Ekaristi: Yesus bersama kita


Apakah Misa suatu kurban atau suatu perjamuan? Pertanyaan ini membawa beban berat bagi sebagian umat Katolik. Pertanyaan yang lebih baik adalah: Bagaimanakah perayaan dan pemahaman kita mengenai Ekaristi sehubungan dengan peristiwa-peristiwa mendasar iman kita: Kamis Putih, Jumat Agung dan Minggu Paskah? Ini sekaligus pertanyaan yang penting dan amat sulit. Pertanyaan inilah yang akan kita bahas dalam artikel ini.

Tetapi mengapakah saya tak hendak bertanya: Apakah Misa suatu kurban atau suatu perjamuan? Pertama-tama, dan yang terpenting, sebab ini bukan masalah salah satu dari dua /atau, melainkan, keduanya /dan. Tetapi juga, saya tak hendak mengajukan pertanyaann ini sebab bagi sebagian umat Katolik pertanyaan ini memunculkan masalah-masalah yang bukan inti artikel ini, misalnya, hubungan antara iman dan perbuatan baik, indulgensi dan identitas Katolik.

Mengunjungi Kembali Gunung Es

Dalam seri pertama “Ekaristi: Yesus Bersama Kita”, saya berbicara mengenai kiasan gunung es. Ketika kita melihat sebuah gunung es, kita sungguh melihat hanya sebagian kecil darinya. Sebagian besar dari massanya terdapat di bawah permukaan air dan tak kelihatan. Ketika kita berbicara mengenai Ekaristi dan menggunakan kata-kata kurban atau perjamuan atau kehadiran nyata, kita berhubungan bukan hanya dengan definisi kata-kata itu menurut kamus (bandingkan dengan bagian gunung es yang kelihatan) tetapi juga dengan makna-makna dan permasalahan yang tak terucapkan (bandingkan dengan bagian gunung es yang besar, yang tak kelihatan) yang tercakup dalam kata-kata itu.

Pada masa Konsili Trente (1545-1563), sebagai reaksi atas mungkin khotbah yang gencar mengenai indulgensi, ada sebagian orang yang bersikeras bahwa umat Kristiani tidak membeli “keselamatan”. Keselamatan merupakan suatu anugerah, yang diberikan secara cuma-cuma, dan kita tidak perlu menambahkan apapun pada kurban Kristus. Sebagian orang beranggapan bahwa menyebut Misa sebagai kurban memerosotkan nilai kurban Kristus yang sekali-dan-untuk-selamanya, sebab itu mereka lebih suka menyebut Ekaristi sebagai Perjamuan Tuhan. Ringkas cerita, kurban diidentifikasikan dengan identitas Katolik, dan Misa sebagai perjamuan diidentifikasikan sebagian orang sebagai sesat.

Apa Masalahnya?

Pertanyaan “perjamuan atau kurban” mungkin terdengar aneh bagi kaum muda - mereka yang dibentuk dalam iman sepanjang tahun-tahun sesudah Konsili Vatican Kedua. Tetapi bagi kami, umat Katolik yang lebih tua, itu merupakan suatu pertanyaan yang amat penting sebab jawabannya berhubungan dengan identitas Katolik kita.

Orang-orang Katolik seperti saya yang belajar katekese dalam tahun-tahun sebelum Konsili Vatican Kedua ingat bahwa jawaban atas “Apa itu Misa?” ialah “Misa adalah kurban Perjanjian Baru....” Berbicara mengenai Misa sebagai “Perjamuan Tuhan” akan terdengar asing di telinga muda saya.


Kunci Misteri

Saya yakin bahwa kunci pemahaman misteri Ekaristi terletak pada pemahaman hubungannya dengan peristiwa-peristiwa Kamis Putih, Jumat Agung dan Minggu Paskah. Saya mempergunakan ketiga peristiwa ini sebagai kiasan bagi konsep teologis “Perjamuan” (Kamis Putih), “kurban” (Jumat Agung) dan “kehadiran Tuhan yang bangkit” (Minggu Paskah).

Kata-kata pertama Konsili Vatican Kedua mengenai Ekaristi menggabungkan ketiga msiteri ini: “Pada Perjamuan Terakhir [Kamis Putih] ... Penyelamat kita mengadakan Kurban Ekaristi [Jumat Agung] ... kenangan wafat dan kebangkitan-Nya [Minggu Paskah]” (Konstitusi tentang Liturgi Suci, #47).

Seri-seri selanjutnya dari serial ini akan membicarakan “Kurban Jumat Agung” dan “Kehadiran Tuhan yang Bangkit”. Di sini kita akan melihat bentuk perjamuan dari Ekaristi (Kamis Putih).

Perjamuan dan Kurban

Menyebut Misa suatu perjamuan sama sekali bukan berarti menyangkal bahwa Misa adalah suatu kurban. Tetapi bagaimanakah kita dapat menyatukan kedua gagasan yang tampaknya berbeda ini? Jika saya katakan kepada kalian, “Saya baru saja membeli sebuah kulkas baru dan, wow, ngomong-ngomong, kulkas itu juga sebuah alat penyedot debu yang hebat,” saya yakin kalian akan berpikir ini aneh. Kulkas dan penyedot debu adalah dua peralatan yang sama sekali berbeda.

Bagi sebagian umat Kristiani, kurban dan perjamuan adalah dua cara pemahaman yang terpisah dan berbeda mengenai Ekaristi. Tantangannya adalah menyatukan keduanya. Salah satu cara menyatukan perjamuan dan kurban adalah melihat Ekaristi sebagai sakramen dari Kurban Kristus.

Pada umumnya ketika kita mendengar kata kurban, kita berpikir akan “merelakan sesuatu” seperti merelakan tidak minum kopi selama Masa Prapaskah. Atau kita berpikir akan mengurbankan binatang seperti dalam Perjanjian Lama. Dan tentu saja kita berpikir akan kurban Kristus di salib. Tetapi di sini, perhatian kita harus diarahkan melampaui darah dan aspek-aspek sengsara Jumat Agung guna melihat secara lebih mendalam pada makna peristiwa ini. Yesus memberikan Dirinya Sendiri kepada kita. Ia tak menahan apapun. Ia tak membiarkan suatupun menghalangi antara kehendak-Nya dan kehendak Allah. Di sini kita melihat tujuan utama kurban: persatuan dengan Allah, sungguh persatuan penuh sukacita dengan Allah.

Sekarang kita hadir dalam kurban Kristus di Kalvari dalam suatu cara yang nyata namun mistis ketika kita berkumpul bersama dalam perjamuan kudus yang ditinggalkan-Nya bagi kita pada malam sebelum Ia menderita. Dalam perjamuan itu, kita makan daging-Nya dan minum darah-Nya dan kita masuk ke dalam persatuan sukacita dengan Tuhan. Dalam berbagi perjamuan, Komuni Kudus (communio, persatuan) kita menjadi satu dengan Kristus dan dengan satu sama lain.

Kita tak perlu menanyakan apakah Misa adalah suatu perjamuan atau suatu kurban. Ini bukan masalah satu dari dua /atau, ini masalah keduanya /dan. Perjamuan adalah tanda sakramental dari kurban. Setiap sakremen adalah suatu tanda kelihatan dari rahmat yang tak kelihatan. Dalam Perayaan Ekaristi, tanda kelihatannya adalah komunitas yang berkumpul yang berbagi perjamuan kudus, makan dan minum tubuh dan darah Tuhan dan menggenapi perintah “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku.”

Suatu Analogi Syukur

Perjamuan adalah tanda sakramental dari kurban; guna memahami Ekaristi adalah penting mengetahui sesuatu mengenai perjamuan. Perjamuan menyangkut lebih dari sekedar menyantap makanan. Marilah membayangkan apa-apa yang terjadi dalam suatu perjamuan syukur tradisional.

Pertama-tama, keluarga besar berkumpul pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Kita menyambut sanak-saudara dan sahabat dan melewatkan waktu dalam percakapan, saling berbagi cerita. Kita menanyakan kabar mereka yang telah beberapa waktu lamanya tidak kita jumpai dan kita mendengarkan sementara Paman Otto sekali lagi menceritakan kisah favoritnya mengenai orangtua kita ketika mereka masih muda.

Akhirnya tibalah waktu untuk makan bersama. Kita pindah ke ruang makan, dan makanan dibawa dari dapur dan disajikan di meja. Di tengah harum lezat makanan yang menggugah selera, kepala keluarga mengundang kita untuk berdoa dan mengucap syukur kepada Tuhan atas makanan ini dan atas segala berkat-Nya. Lalu makanan diedarkan dan anggur dituang dan kita makan dan minum. Setelah sedikit berbincang-bincang lagi, kita pulang ke rumah, gembira dan kenyang, sudah membayangkan perjamuan syukur tahun depan.

Ketika saya menggunakan contoh di atas untuk menjelaskan Ekaristi, saya menunjukkan bahwa perjamuan syukur memiliki empat bagian atau pergerakan: kita 1) berkumpul; 2) bercerita; 3) makan bersama dan 4) pulang ke rumah. Ekaristi memiliki struktur serupa: 1) berkumpul; 2) bercerita; 3) makan bersama dan 4) pengutusan.

Suatu contoh biblis

Saya biasa berpikir bahwa ini adalah struktur yang sama dengan yang ada di benak Santo Lukas ketika ia menggambarkan Ekaristi dengan dua murid dari Emaus (Lukas 24:13-35). Sementara mereka berjalan, seorang asing menggabungkan diri dengan mereka. Mereka menceritakan kisah mereka dan mengingat Kitab Suci. Mereka mengundang masuk si orang asing dan, sementara makan bersama, mereka “mengenali-Nya ketika Ia memecah-mecahkan roti”. Dipenuhi sukacita dan kekuatan dari mengalami Tuhan yang bangkit, mereka bergegas kembali ke Yerusalem untuk menyampaikan kepada para rasul lain Kabar Baik. Lagi, kita melihat: berkumpul, bercerita, makan bersama dan pengutusan.

Dalam dua seri sebelumnya dari serial ini, kita telah melihat Ritus Pembuka dalam “Komunitas Berkumpul” dan penyampaian cerita (Liturgi Sabda) dalam “Lakukanlah Ini Untuk Mengenangkan Daku”. Ini menghantar kita ke bagian ketiga dari Ekaristi: makan bersama.

Dalam perjamuan syukur, makan bersama memiliki tiga gerakan: 1) makanan di bawa ke meja; 2) kita mengucap syukur; dan 3) kita mengedarkan makanan dan makan dan minum. Ketiga gerakan yang sama ini kita temukan dalam perjamuan Ekaristi: 1) kita menyiapkan meja (Persiapan Persembahan); 2) kita mengucap syukur (Doa Syukur Agung); dan 3) kita makan dan minum (Komuni).


Persiapan Persembahan

Tiga unsur kunci dalam Persiapan Persembahan adalah: 1) membawa roti dan anggur dari jemaat; 2) menempatkannya di altar / meja; dan 3) memanjatkan doa atas persembahan. Pencampuran air dalam anggur dan pembasuhan tangan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan orang-orang Yahudi dalam setiap ritual perjamuan dan yang, tak diragukan lagi, dilakukan Yesus juga dalam Perjamuan Malam Terakhir. Ritual ini mengingatkan kita akan dimensi perjamuan dari Ekaristi. Pada masa-masa sebelum uang menjadi sarana pertukaran yang lazim, perarakan menghantarkan roti dan anggur guna menyiapkan meja untuk Perjamuan Tuhan juga adalah kesempatan ketika orang-orang menghantarkan roti dan anggur, buah dan sayur, dll untuk menopang para pelayan Gereja, kaum miskin dan tahanan.

Sekarang, perarakan ini adalah saat ketika kita juga memberikan persembahan berupa uang. Dalam berbagi buah-buah karya kita, masing-masing kita dengan cara kita sendiri berpartisipasi dalam misi Gereja untuk memaklumkan hingga ke ujung-ujung bumi Kabar Gembira bahwa kita telah diselamatkan oleh salib Kristus dan untuk mengenapi perintah Tuhan untuk memberi makan mereka yang lapar dan memberi minum mereka yang haus.

Penyampaian persembahan kita dan gerak imam mengunjukkan roti dan anggur adalah alasan mengapa dulunya kita menyebut bagian Misa ini Persembahan. Sekarang doa persembahan dipanjatkan dalam Doa Syukur Agung; sehingga nama yang lebih tepat bagi bagian Misa ini sekarang adalah Persiapan Persembahan.

Persiapan Persembahan diakhiri dengan imam mengundang kita untuk berdoa agar persembahan kita diterima oleh Allah. Kemudian imam memanjatkan Doa Persiapan Persembahan. Perhatikan bahwa masing-masing bagian utama Misa diakhiri dengan sebuah doa yang dimaklumkan oleh imam yang memimpin Misa. Imam memimpin doa-doa ini, tetapi ia senantiasa berdoa dalam kata ganti orang pertama jamak. Imam berdoa atas nama kita, memanjatkan doa Gereja. Dan kita menjadikan doa itu sebagai doa kita sendiri dan memberikan persetujuan kita, “terjadilah demikian” kita, “Amin” kita.


Pertukaran Yang Kudus

Para Bapa Gereja awali bersuka dalam menjelaskan pertukaran persembahan yang misteius yang terjadi dalam Misa. Kita maju dalam prosesi persembahan menghaturkan roti dan anggur kepada Allah. Allah menerima persembahan kita dan mengubahnya menjadi persembahan-Nya, Tubuh dan Darah Putra-Nya. Dan kita maju sesudahnya dalam perarakan kedua, prosesi komuni, untuk menerima anugerah, anugerah Allah. Kerapkali doa-doa Misa menyebut ini sebagai “pertukaran persembahan yang kudus”.

Kita telah mempersiapkan persembahan kita dan “menata meja”. Ini menghantar kita ke pusat inti Misa: Dosa Syukur Agung - subyek pembicaraan dalam seri selanjutnya.


* Fr. Thomas Richstatter, O.F.M., has a doctorate in liturgy and sacramental theology from the Institute Catholique de Paris. A popular writer and lecturer, Father Richstatter teaches courses on the sacraments at St. Meinrad (Indiana) School of Theology.

sumber : “The Lord's Supper,” Eucharist: Jesus With Us by Thomas Richstatter, O.F.M.; Copyright St. Anthony Messenger Press; www.americancatholic.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net”