Kawan-kawan yang baik!
Di
kotak surat saya temukan secarik pesan ini, “Matt, terima kasih buat
Minggu lalu. Apa masih bisa tolong jelaskan Injil hari Minggu Prapaskah
II tentang Transfigurasi Yesus di sebuah gunung yang kaukisahkan dalam
Mat 17:1-9. Sekalian deh singgung kaitannya kalau ada dengan warta kisah
panggilan Abraham dalam Kej 12:1-4a yang dijadikan bacaan pertama.
Salam, Gus.” Ia hanya meninggalkan serangkai alamat email. Kebetulan
memang saya masih ada satu dua catatan mengenai episode itu.
Dikisahkan
dalam Mat 17:1-9, selang enam hari setelah menjelaskan syarat-syarat
mengikutinya, Yesus mengajak Petrus, Yakobus dan Yohanes naik ke sebuah
gunung yang tinggi. Di situ ia berubah rupa. Tampak pula Musa dan Elia
sedang berbicara dengannya. Petrus bergairah dan mau mendirikan tiga
kemah bagi ketiga tokoh itu. Saat itu juga datang awan yang bercahaya
datang menaungi mereka dan terdengar suara menyatakan bahwa Yesus itu
anak terkasih yang mendapat perkenan dariNya dan hendaklah ia
didengarkan. Ketiga murid itu telungkup gentar. Tetapi Yesus menyentuh
mereka dan menyuruh mereka berdiri dan tak usah takut. Semuanya pulih
kembali seperti biasa. Dan hanya terlihat Yesus seorang diri. Dalam
perjalanan turun Yesus melarang para murid itu menceritakan penglihatan
tadi kepada siapa pun sebelum kebangkitan terjadi.
Sebenarnya ini olahan kembali catatan Mark (Mrk 9:2-8) sambil
menyesuaikannya dengan kebutuhan di sini. Hal ini juga dilakukan Luc.
Tahun lalu Gus sudah membicarakan Luk 9:28-36 dan menjelaskan bahwa Luc
bermaksud menonjolkan siapakah Yesus yang sudah jadi buah bibir orang
banyak itu. Di situ Luc lebih banyak menambah teks Mark daripada saya.
Menurut Gus, peristiwa itu bahkan ditampilkan Luc sebagai dasar kisah
perjalanan Yesus ke Yerusalem. Memang dalam versi Luc, kedua tokoh besar
Musa dan Elia disebutkan sedang berbicara dengan Yesus mengenai “tujuan
perjalanan”-nya, yakni ke Yerusalem. Luc dan Gus sudah kerap mengupas
perkara itu. Saya sendiri berminat untuk menyoroti keadaan para murid.
Mata
batin orang yang semakin mengenal Yesus tentu menangkap yang tak kasat
mata. Lama saya kaji perkara ini. Sering saya berkonsultasi dengan
beberapa pakar spiritualitas karena saya ingin mengerti pertumbuhan
hidup rohani. Oleh karena itu saya anggap penting mengambil alih
keterangan Mark “enam hari kemudian” pada awal kisahnya. Catatan ini
merangkaikan peristiwa di gunung itu dengan yang dikisahkan sebelumnya,
yakni pemberitahuan pertama tentang penderitaan Yesus dan syarat-syarat
mengikutinya (Mat 16:21-28). Mengenai peristiwa itu Luc bilang
“kira-kira delapan hari sesudah [Yesus] menyampaikan semua pengajaran
itu” (Luk 9:28). Jangan bingung dengan perbedaan dua hari ini. Mark dan
saya menunjuk pada tenggang waktunya, sedangkan Luc menghitung juga awal
dan akhirnya. Contohnya, jarak waktu antara dua hari Minggu bisa
dikatakan sepekan atau enam hari bila dihitung mulai dari Senin sampai
Sabtu. Tapi kalau hari-hari Minggunya ikut dihitung, ya kedapatan
delapan hari.
Penampakan
kemuliaan Yesus terjadi sesudah selang waktu yang cukup bagi ketiga
murid tadi untuk memikirkan dua hal berikut, yaitu (i) pemberitahuan
sengsara, kematian dan kebangkitan Yesus (Mat 16:21) dan (ii) kata-kata
Yesus mengenai pengorbanan di dalam mengikutinya (Mat 16:24-28, yakni
menyangkal diri, memikul salib, berani berkorban demi dia, dst.). Tentu
para murid selama itu bertanya-tanya dalam hati, sepadankah pengorbanan
dalam mengikuti guru yang toh sudah tahu bakal menderita dan meninggal
seperti diungkapkan sendiri itu? Lagi pula apa untungnya lebih besar
daripada ruginya?
Memang
kami juga memakai perhitungan dalam urusan seperti ini, bukan
nekat-nekatan saja. Dalam hal ini saya tidak akan begitu saja setuju
dengan gagasan bahwa iman itu bagaikan “melompat ke dalam kegelapan”.
Memang ungkapan itu menunjuk pada komitmen orang yang beriman, namun
iman tidak mulai di situ. Iman tidak mulai sebagai bonek – bocah nekat.
Kepasrahan iman itu buah, bukan titik tolak. Iman tumbuh dari kesadaran
mengenai siapa dia yang patut menerima komitmen yang makin besar dan
demi maksud apa.
Coba
simak bacaan mengenai Abraham yang kalian dengar hari ini juga (Kej
12:1-4a). Perintah Tuhan untuk pindah dari negerinya itu masuk akal bagi
Abraham: ia akan menjadi bapak bangsa besar dan menjadi jalan berkat
bagi semua orang. Begitulah, komitmen mengikuti Yesus juga butuh
dipertanggungjawabkan. Peristiwa penampakan kemuliaan Yesus di gunung
itu menolong mereka.
Murid-murid
melihat wajah Yesus berubah menjadi “bercahaya sebagai matahari”.
Ungkapan ini maksudnya untuk memperjelas rumusan Mark yang hanya
menyebut bahwa Yesus “berubah rupa” (Mrk 9:2). Mark memang suka
membiarkan pembacanya membayangkan sendiri. Bercahaya seperti matahari
berarti tidak bisa ditatap begitu saja, menyilaukan. Di kaki gunung
Sinai dulu umat Perjanjian Lama melihat kulit wajah Musa bercahaya dan
karenanya takut mendekat. Waktu itu Musa, yang baru saja berbicara
dengan Tuhan, turun membawa loh perintah Tuhan (Kel 34:29 dst.).
Perjumpaan dengan sabda Tuhan membuat wajah Musa bercahaya. Kali ini
Yesus tampil sebagai Musa yang baru, yang membawakan sabda Tuhan di
dalam dirinya, di dalam kehidupannya.
Yesus
yang kalian ikuti itu amat dekat dengan keilahian sendiri sehingga
menjadi berpendar-pendar menyilaukan. Kalian boleh jadi belum pernah
mengalaminya. Dan syukur demikian. Tak usah terpaku pada hal-hal
spektakuler seperti itu. Hidup yang dengan apa adanya kalian usahakan
sebagai jalan mengikuti Yesus itu akan cukup membuat kalian makin
melihat wajahnya yang sesungguhnya tanpa merasa silau. Dengan demikian
cara hidup kalian juga tidak akan menyilaukan orang sekitar kalian.
Menerangi memang jati diri kalian - ingat Mat 5:13-16 - tapi tak usah
bikin silau! Tetapi kalian boleh pegang dalam hati bahwa yang kalian
ikuti itu memang “menyilaukan”, tetapi jangan kalian pantulkan dia
begitu saja. Justru tugas yang luhur bagi murid ialah membawakan Yang
Ilahi dalam ujud yang amat manusiawi dan sehari-hari. Ini kerohanian
yang dulu saya usahakan bertumbuh di dalam komunitas saya yang hidup di
masyarakat yang memiliki keyakinan hidup berbeda-beda. Nilai
kemanusiaanlah yang bisa kami pakai sebagai dasar saling mengerti.
Bagaimana dengan keadaan kalian?
Yesus
sendiri sebetulnya juga begitu. Ia tidak setiap saat memantulkan cahaya
keilahian. Kita tak akan tahan. Ia menghadirkan keilahian dengan cara
yang bisa dimengerti, dengan melayani kebutuhan orang-orang yang datang
kepadanya, mencerahkan budi mereka, menyembuhkan, dengan bersimpati
dengan orang lemah yang menanggung beban hidup. Ia yang sebetulnya
menyilaukan itu bisa didekati tanpa membuat orang langsung merasa
terancam. Dan dia itulah yang kalian ikuti. Kalian boleh memperkenalkan
dia dengan cara seperti dia sendiri membawakan keilahian. Dan tak usah
takut karena Yang Ilahi sendiri akan bertindak. Dia sendiri sudah
berfirman agar orang mendengarkan Yesus (“Dengarkanlah dia!”), karena ia
amat dekat denganNya (“anakKu yang terkasih”) dan diberi kuasa
bertindak atas namanya (“kepadanya Aku berkenan”).
Gus
tentu akan mengingatkan kalian bahwa ungkapan “kepadanya Aku berkenan”
dalam ay. 5 itu tidak ada pada teks Mark. Oleh karenanya Luc juga tidak
menyebutnya. Rumusan itu ada di sini untuk membuat pembaca tertolong
melihat kesamaan dengan peristiwa pembaptisan dan turunnya Roh ke atas
diri Yesus. Di situ ungkapan tadi dipakai dalam ketiga Injil (Mat 3:17;
Mrk 1:11; Luk 3:22). Kita boleh yakin bahwa para murid juga menangkap
hubungan antara kedua peristiwa itu. Dan kalian akan banyak belajar
tentang siapa Yesus itu bila melihat kedua peristiwa itu bersama-sama.
Kuncinya ada pada Roh! Rohlah yang membuat Yesus dapat bertindak atas
nama Yang Ilahi. Kalian ingat, di padang gurun Roh itu tetap
mendampinginya. Dan kemudian ia mengirim Roh yang sama itu kepada semua
muridnya, termasuk kita-kita ini.
Ketika
berjalan turun, ketiga murid itu dipesan Yesus agar tidak bercerita
kepada siapapun sebelum kebangkitan terjadi. Pesan seperti ini maksudnya
agar murid sempat memperoleh pengalaman batin mengenai kebangkitan,
mengenai keilahian Yesus yang mengatasi kematian itu. Bila pengalaman
batin ini belum ada maka cerita mereka yang hebat-hebat nanti mudah
gembos tanpa arti. Tapi bukan maksud saya mengatakan kalian musti punya
pengalaman batin sebelum bisa berbicara mengenai kebesaran Yesus. Ini
tidak diharapkan dari kalian. Bagi generasi saya saja keadaannya sudah
lain. Kami kan hidup sesudah Yesus bangkit dan kebangkitan itu justru
dasar kehidupan rohani kami. Begitu juga bagi kalian. Maka kita
sepatutnya berterima kasih kepada Petrus, Yakobus, dan Yohanes yang
menyimpan pengalaman hebat itu dalam hati bagi kita semua! Dan masa
menyongsong paskah ini masa yang tepat untuk mengingat-ingat kejadian
itu dan menarik hikmatnya.
Teriring salam,
Matt