Apa yang terjadi ketika Liturgi dalam Perayaan Ekaristi berubah menjadi semacam pentas, homili disajikan ala entertainment, lebih parahnya aturan-aturan dalam Tata Perayaan Ekaristi tidak diindahkan?
Apa yang terjadi apabila peraturan hanya sebatas tertulis, setiap tahun pada bulan Mei diadakan Bulan Katekese Liturgi, tahun demi tahun dijalani namun di satu - dua paroki yang cukup terkenal, karena memang paroki tua, namun dalam hal praktek berliturgi sungguh tidak bisa menjadi contoh panutan. Apa yang semua disampaikan dalam Bulan Katekese Liturgi sebatas buku, jarang dibahas, digunakan untuk evaluasi, bagaikan air panas cepat menguap. Yang terjadi di lapangan, justru terbalik arus dunia luar, modernisme masuk dalam Perayaan Liturgi. Arus yang begitu kuat dengan penuh sadar dan sengaja dilanggar oleh para pelayan liturgi demi membuat liturgi menyentuh umat.
Dengan mengikuti mode dan selera umat, justru liturgi tidak mampu mengungkapkan iman sejati. Liturgi itu yang seharusnya adalah perayaan iman, yaitu iman kepada Yesus sebagaimana diterima dan diajarkan oleh Gereja berbelok, akhirnya Perayaan Ekaristi bukan lagi sebuah peribadatan melainkan sebuah pemuas diri para pelayan liturgi dengan dalih agar umat tidak bosan, ngantuk dalam Perayaan Ekaristi jadilah Ibadat/Perayaan Ekaristi menjadi sebuah pentas kesenian, panggung hiburan, pemutaran film dan sebagainya. Apa yang seharusnya ada di dalam Perayaan Ekaristi dikorbankan karena homili yang panjang karena di dalamnya ada pemutaran film (semoga saja gedung bioskop pindah ke dalam gereja.) Homili yang seharusnya menjadi pewartaan sabda Allah, menjelaskan dan mengajarkan misteri Kristus berdasarkan pewartaan Kitab Suci, menjadi waktu untuk memberi gelar orang yang taat liturgi sebagai orang Farisi. Kepada orang Farisi dan Ahli taurat yang tidak memiliki karunia infallibilitas, Kristus saja meminta umat Israel taat (Mat 23:1-3); apalagi kepada Gereja Katolik yang memiliki karunia tersebut, seharusnya umat maupun imam taat pada pengajaran Iman dan Moral Gereja Katolik, termasuk di dalam hal berliturgi. (Mat 16:18)
Apa gunanya katekese liturgi yang diadakan oleh Komisi Liturgi Kevikepan maupun Keuskupan, maupun dari PML, apabila setelah itu ada pelayan liturgi yang menyampaikan dalam homili mengenai pemilihan lagu "Sing penting ora saru, silakan dinyanyikan" (Yang penting tidak saru, silakan dinyanyikan). Ketika kita berbicara soal kebebasan dalam berliturgi, kita perlu mengerti apa yang dimaksud kebebasan oleh Gereja. Hati-hatilah dengan pengertian kebebasan. Kebebasan itu ada batas-batasannya yang harus dipatuhi dengan jelas, apabila tidak dilakukan dengan hati-hati justru bisa jatuh dalam penyelewengan. “Dalam Kristus, Allah tidak menjamin bagi kita suatu kebebasan semu yang memberi kita peluang untuk berbuat apa saja yang kita kehendaki, melainkan suatu kebebasan yang dengannya kita boleh berbuat apa yang tepat dan benar” (Redemptionis Sacramentum, 7). Dapat dijumpai cukup banyak para imam maupun awam ketika diajak berdiskusi agar liturgi menjadi selaras dengan apa yang disampaikan oleh Gereja, yang terlontar adalah, “Cuma urusan doa presidensial; sikap berlutut, berdiri saja gak usah diributkan, yang penting hatinya. Jangan saklek soal Liturgi.” Prinsip semacam ini tidak pernah diajarkan oleh Gereja. Apa yang diajarkan oleh Kitab Suci dan Gereja adalah “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Mrk 12:30). Jadi, tidak setengah-setengah, atau suka-suka saya.
Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Liturgi pertama-tama merupakan karya imamat Yesus Kristus serta tindakan Gereja. Hak umat supaya “terhindarkan kesan bahwa liturgi itu menjadi milik pribadi, entah selebran atau komunitas di mana misteri-misteri itu dirayakan” (Redemptionis Sacramentum, 18). Dalam konteks berliturgi: apakah liturgi yang mau kita buat dan rayakan? Mau sejalan dengan Gereja Katolik, atau mau membuat semacam ritus sendiri yang sulit diatur atau denominasi baru? Ingat kata Santo Yohanes Paulus II, mengabaikan norma-norma liturgi merupakan sikap yang meremehkan misteri iman kita: misteri ini terlalu agung untuk diperlakukan secara seenaknya (bdk. Ecclesia de Eucharistia artikel 51).
Gereja Katolik memiliki standar selaras dengan kehendak Kristus. Kalau Gereja mengajarkan Liturgi adalah sumber dan puncak segala aktivitas lain (Diakonia, Kerygma, Koinonia dan Martyria) itulah yang kiranya menjadi pemaknaan atas Sabda Tuhan, "Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku." (Yohanes 15:4).
St. Yohanes Paulus II dalam surat Ensikliknya, Ecclesia de Eucharistia (2003) mengungkapkan:
“Perlu disesalkan bahwa, terutama di tahun- tahun setelah reformasi liturgi setelah Konsili Vatikan II, sebagai hasil dari rasa kreativitas yang tidak terbimbing dan adaptasi, terdapat banyak kasus pelanggaran (abuse) yang telah menjadi sumber penderitaan/ kesusahan bagi banyak orang. Reaksi menentang “formalisme” telah memimpin beberapa orang, terutama di daerah- daerah tertentu, untuk menganggap bentuk- bentuk yang dipilih oleh tradisi liturgi Gereja yang agung dan Magisteriumnya sebagai sesuatu yang tidak mengikat dan [mereka] memperkenalkan inovasi-inovasi yang tidak sah dan yang sering sama sekali tidak patut.
Saya menganggapnya sebagai tugas saya untuk memohon dengan sangat bahwa ketentuan/norma liturgis bagi perayaan Ekaristi dilaksanakan dengan kesetiaan. Ketentuan- ketentuan ini adalah ekspresi nyata dari kodrat gerejawi yang otentik dari Ekaristi; ini adalah artinya yang terdalam. Liturgi tidak pernah menjadi milik pribadi, entah itu selebran maupun komunitas di mana misteri tersebut dirayakan….. Imam-imam yang dengan setia merayakan Misa sesuai dengan ketentuan liturgis, dan komunitas- komunitas yang menyesuaikan dengan ketentuan- ketentuan tersebut, dengan tanpa bersuara namun dengan sangat fasih membuktikan kasih mereka kepada Gereja. Justru untuk memperjelas makna yang lebih dalam tentang ketentuan liturgis, saya telah meminta ofisi yang kompeten di Roman Curia untuk mempersiapkan dokumen yang lebih mendetail, termasuk rumusan kodrat yuridis tentang topik yang sangat penting ini. Tak seorangpun diizinkan untuk merendahkan misteri yang dipercayakan kepada tangan kita: terlalu ekstrimlah bagi seseorang untuk merasa bebas memperlakukan hal itu dengan remeh sehingga kesakralannya dan ketentuan universalnya menjadi dikaburkan.” (EdE, 51-52)