“Selama itu mereka belum mengerti isi Kitab Suci yang mengatakan, bahwa Ia harus bangkit dari antara orang mati”
Post kematian seseorang, lebih-lebih yang mati seorang tokoh yang berpengaruh dalam kehidupan bersama, pada umumnya mereka yang pernah mengenalnya ingat akan hal-hal baik dan penting yang pernah dilakukan atau dikatakan oleh yang baru saja meninggal tersebut, serta memahaminya dengan baik. Dengan kata lain kesadaran mendalam akan sesuatu memang sungguh membutuhkan waktu, apalagi sesuatu tersebut sangat berguna bagi kehidupan bersama. Hal yang demikian pernah saya peroleh dari beberapa alumni sekolah-sekolah tertentu, dimana selama sedang belajar di sekolah tersebut mereka tak memahami aneka kebijakan dan tindakan para gurunya, namun ketika telah berjalan lama dan setelah menjadi orang penting dalam karya atau hidup bersama orang yang bersangkutan memahami dengan baik dan benar apa yang pernah dikatakan oleh guru mereka dan dilakukan oleh guru mereka. Memang itulah arti suatu proses pendidikan atau pembinaan: kita mendidik anak-anak atau generasi muda untuk hidup 10 sampai 15 tahun yang akan datang. Demikian pula kami berharap kepada para orangtua dalam mendidik anak-anaknya hendaknya mengantisipasi apa yang akan terjadi 10 atau 15 tahun mendatang. Untuk itu semua hemat saya bekal yang harus kita sampaikan kepada anak-anak atau generasi muda adalah nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan hidup, bukan harta benda atau uang. Maka marilah kita renungkan apa arti iman kita kepada kebangkitan Yesus dari mati.
“Ia menjenguk ke dalam, dan melihat kain kapan terletak di tanah; akan tetapi ia tidak masuk ke dalam.Maka datanglah Simon Petrus juga menyusul dia dan masuk ke dalam kubur itu. Ia melihat kain kapan terletak di tanah,sedang kain peluh yang tadinya ada di kepala Yesus tidak terletak dekat kain kapan itu, tetapi agak di samping di tempat yang lain dan sudah tergulung. Maka masuklah juga murid yang lain, yang lebih dahulu sampai di kubur itu dan ia melihatnya dan percaya.Sebab selama itu mereka belum mengerti isi Kitab Suci yang mengatakan, bahwa Ia harus bangkit dari antara orang mati”(Yoh 20:5-9)
“Ia melihatnya dan percaya”, itulah yang terjadi dalam diri Yohanes, murid terkasih Yesus, ketika ia melihat makam tempat Yesus dimakamkan kosong. Ia percaya bahwa Ia telah dibangkitkan dari mati sebagaimana pernah Ia sabdakan. Memang orang yang merasa sungguh dikasihi akan lebih ingat akan segala sesuatu daripada orang lain, ingat akan segala kata, nasihat, saran, ajaran atau cara hidup dari Dia yang telah mengasihinya. Dengan kata lain beriman kepada Yesus yang telah bangkit dari mati diharapkan senantiasa hidup dan berindak dalam kasih. Marilah masing-masing dari kita ingat dan sadar bahwa kita dapat hidup, tumbuh-berkembang sebagaimana adanya pada saat ini hanya karena dan oleh kasih, maka selanjutnya kita senantiasa hidup dan bertindak dijiwai oleh terima kasih dan syukur.
Orang yang sungguh dijiwai oleh terima kasih dan syukur pada umumnya senantiasa hidup dan bertindak dengan penuh semangat, bergairah dan dinamis, yang menandakan bahwa orang yang bersangkutan hidup dan bertindak sesuai dengan kehendak dan dorongan Roh Kudus. Maka kita yang beriman kepada Yesus yang telah bangkit dari mati hendaknya dalam hidup dan bertindak kaapan pun dan dimana pun senantiasa bergairah, bersemangat dan dinamis, meskipun harus menghadapi aneka tantangan, masalah dan hambatan. Orang yang hidup dan bertindak demikian berarti dalam keadaan sehat wal’afiat secara lahir dan batin, karena semua syaraf berfungsi optimal, dan metabolisme darah baik adanya juga.
Hidup dan berkarya dijiwai oleh Roh Kudus antara lain berarti senantiasa hidup sesuai dengan kehendak dan perintah Allah sebagaimana tertulis di dalam Kitab Suci. Maka pada Tahun Iman ini marilah kita giatkan pembacaan dan pendalaman Sabda, yang tertulis di dalam Kitab Suci. Hendaknya diingat, disadari dan dihayati bahwa yang penting dan utama bukan banyaknya pengetahuan perihal Kitab Suci, melainkan mencecap dalam-dalam apa yang tertulis di dalam Kitab Suci. Mungkin baik jika pembacaan, pendalaman dan pencecapan Sabda ini setiap hari dilakukan di dalam keluarga kita masing-masing, dan ada kemungkinan setiap minggu di lingkungan umat, untuk bertukar pengalaman yang terjadi dalam keluarga kita masing-masing. Untuk itu pastor paroki atau ketua lingkungan hendaknya sungguh menggerakkan kegiatan lingkungan dalam rangka pendalaman iman atau Kitab Suci.
“Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah.Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi. Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah. Apabila Kristus, yang adalah hidup kita, menyatakan diri kelak, kamu pun akan menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan.” (Kol 3:1-4)
Kutipan di atas ini kiranya mengingatkan dan mengajak kita semua untuk tidak bersikap mental materialistis. Sikap mental materialistis telah merasuki hampir di semua bidang kehidupan, tak ketinggalan juga ada imam, bruder atau suster pun juga terjangkiti sikap mental materialistis ini. Memang para imam, bruder atau suster yang berkarya di kota-kota besar sungguh menghadapi godaan atau rayuan sikap mental materialistis, sehingga kita tidak handal spiritualitas atau kharismanya, maka dengan mudah mereka jatuh ke sikap mental materialistis. Sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, yang telah bangkit dari mati, kita semua dipanggil untuk mencari dan memikirkan perkara-perkara yang di atas, yaitu hal rohani atau spiritual.
Mencari dan memikirkan perkara-perkara yang di atas berarti hidup dari dan oleh Roh, sehingga menghayati keutamaan-keutamaan seperti “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan” (Gal 5:22). Dari keutamaan-keutamaan ini manakah yang kiranya mendesak dan up to date untuk kita hayati dan sebar-luaskan di lingkungan keluarga atau masyarakat kita masing-masing, kiranya masing-masing dari kita dapat memilihnya. Memang keutamaan yang paling dasar atau utama adalah ‘kasih’, apalagi masing-masing dari kita diciptakan, dilahirkan dan dibesarkan dalam dan oleh kasih, tanpa kasih kita tak mungkin dapat tumbuh berkembang sebagaimana adanya pada saat ini. Marilah kita hidup dan bertindak ‘saling mengasihi’ satu sama lain, yang berarti siap sedia mengasihi dan dikasihi. Pada masa kini hemat ‘dikasihi’ lebih sulit daripada ‘mengasihi’. Ingat dan sadari dikasihi antara lain dapat berujud diberitahu, diajar, diejek, dikritik dst.. atau ‘disalib’. Hendaknya menyikapi segala sapaan, sentuhan dan perlakuan orang lain terhadap diri kita sebagai perwujudan kasih mereka kepada kita.
“Ia telah menugaskan kami memberitakan kepada seluruh bangsa dan bersaksi, bahwa Dialah yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati. Tentang Dialah semua nabi bersaksi, bahwa barangsiapa percaya kepada-Nya, ia akan mendapat pengampunan dosa oleh karena nama-Nya.” (Kis 10:42-43). Kita semua yang beriman kepada Yesus Kristus dipanggil untuk menjadi saksi kebangkitanNya, sehingga semakin banyak orang percaya kepadaNya. “Barangsiapa percaya kepadaNya, ia akan mendapat pengampunan dosa oleh karena namaNya”, inilah yang kiranya baik untuk kita renungkan. Beriman berarti mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah, sehingga senantiasa hidup dan bertindak sesuai dengan kehendak dan perintah Allah. Marilah kita saling membantu dan bekerjasama dalam rangka mentaati dan melaksanakan perintah atau kehendak Allah, dan perintah atau kehendakNya antara lain dapat kita temukan di dalam Kitab Suci.
“Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. Biarlah Israel berkata: "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya!"
(Mzm 118:1-2)
“SELAMAT PASKAH, MARILAH SALING BERSYUKUR DAN MENGASIHI. ALLELUYA”
Minggu 31 Maret 2013
Romo Ignatius Sumarya, SJ