Entah
ada berapa undang-undang, peraturan pemerintah, aturan pelaksanaan
peraturan atau undang-undang dst.. kiranya tidak semua hafal, dan
mungkin hanya segelintir orang yang hafal. Memang orang dengan mudah
membuat dan mengundangkan aneka aturan dan tata tertib, namun apakah
yang membuat dan mengundangkannya juga menghayati atau melaksanakannnya,
kiranya boleh dipertanyakan. Kalau yang membuat dan
mengundangkan saja tidak menghayati atau tidak melaksanakan, apalagi
warga masyarakat. Para pembuat tata tertib dan aturan itu hemat saya
seperti orang-orang Farisi dan Saduki yang mencobai Yesus: tahu perihal
tata tertib atau aturan tetapi tak pernah melaksanakan atau
menghayatinya. Maka marilah kita hayati atau laksanakan hukum
sebagaimana diwartakan hari
ini.
“Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan
dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang
kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak
ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” (Mat 12:30-31)
Ajaran
perihal saling mengasihi hemat saja diajarkan oleh semua agama atau
orang beriman. Kutipan di atas ini mengajak dan mengingatkan kita semua
hendaknya dalam saling mengasihi dengan ‘segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap kekuatan’. Segenap
berarti secara utuh atau total, dan kalau tidak genap berarti ganjil
alias yang bersangkutan sedang menderita sakit, yaitu sakit hati, sakit
jiwa, sakit akal budi atau sakit kekuatan atau tubuhnya. Orang yang
sedang menderita sakit memang akan mengalami kesulitan dalam saling
mengasihi, seperti orang Farisi dan Saduki hemat saya juga sedang
menderita sakit, paling tidak sakit hati, dan sakit hati memang sulit
disembuhkan atau bahkan dibawa sampai mati.
Perintah
atau ajaran perihal kasih di atas hemat saya paling kentara atau dapat
dilihat dalam diri suami-isteri yang sungguh saling mengasihi baik dalam
untung maupun malang, sehat maupun sakit. Bukankah para suami-isteri
telah saling mengasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal
budi dan segenap kekuatan atau tubuh, yang antara lain memuncak dalam
pengalaman yang sangat mengesan, yaitu dalam persetubuhan atau hubungan
seksual. Dalam saling mengasihi keduanya dalam keadaan telanjang bulat
tiada malu sedikitpun. Maka marilah kita meneladan kasih macam itu,
yaitu dalam ‘ketelanjangan’ artinya dalam kejujuran dan ketulusan hati,
sehingga tiada sedikitpun dari diri kita yang disembunyikan, tetapi
semuanya dibuka secara jelas dan total.
Jika
kita sebagai manusia dapat saling mengasihi maka kiranya dengan mudah
kita akan mengasihi Tuhan alias bersyukur dan berterima kasih kepada
Tuhan dalam dan melalui cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari
dimana pun dan kapan pun. Kita semua telah menerima kasih Tuhan secara
melimpah ruah melalui sekian banyak orang yang mengasihi dan
memperhatikan kita, maka mengasihi Tuhan hemat saya berarti lebih
bersyukur dan berterima kasih kepadaNya. Mengasihi Allah dan mengasihi
sesama manusia hemat saya tidak banyak bedanya atau bahkan tak mungkin
dipisahkan, maka jika kita benar-benar mengasihi Allah berarti juga
mengasihi manusia, demikian juga ketika kita dalam hidup sehari-hari
sungguh mengasihi manusia berarti juga mengasihi Allah. Itulah artinya
hidup beriman atau beragama tak mungkin dapat
dipisahkan, maka mereka yang memisahkan atau membedakan hemat saya
adalah orang munafik.
Panggilan untuk mengasihi sasama masa kini hemat saya sungguh mendesak dan up to date untuk kita hayati dan
sebarluaskan, mengingat dan memperhatikan aneka bentuk permusuhan,
pertentangan dan tawuran masih marak di sana-sini dalam kehidupan
sehari-hari. Bahkan permusuhan dan kebencian dalam keluarga, antar
suami-isteri, kakak-adik dst.. juga masih terjadi. Kami juga mengajak
dan mengingatkan mereka yang pakar dalam hal tata tertib dan aturan
dapat menjadi teladan dalam pelaksanaan atau penghayatan saling
mengasihi, karena tata tertib maupun aturan dibuat dan diberlakukan demi
kasih. Dekati dan sikapi aneka tata tertib dan aturan dalam dan oleh
kasih, karena dengan demikian akan enak dan nikmat mentaati dan
melaksanakan tata tertib atau aturan.
“Dan
dalam jumlah yang besar mereka telah menjadi imam, karena mereka
dicegah oleh maut untuk tetap menjabat imam. Tetapi, karena Ia tetap
selama-lamanya, imamat-Nya tidak dapat beralih kepada orang lain. Karena
itu Ia sanggup juga menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh
Dia datang kepada Allah. Sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi
Pengantara mereka.” (Ibr 7:23-25)
Yesus adalah Imam Agung, “menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh Dia datang kepada Allah”. Maka
marilah sebagai umat beriman kita senantiasa dengan rendah hati
berusaha menghadap Allah, dan tentu saja kita hendaknya dalam keadaan
baik, suci dan tidak berdosa. Kepada mereka yang masih dalam keadaan
dosa atau tidak bersih kami ajak untuk membersihkan diri, minta kasih
pengampunan dari Allah maupun saudara-saudari kita yang telah kita lukai
dengan dosa-dosa atau kata-kata dan tindakan yang tidak baik.
Ketika
kita telah menerima kasih pengampunan alias menjadi bersih atau suci
kembali, maka kita diutus untuk menjadi ‘pengantara Allah dan manusia’,
yang berarti dari pihak Allah menjadi penyalur rahmat atau berkat Allah
kepada manusia, dan sebaliknya menjadi penyalur dambaan, kerinduan, doa,
cita-cita manusia kepada Allah. Cirikhas pengantara atau penyalur
antara lain: jujur, disiplin, cekatan, serta pada waktunya melaporkan
apa yang telah dikerjakan atau dilakukan. Yang tidak kalah penting
adalah cirikhas ‘tidak menyeleweng atau berselingkuh’. Marilah kita
menjadi pribadi yang menarik, mempesona dan memikat orang, sehingga yang
bersangkutan tergerak untuk menghadap Allah, membaktikan diri
sepenuhnya kepada Allah.
“Maka
dengarlah, hai orang Israel! Lakukanlah itu dengan setia, supaya baik
keadaanmu, dan supaya kamu menjadi sangat banyak, seperti yang
dijanjikan TUHAN, Allah nenek moyangmu, kepadamu di suatu negeri yang
berlimpah-limpah susu dan madunya.Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu
Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang
kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan”
(Ul 6:3-6). Yang dimaksudkan dengan ‘Israel’ di sini tidak lain adalah
‘orang pilihan dan kekasih Allah’. Kita semua sebagai orang beriman
adalah ‘pilihan atau kekasih Allah’, maka marilah kita senantiasa
mengasihi-Nya ‘dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap kekuatan’. Hal
ini kiranya dapat kita hayati ketika kita sedang berdoa, maka ketika
sedang berdoa hendaknya sungguh berdoa dengan khusuk atau
berkonsentrasi, lebih ketika berpartisipasi dalam ibadat bersama atau
bagi orang Katolik dalam Perayaan Ekaristi.
Berdoa
adalah berhubungan dengan Allah dalam kasih, dan karena Allah ‘maha
segalanya’, maka berhubungan atau berrelasi dengan-Nya mau tak mau kita
pasti akan dikuasai atau dirajai-Nya, dengan kata lain mau tak mau harus
melaksanakan semua perintah dan kehendak Allah dalam dan melalui cara
hidup dan cara bertindak kita setiap hari dimana pun dan kapan pun.
Karena Allah hadir di mana-mana, maka kapan saja dan dimana saja kita
dapat berdoa. Kepada mereka yang akan mengadakan perjalanan kami
harapkan berdoa lebih dahulu agar selamat di perjalanan dan akhirnya
sampai ke tujuan. Hidup kita juga merupakan perjalanan, maka kami
harapkan begitu bangun pagi, dan dalam keadaan bugar, kami harapkan
berdoa singkat sejenak untuk bersyukur dan berterima kasih kepada Allah,
yang telah menganugerahi kehidupan.
"Aku
mengasihi Engkau, ya TUHAN, kekuatanku!Ya TUHAN, bukit batuku, kubu
pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku
berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku!Terpujilah
TUHAN, seruku; maka aku pun selamat dari pada musuhku” (Mzm 18:2-4)
Minggu, 4 November 2012
Romo Ignatius Sumarya, SJ