Kisah Kasih Sengsara

  • Oleh Aloys Budi Purnomo Pr
”CINTA dalam tindakan merupakan hal yang brutal dan mengerikan dibandingkan dengan kasih dalam impian!” Begitulah Fyodor Mikhaylovich Dostoyevsky (1821-1881) novelis, esais, dan filsuf asal Rusia mengungkapkan gagasan itu dalam novelnya The Brothers Karamazov (1881).

Kalimat itu menegaskan pemahamannya tentang hakikat kasih sejati. Kasih sejati terjadi dalam praksis-tindakan, bukan dalam impian dan janji. Kasih sejati siap menanggung segala risiko, sebrutal dan semengerikan apapun!

Dalam perspektif iman kristiani, kasih sejati terjadi dalam diri Yesus Kristus yang mati tersalib! Kasih sejati-Nya terwujud saat Ia menerima tindakan yang brutal dan mengerikan yang harus ditanggung-Nya pada hukuman salib.

Dalam sejarah Romawi, penyaliban adalah sebentuk tindakan brutal dan mengerikan. Namun sejak dan berkat Yesus Kristus, penyaliban diubah menjadi tanda kasih sejati. Umat kristiani sedunia mengenangkannya setiap Hari Jumat Agung, yang tahun 2010 ini jatuh pada tanggal 2 April.

Kisah tentang salib Yesus senantiasa dipahami sebagai kisah kasih dalam sengsara. Itulah sebabnya, dalam Gereja Katolik, secara liturgis, pada Hari Minggu Palma dan Jumat Agung, selalu direnungkan Passio: Kisah Sengsara Yesus Kristus. Dalam bahasa Indonesia, passio diterjemahkan sebagai penderitaan, kesengsaraan.

Sebetulnya, kata passio maknanya lebih mendalam dari sekadar penderitaan dan kesengsaraan. Dalam bahasa Latin, passio yang diturunkan dari kata patior berarti cinta yang sangat kuat sehingga mendorong seseorang untuk rela berkorban dan menanggung penderitaan. Yesus rela menanggung passio ini demi umat manusia.

Karenanya, passio-Nya bukan sekadar kesengsaraan dan penderitaan semata, melainkan demi manusia sehingga menjadi compatior atau compassio, yakni belas kasih, bela rasa, kesetiakawanan, dan solidaritas terhadap mereka yang sengsara dan menderita.

Benarlah yang direnungkan Soren Kierkegaard bahwa kerelaan Yesus untuk mengorbankan diri-Nya pada salib merupakan bukti kasih sejati walaupun harus ditanggung dalam kesengsaraan dan penderitaan. Itulah harga pasti dari kasih sejati untuk membayar dan menebus umat manusia. Harga pasti itu ditempuh melalui tindakan nyata menerima hukuman yang brutal dan mengerikan yang disebut skandal salib.
Rasa Sakit Pada zaman-Nya, salib memang merupakan skandal (bahasa Yunani: skandalon ), yang mendatangkan rasa sakit yang amat sangat, baik secara fisiologis maupun psikologis. Namun, kesakitan dan penderitaan bahkan kematian itu menjadi bukti kasih sejati.
Maka, kesengsaraan, kesakitan, dan penderitaan itu adalah sebuah kisah kasih dalam sengsara. Ini membuktikan kata-kata Yesus sendiri, ”Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya!” (Yohanes 15:13).

Kematian-Nya pada kayu salib adalah wujud penyerahan nyawa, bukti konkret tindakan kasih sejati, meski dalam peristiwa yang brutal dan mengerikan!
Tahun lalu (2009), sehari menjelang kenangan akan wafat Yesus Kristus, bangsa kita menyelenggarakan hajatan demokrasi, memilih anggota legislatif yang notabene bukan hanya menjadi wakil rakyat, melainkan juga pemimpin-pemimpin yang menentukan masa depan bangsa.

Artinya, sekarang ini, wakil rakyat terpilih tersebut sudah setahun mereka bertugas. Keputusan-keputusan politik mereka diharapkan menampilkan citra mereka sebagai pemimpin yang berbela rasa terhadap rakyat, bukan demi kepentingan kekuasaan semata.
Kita pun berhak bertanya: apakah mereka yang terpilih menjadi wakil rakyat di sehamparan negeri ini sudah tampil sebagai pemimpin berbela rasa, penuh kasih sejati yang rela menanggung kesengsaraan dan penderitaan demi rakyat yang merindukan keadilan, perlindungan, dan kesejahteraan?

Ataukah, mereka justru menjadi pembawa kesengsaraan dan penderitaan untuk rakyat karena keadilan, perlindungan, dan kesejahteraan ternyata tak kunjung mereka perjuangkan, apalagi diwujudkan?

Dalam hati hening-budi bening-jiwa jernih, kita melihat dan menangkap, dari tahun ke tahun, rakyat selalu dibuai dengan janji-janji calon pemimpin republik ini. Namun, pada saat mereka dipilih rakyat, ternyata janji-janji itu tak lebih dari isapan jempol, habis manis sepah dibuang. Bahkan, rakyat selalu harus melihat oknum wakil rakyat dan pemimpin negeri ini yang berperilaku korup dan tidak adil terhadap rakyat.

Karenanya, Kritik St Agustinus, dalam De Civitate Dei, mengenai kepemimpinan yang tidak berbela rasa dan tidak berkeadilan perlu mendapat perhatian: remota itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia! Artinya, pemerintahan yang tidak menyelenggarakan keadilan tidak lebih dari sekawanan perampok bagi rakyatnya!

Kita merindukan hadir dan tampilnya pemimpin-pemimpin rakyat yang penuh cinta sejati yang rela berkorban dan berjuang demi rakyat, bukan demi kepentingan sendiri atau pun kelompoknya saja. Kenangan akan kesengsaraan, penderitaan dan wafat Yesus Kristus demi keselamatan umat manusia dapat menjadi inspirasi bagi siapapun untuk mewujudkan masa depan rakyat Indonesia yang kian adil dan sejahtera.

Syaratnya, mereka harus rela menjadi pemeran utama pada kisah kasih dalam sengsara untuk bangsa ini, melalui pengorbanan, bukan kehausan akan kekuasaan! Selamat Paskah! (10)

— Aloys Budi Purnomo, rohaniwan, Ketua Komisi HAK, Keuskupan Agung Semarang

Harian Suara Merdeka, Edisi: 01 April 2010
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/04/01/104162/Kisah-Kasih-Sengsara