"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.”
“Orientasi luar negeri”, entah dalam hal pendidikan maupun aneka macam jenis produk, khususnya bagi orang berduit atau kaya raya, menjadi pilihan. Hal ini terjadi entah demi gengsi atau memang dalam kenyataan apa yang ada di dalam negeri kurang bermutu, mengingat dan memperhatikan bahwa bangsa kita kurang mengedepankan mutu. Pendidikan sejak dulu tidak berkembang mutunya atau bahkan malah merosot, generasi muda dalam hal musik atau seni juga lebih menyenangi produk luar negeri, demikian juga dalam hal perfilman. Maka memang tidak mengherankan jika orang lebih menghargai sarjana-sarjana atau doktor-doktor hasil didikan luar negeri daripada dari negeri sendiri, demikian juga dalam hal aneka produk tehnologi. Maka juga boleh dikatakan bahwa sikap mental bangsa kita masih ‘konsumptif’ daripada ‘produktif’, hal ini kiranya juga merupakan produk karya pendidikan kita yang pada umumnya lebih berorientasi pada hafalan daripada eksplorasi. Sabda hari ini memang mengingatkan dan mengajak kita semua untuk memperhatikan mutu dalam berproduksi, demikian juga senantiasa berusaha menghargai produk negeri sendiri.
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya. Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri. Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon.” (Luk 4:24-26)
Apa yang disebut nabi tidak lain adalah pembawa kebenaran-kebenaran atau penerus suara Allah atau kehendak Allah. Hemat saya di lingkungan hidup kita, dalam diri saudara-saudari kita dapat kita temukan kebenaran-kebenaran atau kehendak Allah, antara lain menggejala dalam diri saudara-saudari kita yang berkehendak baik, atau dapat kita temukan dalam apa-apa yang baik, mulia dan luhur dalam diri kita maupun saudara-saudari kita. Jika kita tidak dapat menghargai milik atau produk sendiri, hemat saya menghargai produk orang lain merupakan pelarian dari tanggungjawab, sebagaimana terjadi dalam diri orang yang berselingkuh, memiliki WIL atau PIL, dengan melacurkan diri.
Orang kurang menghargai produk sendiri kiranya juga semakin kuat dan dapat diperhatikan dalam mencukupi kebutuhan makan dan minum setiap hari, dimana orang lebih senang membeli makanan dan minuman di restaurant atau warung makan daripada memasak sendiri. Demi alasan efisien orang lebih suka mengkomsumsi makanan dan minuman dari restaurant atau warung makan. Apa yang terjadi dalam hal makan dan minum inilah yang akhirnya menjiwai banyak orang kurang menghargai ‘nabi’ dari tempat asalnya sendiri. Maka hemat saya membiasakan kembali menikmati makanan dan minuman yang dimasak atau diproduksi sendiri merupakan langkah awal dan baik dalam rangka menghargai ‘nabi’ dari tempat asalnya sendiri. Untuk itu kami berharap kepada para ibu berusaha setiap hari menyiapkan makanan dan minuman sendiri bagi seluruh anggota keluarganya, dan tentu saja segenap anggota keluarga juga mendukung hal ini, tidak dengan mudah jajan di warung makan atau di restaurant.
Contoh lain perihal nabi di tempat asalnya sendiri yang kurang atau tidak dihargai adalah para peneliti kita. Cukup banyak penelitian diusahakan dengan dukungan dana atau beaya dari sponsor luar negeri karena pemerintah kita kurang memperhatikannya dengan memberi dana yang dibutuhkan untuk penelitian. Tentu saja hasil penelitian pertama-tama dilaporkan kepada dan dinikmati oleh pihak sponsor yang mendukung dana. Karena kita kurang memperhatikan dan menghargai penelitian, maka tidak mengherankan bahwa negeri kita senantiasa ketinggalan. Memberi perhatian pada penelitian akan terjadi ketika orang terbiasa mawas diri atau mengadakan penelitian/pemeriksaan batin setiap hari. Kebiasaan berrefleksi atau pemeriksaan batin akan menumbuh-kembangkan penghargaan terhadap produk sendiri atau menghargai nabi yang berasal dari daerah diri sendiri. Marilah kita saling membantu dalam pengembangan dan pendalaman refleksi atau pemeriksaan batin, serta kemudian saling menghargai dan menghormati saudara-saudari sendiri.
“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap” (1Kor 13:4-8)
Kutipan diatas ini oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, pengarang buku “Spiritual Intelligence” (=Kecerdasan Spiritual) merupakan syair perihal cintakasih yang terhebat tiada bandingnya di seluruh dunia. Cinta kasih kiranya juga merupakan ajaran semua agama atau orang-orang baik dan bijak. Kutipan di atas sering juga menjadi bacaan pertama dalam Misa Perkawinan, karena cintakasih lah yang mendasari dan mengikat laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama, saling mengasihi satu sama lain sampai mati sebagai suami-isteri. Maka dengan ini kami berharap kepada para orangtua atau bapak-ibu untuk menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam saling mengasihi satu sama lain.
Baiklah dari litani kasih Paulus di atas kami angkat perihal “tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain”, mengingat dan memperhatikan kecenderungan banyak orang untuk mengingat-ingat kesalahan orang lain, yang menjadi akar kemarahan kepada yang lain. Kami percaya bahwa kita semua sebagai orang yang lemah dan rapuh pasti sering membuat kesalahan atau kekeliruan. Bukankah pada umumnya ketika kita melakukan kesalahan atau kekeliruan maka orang lain tidak memarahi kita alias mengampuninya, antara lain dengan mendiamkannya atau tidak mengangkat-angkat lagi kesalahan atau kekeliruan kita? Dengan kata lain kita semua telah menerima kasih pengampunan yang melimpah dari Allah melalui saudara-saudari kita.
Orang yang suka menyimpan kesalahan orang lain pada umumnya juga suka menyimpan kesalahannya sendiri dan dengan demikian akan menjadi orang penakut, minder serta merasa dirinya terancam terus menerus. Orang yang demikian tentu tidak akan tumbuh berkembang dengan baik. Kasih pengampunan memang menjadi dasar dan kekuatan dalam hidup bersama yang damai sejahtera, aman dan tenteram, maka marilah kita senantiasa hidup saling mengampuni agar kita juga terbebaskan dari tindakan marah.
Marah berarti mendambakan apa atau siapa yang saya marahi tidak ada atau melecehkan atau merendahkan apa atau siapa yang kita marahi. Menyimpan kesalahan orang lain serta marah berarti mengembangkan dan memperluas permusuhan atau pertengkaran. Kita semua mendambakan hidup damai sejahtera, maka marilah kita tidak pernah marah terhadap diri sendiri maupun orang lain, melainkan saling menghargai, menghormati dan menjunjung tinggi dalam situasi atau kondisi apapun, dimana pun dan kapan pun. Semoga siapapun yang berpengaruh dalam hidup dan kerja bersama dapat menjadi teladan dalam hidup saling mengasihi dan mengampuni, tidak pernah marah serta tidak pernah menyimpan kesalahan orang lain.
“Pada-Mu, ya TUHAN, aku berlindung, janganlah sekali-kali aku mendapat malu. Lepaskanlah aku dan luputkanlah aku oleh karena keadilan-Mu, sendengkanlah telinga-Mu kepadaku dan selamatkanlah aku!Jadilah bagiku gunung batu, tempat berteduh, kubu pertahanan untuk menyelamatkan aku; sebab Engkaulah bukit batuku dan pertahananku.Ya Allahku, luputkanlah aku dari tangan orang fasik” (Mzm 71:1-4a)
Minggu, 3 Februari 2013
Romo Ignatius Sumarya, SJ