Bersama Yeremia: Menjadi Penyambung Lidah Allah yang Tabah

Mustahillah mengerti dan menghargai pribadi Yeremia tanpa mengenal paling sedikit dalam bentuk ringkasan, keadaan politik yang kacau yang membentuk hidupnya. Kerajaan kecil Yehuda masih terombang-ambing di bawah kaki Asiria. Sementara itu kerajaan besar itu mulai goyah. Dalam jangka empat puluh hari Yeremia melihat negaranya mendapatkan masa kemerdekaan yang singkat, kemudian jatuh menjadi korban ambisi Mesir tetangganya, dan kahirnya takluk secara definitif pada kekuasaan Babilonia. Yeremia mengalami semua zaman itu dan seluruh drama yang menyangkut semua bidang kehidupan itu tercermin dalam bukunya.

Dari kerajaan yang dibangun Daud, yang terpecah-pecah dan runtuh pada zaman anaknya Salomon, muncul dua kerajaan yang berbeda dan berdiri sendiri-sendiri, Yehuda dan Israel. Israel di sebelah utara dengan ibukota Samaria dan Yehuda di sebelah selatan dengan ibukota Yerusalem. Tetapi dilihat dengan ukuran zaman sekarang kedua kerajaan itu kecil saja. Kedua kerajaan itu berada berdampingan dalam persekutuan yang rapuh dan damai selama 200 tahun. Pada kenyataan, meski dikelilingi negara-negara yang kuat, kedua negara itu berhasil mempertahankan kemerdekaan mereka sampai zaman Yeremia.

Pada waktu dipanggil menjadi nabi, Yeremia hanyalah seorang anak muda yang tak berarti. Tahun panggilan adalah 627. "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibuku, Aku telah mengenal Engkau dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau. Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa" (Yer 1:5). Terkesima sepenuhya karena heran dan terkejut, Yeremia menolak keras, "Aku, Tuhan Allah. Sesungguhnya aku tidak pandai bicara, aku ini masih muda" (Yer 1:16). Yahwe mengesampingkan bantahan Yeremia seperti dulu Yahwe mengesampingkan bantahan Musa. Dalam kedua kasus itu Yahwe menanggapi bantahan dengan cara yang persis sama, dengan menjanjikan bantuan, "Janganlah takut kepada mereka, sebab aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau.." Kemudian Tuhan mengulurkan tangan-Nya dan menjamah mulutku dan berfirman kepadaku, "Sesungguhnya Aku menaruh perkataan-perkataan-Ku ke dalam mulutmu" (Yer 1:8-9). Itulah akhir pembicaraan. Dengan bersungut-sungut Yeremia tunduk.

Pada waktu itu Yeremia berumur 20-an tahun dan ia akan memikul pada bahunya beban tugas kenabian sampai umur 60-an. Kenyataannya ia tidak pernah damai dengan pekerjaannya. Bertahun-tahun kemudian dalam kata-kata berani dan marah, Yeremia menuduh Yahweh telah membujuknya, "Engkau telah membujuk aku ya, Tuhan, dan aku telah membiarkan diriku dibujuk. Engkau terlalu kuat bagiku dan Engkau menundukkan aku" (Yer 20:7)

Yeremia diperintahkan untuk berbicara dan ia memang berbicara dengan tanpa lelah dan dengan kekuatan yang luar biasa. Baginya sejarah bangsanya, sejak di bawah pimpinan Musa di padang pasir sampai mereka masuk ke Palestina, bagai kisah ketidaksyukuran yang tidak habis-habisnya kepada Yahweh. Seperti nabi Hosea sebelum dirinya, Yeremia menyamakan orang-orang Israel dengan isteri selingkuh yang sudah berulangkali mengkhianati suaminya, secara bodoh terus mengandalkan pengampunannya. Serangan Yeremia terhadap orang-orang sezaman begitu keras. Ia menyerang dengan kata-kata menggambarkan kehancuran yang ada dimana-mana.

Pesan yang keras dan terus terang itu tentu saja tidak diterima dengan baik. Teks berikut bernada seperti biografi dan gayanya seperti laporan saksi mata." Lalu sesudah Yeremia selesai mengatakan segala apa yang diperintahkan Tuhan untuk dikatakan kepada seluruh rakyat itu, maka para imam, para nabi, dan seluruh rakyat itu menangkap dia serta berkata, 'Engkau harus mati'. Mengapa engkau bernubuat demi nama Tuhan dengan berkata, 'Rumah ini akan seperti Silo dan kota ini akan menjadi reruntuhan, sehingga tak ada lagi penduduknya?'" (Yer 26:8-9). Pada waktu itu Yeremia tidak mempunyai cukup kesempatan untuk melarikan diri, namun hidup Yeremia masih aman.

Meskipun telah mengalami ada dalam keadaan yang dekat kematian, ia masih saja tidak melunakkan ucapan-ucapannya, tetapi malah mempertajam dan memperkerasnya. Kali ini sasarannya justru pribadi raja sendiri, Yoyakim. Sejak awal masa kerajaannya, raja telah menilai bahwa istana yang diwarisi dari ayahnya tidak cukup bagus baginya. Maka ia merencanakan untuk membangun istana yang baru, yang lebih mewah. Tetapi karena kekurangan dana, untuk membangun istana ia menggunakan pekerja-pekerja murah. Tindakan yang tidak menghargai rakyat itu telah mendorong Yeremia menjadi marah, dan melemparkan penyerangan yang menyakitkan bagi raja. "Celakalah dia yang berkata, 'Aku akan mendirikan istana yang lebih besar dan anjungan yang lapang luas, lalu menetas dinding istana, membuat jendela, memapani istana itu dengan kayu aras dan mencatnya merah. Sangkamu rajakah engkau, jika engkau bertanding dalam pemakaian kayu aras? Sebab itu beginilah firman Tuhan mengenai Yoyakim dan Yosia, raja Yehuda: orang tidak akan menangisi atau meratapi dia: aduhai abangku! Aduhai kakakku! Orang tidak akan menangisi dia: Aduhai, tuan! Aduhai Sri Paduka! Ia akan dikubur seperti penguburan keledai, diseret dan dilemparkan keluar pintu-pintu gerbang Yerusalem" (Yer 22:13-15.18-19). Tidak mengherankan bahwa hubungan Yeremia dan raja renggang.

Para pemuka kota tidak puas jika Yeremia tidak dibunuh. Maka mereka menuduh Yeremia telah melemahkan semangat prajurit-prajurit yang masih tinggal di kota dan semangat segenap rakyat dengan ucapan-ucapan tentang malapetaka yang mengancam dan tak henti-hentinya dikatakan kepada orang banyak. Yeremia jelas menjadi sasaran empuk dan alasan Negara dengan kuat menyarankan agar dia dihukum mati. Raja mengikuti saran itu dan menyerahkan Yeremia kepada algojo-algojo yang menurunkan dengan tali ke dalam perigi, dengan tujuan agar Yeremia mati kehausan dan kelaparan. Dalam perigi itu tidak ada air, hanya lumpur dan terperosoklah Yeremia ke dalam lumpur itu (Yer 38:6). Tetapi sida-sida Etiopia yang bekerja dalam istana jatuh belas kasihan kepada Yeremia dan memohon kepada raja untuk tidak menghilangkan hidupnya. Raja mengabulkan permohonan sida-sida itu. Kemudian ia mengambil pakaian yang buruk-buruk dan pakaian robek-robek, lalu menurunkannya dengan tali kepada Yeremia di perigi itu. Ia menyuruh Yeremia untuk menaruh pakaian-pakaian itu di bawah ketiaknya sebagai ganjal tali sehingga Yeremia tidak terluka. Dengan cara itu Yeremia ditarik dan diangkat dengan tali dari perigi. Demikianlah Yeremia tinggal di pelataran penjagaan (Yer 38:7-13)

Perlawanan dari segala penjuru ternyata membuat Yeremia lelah. Kegigihannya melenyap dan dalam kemarahan dan kepahitan, ia menyerahkan dirinya kepada Pribadi yang paling bertanggungjawab atas segala hal itu dan telah memaksanya menjadi nabi, yaitu Yahweh sendiri. Dengan rasa kesal Yeremia berkata, "Engkau telah membujuk aku, ya Tuhan.... Engkau terlalu kuat bagiku dan Engkau menundukkan aku. Aku telah menjadi tertawaan sepanjang hari, semua dari mereka mengolok-olok aku...." (Yer 20:7). Yeremia telah merasakan banyak sesepian yang pahit karena tugas sebagai nabi, ia merasa sendirian dan sedih, ditinggal semua orang, tanpa teman, sahabat dan keluarga, hanya bersandar pada terang panggilan sebagai nabi yang dari hari ke hari makin redup.

Meski keras wataknya dan penderitaannya yang banyak karena tugasnya, sesungguhnya Yeremia adalah pengantara agung. Hampir berlawanan dengan kehendaknya ia menyampaikan permohonan bagi musuh-musuhnya, "Sungguh, ya Tuhan, aku telah membela musuh di hadapan-Mu pada masa kecelakaannya dan kesesakannya ... Ingatlah bahwa aku telah berdiri di hadapan-Mu dan telah berdiri membela mereka supaya amarahmu disurutkan dari mereka." (Yer 15:11, 18:20)

Secara umum bagi kita, Yeremia tampil sebagai nabi yang kesepian dan pahit. Kita tentu mengagumi kesetiaannya yang gigih pada kewajibannya, kekuatan luar biasa terhadap nilai moral. Bicaranya berani, cenderung kasar, yang dilontarkan tanpa ampun ke segala arah, melawan setiap orang,: imam, raja, nabi dan rakyat. Itulah Yeremia yang melawan dunia, tanpa isteri, tanpa keluarga, tanpa teman, dan sahabat. Yang satu-satunya menyemangatinya adalah Yahweh dan kesadarannya sebagai nabi. Yeremia tampil terutama sebagai nabi malapetaka, yang tanpa henti-henti menyampaikan penilaian dan keras dalam ramalannya tentang malapetaka bangsa. Tetapi justru karena ia tidak henti-hentinya mewartakan malapetaka, Yeremia menyelamatkan rakyatnya dari malapetaka. Ramalah mengenai malapetaka terbukti terjadi. Ia memancarkan terang imannya dari dalam terhadap keadaan bangsa yang menakutkan. Pesan-pesan Yeremia membawa orang kembali kepada iman mereka yang kebanyakan sudah mereka tinggalkan. Pesan yang menyelamatkanlah yang disampaikan Yeremia, bukannya pesan kehancuran, melainkan pengharapan.


Sumber: Panduan Novena Santo Antonius II