Biasanya, setiap mendengar kata EKM kita langsung berpikir soal
Ekaristi Kaum Muda. Hmmm… Emangnya ada Ekaristi Kaum Tua atau Ekaristi
Anak-anak?
EKM biasanya menjadi perayaan Ekaristi yang digemari oleh anak muda
(mungkin juga ada orang tua yang suka). Umumnya dalam perayaan Ekaristi
Kaum Muda tata perayaannya dibuat berbeda. Katanya menurut selera orang
muda: tarian, musikalisasi puisi, visualisasi cerita kitab suci atau
drama hidup sehari-hari, dengan iringan kor maupun band, dengan bintang
tamu dan simbol-simbol orang muda. Hal ini ditempuh untuk membantu orang
muda berjumpa dengan Yesus dalam perayaan Ekaristi.
Sejauh saya mengerti dan paham hanya ada satu Ekaristi, yaitu
Ekaristi yang kita rayakan setiap hari minggu atau hari biasa yang
sesuai dengan petunjuk TPE. Yang membedakan adalah intensi atau ujudnya
saja. Ekaristi yang satu itu sifatnya perayaan resmi Gereja. Karena
sifatnya yang resmi itulah Gereja membuat aturan-aturan untuk memastikan
bahwa Ekaristi itu sah dan valid.
Emangnya dengan tata perayaan yang katanya dibuat sesuai selera kaum
muda itu, Anda (kaum muda) merayakan misa? Gereja yang kudus mengajarkan
dengan teramat jelas mengenai hakekat perjumpaan atau kehadiran Yesus
dalam liturgi. Ajaran Gereja ini dengan mudah akan kita jumpai jika kita
berani dan mau membuka dokumen Konsili Vatikan II, khususnya SC.
Konstitusi tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium,
menjelaskan bahwa Kristus selalu hadir dalam diri umat beriman yang
sedang berliturgi. Sebab, dalam setiap kegiatan liturgi, kita berkumpul
dalam nama Kristus untuk merayakan karya keselamatan Allah. “Dalam karya
seagung itu, saat Allah dimuliakan secara sempurna dan manusia
dikuduskan, Kristus selalu menggabungkan Gereja, Mempelai-Nya yang
terkasih, dengan diri-Nya” (SC 7).
Oleh karena itu, marilah dalam setiap kegiatan liturgi, kita selalu
menyadari bahwa Tuhan hadir dalam komunitas atau kebersamaan kita.
Dengan kesadaran ini, tentu setiap perayaan liturgi akan kita persiapkan
dan kita hayati dengan sungguh-sungguh. Akhirnya, liturgi yang kita
hayati dengan sungguh-sungguh ini akan mengalirkan rahmat yang melimpah
sehingga kita sehati sejawa dalam kasih dan dapat mengamalkan iman kita
dalam kehidupan sehari-hari (SC 10).
Konstitusi Liturgi juga menyatakan: “Kristus hadir dalam kurban Misa,
baik dalam pribadi pelayan ‘karena yang sekarang mempersembahkan diri
melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengorbankan
diri di kayu salib’, maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi” (SC
7). Betapa agung dan mulianya Kristus yang berkenan hadir di tengah kita
umat-Nya melalui diri para pastor atau pelayan Misa ini. Itulah
sebabnya, saat memimpin Misa seorang imam benar-benar sedang menjadi alter Christus
(Kristus yang lain). Karena Kristus hadiri dalam diri imam saat
memimpin Misa itulah, umat berdiri saat imam masuk, atau para petugas
menundukkan kepala kepada imam selebran sebelum bertugas.
Kiranya dapat dikatakan bahwa dalam perayaan Ekaristi Kristus sendiri
hadir dan menjumpai kita. Luar biasa kan? Nah, perayaan Ekaristi
sendiri ya mulai dari awal sampai akhir. Mulai dari ritus pembuka sampai
ritus penutup. Jika sudah demikian luar biasa ajaran Gereja, masihkah
kita menggunakan argumen “untuk membantu umat berjumpa dengan Tuhan”
sebagai pembenaran atas utak atik tata perayaan Ekaristi? Jangan-jangan,
“kita melihat namun tidak percaya”. Artinya Kristus jelas hadir tetapi
tidak mampu kita lihat. Kristus ada namun kita malah sibuk mencari cara
untuk menghadirkan Yesus. Wong sudah hadir kok masih dicari-cari dengan
cara ini dan itu.
Gereja mengajarkan bahwa “Kristus hadir dalam Sabda-Nya, sebab Ia
sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja” (SC 7). Ajaran
ini kembali ditegaskan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 1088.
Mengingat agung dan luhurnya kehadiran Tuhan dalam Sabda-Nya, Instruksi Redemptionis Sacramentum menegaskan,
“Tidak juga diperkenankan meniadakan ataupun menggantikan bacaan-bacaan
Kitab Suci yang sudah ditetapkan, atas inisiatif sendiri, apalagi
“mengganti bacaan dan Mazmur Tanggapan yang berisi sabda Allah, dengan
teks-teks lain yang bukan dari Kitab Suci” (RS 62). Jelas kan
bahwa Yesus hadir dalam sabda-Nya? Lha kok masih berani-beraninya kita
mencari-cari kehadiran Yesus dalam sabdaNya itu dengan membuat injil
tandingan yang terwujud dalam visualisasi. Teks Injil yang demikian
agung justru kita gantikan dengan visualisasi atau drama. Bacalah dan
pahamilah, wahai rekan-rekan muda.
Masih ada contoh lain. Konstitusi Liturgi artikel 7: “Kristus hadir,
sementara Gereja memohon dan bermazmur, karena Ia sendiri berjanji: Bila
dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situlah Aku berada di
antara mereka (Mat 18:20)”. Konstitusi Liturgi menunjuk bahwa Tuhan
hadir saat Gereja memohon dan bermazmur. Jelas kan jika Yesus hadir
ketika umat-Nya sedang berdoa? Tapi coba kita lihat apa yang terjadi pada
saat EKM? Ada lho yang selama perayaan Ekaristi malah sibuk dengan SMS
atau BBM. Ada yang tidak peduli dengan apa yang terjadi, yang penting
bisa menerima komuni.
Ketika omong soal perjumpaan, kita itu ngomong soal sesuatu yang ada
dalam diri kita. Kita berbicara soal disposisi batin. Cobalah
rekan-rekan muda bertanya bagaimana simbah-simbah kita dahulu menyiapkan
diri untuk merayakan Ekaristi. Ada lho yang rela berjalan jauh selama
berjam-jam dengan kondisi perut lapar karena berpuasa. Itu semua untuk
apa? “Supaya pantas menerima Kristus” adalah jawaban yang sering
terdengar. Bagi saya ini jelas: disposisi batin memudahkan kita untuk
mengalami perjumpaan dengan Tuhan.
Tanpa disposisi batin yang tepat, Ekaristi hanyalah sebuah tontonan.
Kita tinggal duduk menikmati drama visualisasi Injil; mendengarkan salah
satu penyanyi yang disorot kamera dan ditampilkan di layar sembari
bergumam: “suarane apik yo”, “penyanyine ayu tenan”; atau ritus-ritus
lain yang diciptakan untuk “membantu umat bertemu dengan Tuhan”. Atau
terserah mau ngapain yang di dalam gereja, yang penting saya bisa terima
komuni.
Disposisi batin yang tepat akan membawa kita sampai kepada keterlibatan yang sadar dan aktif. Ada yang bilang, “Kalau gak ada keterlibatan, ya sebetulnya gak ada perayaan syukur bersama, dan kalau gak ada perayaan syukur bersama, berarti imamnya doang yang
“bikin misa”. Sejauh mana kita mengartikan keterlibatan? Memberikan
kesaksian tentang kegelisahan hidup pada saat ritus tobat? Ikut menjadi
pemain dalam visualisasi Injil? Berjabat tangan dengan orang-orang yang
ada di gereja?
Kita akan bisa terlibat secara sadar dan aktif dalam berliturgi
ketika kita sungguh mengerti dan paham apa yang dimaksudkan oleh Gereja.
Seluruh ritus yang ada disusun sedemikian rupa sehingga membantu umat
untuk semakin menyadari bahwa Perayaan Ekaristi adalah perayaan iman
yang didalamnya kita merayakan karya keselamatan Allah yang terlaksana
melalui Yesus dalam Roh Kudus. Dengan mengerti dan memahami makna dari
ritus-ritus yang ada, saya yakin kita akan mampu menghayatinya dengan
sikap batin yang luar biasa. Ketika kita mampu melakukan dan menghati
ritus-ritus itu, itulah keterlibatan yang sadar dan aktif. Masing-masing
menempatkan diri seturut peran dan fungsinya.
Akhirnya, jika kita sungguh-sungguh menghayati liturgi dan Ekaristi
dengan segala kekayaan maknanya seperti dikehendaki Gereja, kita tentu
dikobarkan untuk mengamalkan pengalaman doa atau Ekaristinya itu dalam
hidup dan tingkah laku sehari-hari. Pergilah kita diutus! Dan dengan
semangat 45 kita menjawab amin.
Namun, kita sering membenturkan Ekaristi dan perutusan. Kita
menganggap Ekaristi tidak menggerakkan orang muda untuk terlibat dalam
kehidupan. Lalu, yang diutak-atik adalah liturgi. Sungguh, saya
tersenyum kecut ketika menjumpai pandangan seperti itu. Gereja jelas
mengajarkan: “Liturgi mendorong umat beriman supaya sesudah dipuaskan
‘dengan sakramen-sakramen Paskah menjadi sehati sejiwa dalam kasih’.
Liturgi berdoa, supaya ‘mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalam iman’.”
Jika kita belum tergerak untuk mengamalkan, maka persoalan ada pada
hidup kita sendiri, bukan pada liturginya. Jika kita mengeluarkan
kritikan: terlalu memperhatikan liturgi dan lupa pada praksis hidup,
mengapa kita justru menghabiskan banyak waktu untuk mengutak-atik
liturgi?
Saya yakin, ketika kita mampu menghayati liturgi dengan baik, rahmat
itu akan menjadi daya dorong dan daya ubah untuk hidup kita. Jika belum,
mari kita bertanya pada diri kita sendiri: Emang Kamu Misa? Atau jangan-jangan, sepertinya kita misa namun sejatinya Eh, Kita Menonton.
Lha kalau nonton ya jangan berpikir soal daya ubah dan keterlibatan
dalam kehidupan. Menonton itu puasnya ya ketika nonton. Bisa ampe nangis
atau dengan semangat memberikan tepuk tangan. Sesudahnya?
Sumber: Komisi Liturgi KAS.