HOMILI: Hari Minggu Paskah VII ( Kis 7:55-60; Mzm 97:1.2b.6.7c.9; Why 22:12-14.16-17.20; Yoh 17:20-26 )

Orang suci yang telah hidup mulia dan berbahagia selamanya di sorga bersama Allah senantiasa mendoakan kita semua, umat Allah, yang masih hidup dan berjuang di dunia ini. Memang mereka yang telah hidup mulia dan berbahagia kembali ke sorga bersama dengan Allah akan lebih mudah dan banyak berdoa daripada kita yang masih hidup di dunia ini, yang kemungkinan besar jarang atau malas berdoa. Yesus yang telah naik ke sorga juga mendoakan kita semua yang beriman kepada-Nya, agar dimana pun dan kapan pun kita senantiasa bersatu dengan-Nya serta dengan saudara-saudari kita yang masih hidup di dunia ini. Yesus yang telah naik ke sorga kita imani masih hidup dan berkarya di dunia ini melalui Roh-Nya, sehingga kehadiran dan karya-Nya tak terbatas oleh ruang dan waktu, kapan saja dan dimana saja. Maka dimana pun dan kapan pun kita berada dapat bersama dan bersatu dengan-Nya, tentu saja jika kita sungguh membuka diri terhadap kehadiran dan karya-Nya melalui Roh-Nya. Doa Yesus bagi para murid-Nya kiranya juga dapat menjadi teladan bagi kita semua untuk saling mendoakan satu sama lain sebagai saudara.

“Ya Bapa, Aku mau supaya, di mana pun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku, mereka yang telah Engkau berikan kepada-Ku, agar mereka memandang kemuliaan-Ku yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan. Ya Bapa yang adil, memang dunia tidak mengenal Engkau, tetapi Aku mengenal Engkau, dan mereka ini tahu, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku; dan Aku telah memberitahukan nama-Mu kepada mereka dan Aku akan memberitahukannya, supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka.” (Yoh 17:24-26)

Orang-orang dunia yang bersikap materialistis atau duniawi memang jarang berdoa, karena sibuk terus-menerus memboroskan waktu dan tenaganya untuk cari harta benda atau uang. Sebaliknya kita sebagai orang beriman kiranya tahu bahwa berdoa merupakan kebutuhan kita agar kita setia dalam hidup beriman. Ada pepatah ‘jauh di mana dekat di hati’, yang berarti meskipun secara fisik tidak bersama-sama tetapi saling berjauhan karena tugas dan pekerjaan orang tetap merasa dekat dan menjadi satu dengan yang lain. Hal ini kiranya terjadi karena orang saling mendoakan.

“Kesatuan hati dan budi” pada masa kini memang sungguh penting dan mendesak untuk kita hayati dan sebarluaskan, mengingat banyak di antara kita karena tugas dan pekerjaan sering harus berpisah secara fisik untuk jangka waktu yang cukup lama. Maka marilah kita berusaha memperdalam dan memperkembangkan kesatuan hati dan budi antar kita. Sebagai orang beriman marilah kita usahakan kesatuan dalam iman, harapan dan cintakasih, tiga keutaman penting dan utama dalam kehidupan bersama. Dan sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus marilah kita hayati kesatuan dalam Roh Kudus, yang berarti masing-masing dari kita senantiasa berusaha membuka diri atas bisikan dan dorongan Roh Kudus serta menanggapinya dalam perilaku atau tindakan, dalam cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari dimana pun dan kapan pun. Para suami-isteri yang telah saling bernjanji untuk sehidup semati saling mengasihi, yang telah mengusahakan dan menghayati kesatuan hati, jiwa, akal budi dan tubuh, kami harapkan dapat menjadi teladan dalam kesatuan dalam Roh, kesatuan budi dan hati bagi anak-anaknya, sehingga anak-anak memiliki pengalaman mendalam akan kesatuan hati dan budi. Kami percaya ketika anak-anak di dalam keluarga memiliki pengalaman penghayatan kesatuan hati dan budi, maka kelak dalam perkembangan dan pertumbuhannya, dalam pergaulan yang lebih luas mereka akan senantiasa mengusahakan kesatuan hati dan budi kepada teman-temannya.

Sebagai warganegara Indonesia marilah kita hayati apa yang telah diusahakan oleh para pendahulu kita, para pejuang dan bapak bangsa: satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Kita tegakkan penghayatan Pancasila, dasar Negara kita, maka marilah kita perangi dan lawan segala usaha yang mencoba merongrong dan melemahkan Pancasila sebagai dasar Negara kita yang tercinta ini. Aneka perbedaan antar kita hendaknya menjadi daya tarik, daya pesona dan penggerak bagi kita semua untuk saling mengenal, mendekat dan bersahabat. Ingat secara ilahi kita imani bahwa laki-laki dan perempuan berbeda satu sama lain tetapi saling tertarik untuk saling mendekat dan bersatu. Dengan kata lain karena perbedaan tidak mengusahakan kesatuan dan persaudaraan sejati, hemat saya melawan kehendak ilahi.

“Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit, lalu melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah. Lalu katanya: "Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.” (Kis 7:55-56).

Stefanus yang berada dalam penderitaan dan ancaman untuk dibunuh, karena penuh Roh Kudus, ia melihat kemuliaan Allah. Pengalaman iman Stefanus ini kiranya dapat menjadi pelajaran bagi kita semua, maka marilah dengan rendah hati kita berusaha meneladan semangat hidup Stefanus. Memang kita kiranya secara konkret tidak mengalami apa yang dialami Stefanus, yaitu dalam ancaman untuk dibunuh, namun kami percaya bahwa kita sering merasa dalam keadaan tersingkir, menderita, kurang diperhatikan dst.. Baiklah jika kita sungguh beriman marilah kita sadari dan hayati bahwa Allah senantiasa memperhatikan dan mendampingi atau menyertai kita.

Kita hadapi aneka derita dengan penuh kesabaran dan lembah lembut, sebagai tanda bahwa Allah beserta kita. Maka hendaknya jangan melupakan Allah ketika berada dalam penderitaan, melainkan berdoalah untuk menjalin relasi akrab dan mesra dengan Allah. Penderitaan fisik hendaknya menjadikan hati, jiwa dan akal budi kita semakin sabar dan lembut, sehingga dalam penderitaan kita semakin setia kepada Allah. Ketika ada orang yang membuat kita menderita atau menemui kesulitan dan tantangan hendaknya kita meneladan Stefanus dengan berdoa : "Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka”, dengan kata lain ampunilah orang yang telah menyakiti atau melukai kita. Marilah kita ingat dan hayati kata-kata dalam doa Bapa Kami yang sering kita doakan yaitu “ampunilah kami seperti kami telah mengampuni mereka yang bersalah kepada kami”.

"Aku, Yesus, telah mengutus malaikat-Ku untuk memberi kesaksian tentang semuanya ini kepadamu bagi jemaat-jemaat. Aku adalah tunas, yaitu keturunan Daud, bintang timur yang gilang-gemilang." Roh dan pengantin perempuan itu berkata: "Marilah!" Dan barangsiapa yang mendengarnya, hendaklah ia berkata: "Marilah!" Dan barangsiapa yang haus, hendaklah ia datang, dan barangsiapa yang mau, hendaklah ia mengambil air kehidupan dengan cuma-cuma!” (Why 22:16-17). Kutipan dari kitab Wahyu di atas ini kiranya dapat menjadi inspirasi bagi kita semua dalam kehidupan bersama, yaitu keterbukaan diri untuk didatangi siapapun, lebih-lebih mereka yang mendambakan ‘air kehidupan’. Tentu saja hal ini secara konkret perlu dihayati oleh para pemimpin agama atau gembala umat yang diharapkan dapat memberi ‘air kehidupan’ bagi mereka yang membutuhkan. Apa yang dimaksudkan dengan ‘air kehidupan’ antara lain adalah kata-kata, nasihat atau pesan atau saran yang menggairahkan dan menghidupkan. Semoga para pemimpin agama atau gembala umat dapat menjadi penyalur ‘air kehidupan’ dengan cuma-cuma bagi umat Allah.

“TUHAN adalah Raja! Biarlah bumi bersorak-sorak, biarlah banyak pulau bersukacita!Awan dan kekelaman ada sekeliling Dia, keadilan dan hukum adalah tumpuan takhta-Nya.” (Mzm 97:1-2)


Minggu, 12 Mei 2013

Romo Ignatius Sumarya SJ