kata-kata yang kita dengar atau dengarkan, sejak kita dilahirkan dari rahim ibu, atau bahkan sejak masih berada di rahim ibu. Kata-kata yang kita dengarkan dapat ‘menghentak atau mempesona’ hati, jiwa dan akal budi kita, sehingga mempengaruhi cara hidup dan cara bertindak kita. Kepada seorang yang kerasukan setan Yesus berkata keras dan kiranya cukup menghentak dan menyakitkan, “Diam, keluarlah dari padanya!”, sehingga setan yang merasuki orang tersebut keluar daripadanya. Sabda atau kata-kataNya sungguh berwibawa dan penuh kuasa, sehingga mereka yang menyaksikannya berkata “Alangkah hebatnya perkataan ini! Sebab dengan penuh wibawa dan kuasa Ia memberi perintah kepada roh-roh jahat dan mereka pun keluar”. Di antara saudara-saudari atau sesama kita kiranya juga ada yang sedang kerasukan setan alias cara hidup dan cara bertindaknya lebih dikuasai oleh roh jahat sehingga senang berbuat jahat, atau mungkin kita sendiri demikian adanya. Maka pertama-tama kami mengajak kita semua untuk tidak takut dan gentar mengusir roh jahat yang mempengaruhi cara hidup dan cara bertindak saudara-saudari kita, marilah kita peringatkan mereka dengan kata-kata keras disertai kerendahan hati. Sebaliknya jika kita diperingatkan dengan keras sehingga kita merasa sakit hati, hendaknya disadari dan dihayati bahwa kita perlu bertobat atau memperbaiki diri, berubah ke arah yang baik atau lebih baik dari yang ada sekarang ini. Jangan diabaikan kata-kata keras dan menyakitkan, tetapi renungkan dalam hati dan jadikan pemicu untuk mawas diri dan memperbaiki diri.

· “Kita tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah, supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita” (1Kor 2:12), demikian kesaksian iman Paulus kepada umat di Korintus, kepada kita semua umat beriman. Hidup dan segala sesuatu yang menyertai hidup kita, yang kita miliki, kuasai dan nikmati sampai saat ini adalah kasih karunia atau anugerah Allah, inilah kebenaran iman. Jika kita berani menghayati kebenaran iman ini, maka cara hidup dan cara bertindak kita akan rendah hati dan lemah lembut, penuh syukur dan terima kasih. Cara hidup yang demikian akan memiliki kuasa dan wibawa untuk mempengaruhi suasana lingkungan hidup dan siapapun yang menyaksikan cara hidup kita, dan mereka akan berkata “Alangkah hebatnya cara hidup orang ini, sehingga siapapun yang bertemu dengannya atau menyaksikannya akan tergerak untuk semakin beriman, semakin mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan, semakin suci”. Roh atau jiwa yang dianugerahkan kepada kita dan menghidupi kita adalah berasal dari Allah, maka mau tak mau kita harus hidup dan bertindak sesuai dengan kehendak Allah alias senantiasa berbuat baik kepada siapapun dan dimanapun. Kami mengajak anda sekalian, khususnya para orangtua, pemimpin atau atasan, untuk membina dan mendidik anak-anak, anggota atau bawahan hidup dan bertindak dengan rendah hati, penuh syukur dan terima kasih, sebagai perwujudan bahwa hidup dan segala sesuatu yang menyertainya adalah anugerah Allah. Para orangtua, pemimpin atau atasan kami harapkan dapat menjadi contoh cara hidup yang rendah hati, penuh syukur dan terima kasih., jauhkan aneka macam bentuk kesombongan. Hidup dan bertindak dengan penuh terima kasih antara lain berarti menyikapi segala sesuatu yang terarah pada diri kita, entah itu kata-kata, perbuatan atau barang, sebagai wujud kasih orang lain kepada kita.



“TUHAN itu pengasih dan penyayang, panjang sabar dan besar kasih setia-Nya. TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya. Segala yang Kaujadikan itu akan bersyukur kepada-Mu, ya TUHAN, dan orang-orang yang Kaukasihi akan memuji Engkau. Mereka akan mengumumkan kemuliaan kerajaan-Mu, dan akan membicarakan keperkasaan-Mu, untuk memberitahukan keperkasaan-Mu kepada anak-anak manusia, dan kemuliaan semarak kerajaan-Mu. Kerajaan-Mu ialah kerajaan segala abad, dan pemerintahan-Mu tetap melalui segala keturunan. TUHAN setia dalam segala perkataan-Nya dan penuh kasih setia dalam segala perbuatan-Nya” (Mzm 145:8-13)

Jakarta, 31 Agustus 2010


Romo. I. Sumarya

01.09.2010

“Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus."

(1Kor 3:1-9; Luk 4:38-44)

“Kemudian Ia meninggalkan rumah ibadat itu dan pergi ke rumah Simon. Adapun ibu mertua Simon demam keras dan mereka meminta kepada Yesus supaya menolong dia. Maka Ia berdiri di sisi perempuan itu, lalu menghardik demam itu, dan penyakit itu pun meninggalkan dia. Perempuan itu segera bangun dan melayani mereka. Ketika matahari terbenam, semua orang membawa kepada-Nya orang-orang sakitnya, yang menderita bermacam-macam penyakit. Ia pun meletakkan tangan-Nya atas mereka masing-masing dan menyembuhkan mereka. Dari banyak orang keluar juga setan-setan sambil berteriak: "Engkau adalah Anak Allah." Lalu Ia dengan keras melarang mereka dan tidak memperbolehkan mereka berbicara, karena mereka tahu bahwa Ia adalah Mesias. Ketika hari siang, Yesus berangkat dan pergi ke suatu tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mencari Dia, lalu menemukan-Nya dan berusaha menahan Dia supaya jangan meninggalkan mereka. Tetapi Ia berkata kepada mereka: "Juga di kota-kota lain Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus." Dan Ia memberitakan Injil dalam rumah-rumah ibadat di Yudea.” (Luk 4:38-44), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.



Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Yesus diutus datang ke dunia untuk ‘memberitakan Injil Kerajaan Allah’ atau mewartakan apa-apa yang baik dan menyelamatkan, antara lain ‘mengusir setan’ dan menyembuhkan orang sakit. Kita semua yang percaya atau beriman kepadaNya, atau menjadi sahabat-sahabatNya, juga dipanggil untuk meneladan Dia, mewartakan apa-apa yang baik dan menyelamatkan, maka marilah kita lihat dan cermati lingkungan hidup kita masing-masing: apa atau siapa yang harus kita perhatikan, perbaiki atau selamatkan. Dimana ada keadaan atau orang tidak baik dan tidak selamat, ke situlah kita para murid, pengikut atau sahabat Yesus dipanggil dan diutus untuk memperbaiki dan menyelamatkan. Di antara saudara-saudari kita pasti ada yang sakit hati atau sakit jiwa atau sakit akal budi atau sakit tubuh, mungkin tidak 100% sakit melainkan hanya 10% s/d 40 % sehingga tidak perlu secara khusus dirawat di rumah sakit, melainkan tetap tinggal, hidup dan bekerja bersama dengan kita. Misalnya mereka yang mudah marah atau putus asa adalah orang-orang yang perlu kita selamatkan. Kepada orang yang mudah marah hendaknya disikapi dengan rendah hati dan lemah lembut serta sabar: dengarkan dengan sepenuh hati apa yang mereka katakan dengan keras dan menyakitkan dan jangan ditanggapi. Jika yang dimarahi anda, maka jawablah dengan rendah hati dan singkat “terima kasih”, artinya anda telah menerima kasih, dikasihi. Dekati dan sikapi mereka yang mudah marah dengan kasih, ingat binatang buas pun ketika didekati dan disikapi dengan kasih dapat menjadi sahabat, apalagi manusia.

· “Yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan” (1Kor 3:7), demikian nasihat atau peringatan Paulus kepada umat di Korintus, kepada kita semua umat beriman. Apa yang dikatakan Paulus ini antara lain secara konkret terjadi pada: (1) suami menanam alias menaburkan sperma di rahim isteri dan isteri menerima dan merawatnya dengan penuh kasih, (2) para buruh tanam menanam dan sang petani merawatnya dengan penuh kasih, perhatian dan kesabaran, dst… , sedangkan yang menganugerahi pertumbuhan apa yang ditanam tersebut adalah Allah, maka Paulus berkata bahwa yang penting adalah Allah. Kita semua adalah ciptaan Allah, hidup dan pertumbuhan serta perkembangan kita tergantung 100 % dari Allah dan 100% dari usaha kita. Dengan kata lain apapun yang menjadi panggilan, tugas pengutusan atau pekerjaan kita hendaknya dikerjakan atau dilaksanakan dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap tenaga atau kekuatan, seraya mengandalkan diri sepenuhnya pada Penyelenggaraan Ilahi. Semakin kerja keras, giat dalam melaksanakan tugas hendaknya juga semakin berdoa, butuh waktu khusus untuk berdoa. Ketika kerja keras, usaha atau jerih payah kita hayati dalam dan bersama dengan Allah, maka kita tidak akan merasa lelah, letih atau lesu, melainkan tetap segar bugar, ceria, gembira dan dengan demikian menarik, memikat dan mempesona orang yang menyaksikan hidup dan kerja kita. Bekerja atau belajar dengan sungguh-sungguh dan gembira, ceria serta bergairah merupakan salah satu bentuk pewartaan kabar baik. Secara khusus kami berharap kepada mereka yang terpanggil untuk menjadi suami-isteri, imam, bruder atau suster kami harapkan dapat menjadi saksi kabar baik atau gembira, mengingat bahwa panggilan tersebut berasal dari Allah. Keluarga bahagia dan gembira sungguh menjadi sarana pewartaan kabar baik yang tangguh dan handal.



“Berbahagialah bangsa, yang Allahnya ialah TUHAN, suku bangsa yang dipilih-Nya menjadi milik-Nya sendiri! TUHAN memandang dari sorga, Ia melihat semua anak manusia; dari tempat kediaman-Nya Ia menilik semua penduduk bumi. Dia yang membentuk hati mereka sekalian, yang memperhatikan segala pekerjaan mereka” (Mzm 33:12-15)

Jakarta, 1 September 2010



Romo. I. Sumarya, SJ

Note: kita memasuki bulan Kitab Suci, marilah setiap hari kita membaca dan merenungkan apa yang tertulis dalam Kitab suci, dan kiranya juga dapat memanfaatkan tulisan saya yang sederhana ini.