"Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak
dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan.”
Ketika
saya ditahbiskan menjadi imam kurang lebih 29 tahun yang lalu, saya
ditawari untuk mempersembahkan Perayaan Ekaristi pertama kali bagi umat
paroki saya oleh pastor paroki. Saya ditawari untuk mempersembahkan di
gereja induk, paroki Wedi, atau di kapel stasi Gondang, yang sekarang
sudah menjadi paroki sendiri. Dan saya cenderung memilih di kapel stasi.
Mendengar pilihan ini pastor paroki memberi penjelasan bahwa kondisi
kapel stasi Gondang sedang amburadul karena sedang direnovasi. Mendengar
penjelasan tersebut saya jawab bahwa tidak apa-apa, toh zaman Yesus
dulu ketika mengadakan perjamuan malam terakhir juga di tempat yang
sangat sederhana. Pilihan saya disetujui dan kemudian diinformasikan ke
umat stasi Gondang pada umumnya dan secara khusus kepada umat wilayah
Sumyang, desa asal saya. Sungguh pengalaman yang mengesan bahwa ketika
umat wilayah mendengar hal itu, umat kemudian bergotong-royong untuk
menyelesaikan renovasi kapel dalam waktu satu minggu (maklum mayoritas
umat desa saya bekerja sebagai ‘tukang batu’, buruh bangunan, termasuk
bapak saya). Mereka bergotong-royong dari pagi hari sampai malam, yang
berarti mereka tidak bekerja selama seminggu, tidak memperoleh
pendapatan selama seminggu. Bukankah mereka bagaikan janda miskin, yang
dikisahkan dalam warta gembira hari ini, “yang memberi lebih banyak dari semua orang”. Maka kami mengajak anda sekalian untuk merenungkan sabda Yesus di bawah ini.
"Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak
dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan.
Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi
dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." (Mrk 12:43-44)
Persembahan
kepada Tuhan dalam bentuk apapun merupakan symbol persembahan diri
kepada Tuhan. Maka dengan ini kami mengingatkan dan mengajak anda
sekalian untuk meneladan janda miskian di atas, yaitu bukan memberi
persembahan dari kelebihan, melainkan dari kekurangan. Memberi dari
kelebihan hemat kami bagaikan membuang sampah, dengan kata lain
memperlakukan si penerima pemberian sebagai ‘tempat sampah’ alias
melecehkan atau merendahkan harkat martabat manusia, melanggar hak azasi
manusia. Orang yang memberi persembahan atau sumbangan yang demikian
itu berarti orang pelit dan tidak sosial.
Orang
yang bersikap mental ‘memberi dari kelimpahan’ pada umumnya ketika
diberi tugas pekerjaan juga tak pernah selesai pada waktunya atau
sekiranya selesai pasti selesai pada detik terakhir atau ‘deathline’.
Sebagai orang beriman yang berarti mempersembahkan diri seutuhnya
kepada Tuhan, marilah kita tanpa syarat sungguh mempersembahkan diri
kepadaNya dalam atau melalui cara hidup dan cara bertindak kita sejak
sadar bangun pagi sampai menjelang istirahat malam, bahkan selama
istirahat atau tidur pun hendaknya juga pasrah diri sepenuhnya
kepada-Nya, sehingga dapat tidur nyenyak dan ketika bangun menjadi segar
bugar.
Kami
berharap kepada orang-orang kaya akan harta benda dan uang tidak pelit
dalam hal memberi sumbangan atau persembahan. Ingatlah dan hayati bahwa
kekayaan anda tidak pernah terlepas dari orang-orang yang membantu anda
dalam berkarya, misalnya para pegawai atau buruh, demikian juga peran
konsumen produk usaha anda juga sangat membantu perolehan kekayaan atau
uang anda. Sebagai contoh produk mie instant atau rokok, yang pada
umumnya konsumennya adalah orang-orang miskin atau pedesaan dan
pegunungan. Anda dapat menaikkan harga seenaknya dan para konsumen pun
akan tetap membelinya. Maka ingatlah orang-orang miskin, pedesaan dan
pegunungan. Demikian juga kami berharap kepada para pejabat atau
petinggi pemerintahan, entah yang ada di badan legislatif, eksekutif,
maupun yudikatif untuk mengingat dan menyadari bahwa anda harus melayani
rakyat, dan gaji atau imbal jasa yang anda terima berasal dari
pemasukan pajak, yang juga tak terlepas dari peran orang-orang miskin,
pedesaan, pegunungan yang menjadi konsumen produk aneka usaha. Semoga
anda yang duduk atau berkarya dalam pemerintahan tidak melakukan korupsi
atau cari enaknya sendiri.
“Elia
berkata kepadanya: "Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang
kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar
kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat
bagimu dan bagi anakmu. Sebab beginilah firman TUHAN, Allah Israel:
Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli
itu pun tidak akan berkurang sampai pada waktu TUHAN memberi hujan ke
atas muka bumi." Lalu pergilah perempuan itu dan berbuat seperti yang
dikatakan Elia; maka perempuan itu dan dia serta anak perempuan itu
mendapat makan beberapa waktu lamanya.Tepung dalam tempayan itu tidak
habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman
TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia.” (1Raj 17:13-16)
Kutipan
di atas ini kiranya dapat menjadi inspirasi bagi kita semua dalam hal
memberi sumbangan atau persembahan atau dalam kehidupan bersama kita
dengan siapapun dan dimana pun. Kita diharapkan senantiasa untuk
mendahulukan orang lain maupun memperhatikan para pelayan umat atau
gembala umat. Dalam hal ini kami percaya rekan-rekan ibu sebagai
perempuan pasti memiliki pengalaman dalam hal mendahulukan yang lain,
misalnya anak-anaknya, yang dianugerahkan oleh Tuhan. Saya pribadi
memiliki pengalaman yang mengesan terhadap ibu atau ‘simbok’ saya,
dimana ketika memperoleh rezeki berupa makanan senantiasa anak-anaknya
yang pertama-tama harus menikmatinya atau mengkosumsi, dan jika perlu
ibu saya sama sekali tidak mencicipinya alias berpuasa atau matiraga.
Kepedulian
atau kepekaan kepada yang lain kiranya perlu dididikkan atau dibiasakan
pada anak-anak di dalam keluarga, sehingga ketika mereka tumbuh
berkembang menjadi orang dewasa akan menjadi pribadi yang peduli atau
peka terhadap orang lain. Jika dicermati dalam hidup sehari-hari kiranya
harus diakui bahwa pembinaan kepedulian atau kepekaan kepada orang lain
dalam diri anak-anak kurang memperoleh perhatian yang memadai, ada
kecenderungan generasi muda masa kini bersikap mental egois, kurang atau
tidak peduli pada orang lain maupun lingkungan hidupnya. Hal ini kami
cermati juga di antara para seminaris di Seminari Menengah Mertoyudan.
Ada kemungkinan hal ini disebabkan oleh korban keluarga berencana, yang
difahami secara sempit yaitu pembatasan kelahiran: satu atau dua anak
cukup. Jika dalam keluarga hanya ada satu atau dua anak pasti ada
kecenderungan untuk memanjakan anak-anak dan kemudian anak-anak tumbuh
berkembang menjadi orang yang egois.
Memang
pada masa lalu pada umumnya di dalam keluarga tidak hanya satu atau dua
anak saja, tetapi empat atau lebih. Memang dalam hal memenuhi kebutuhan
fisik atau financial sungguh berat dan penuh dengan tantangan, namun
demikian ada suatu pengalaman menarik dan tak terlupakan, yaitu secara
otomatis terjadi pembinaan kepedulian atau social pada diri anak-anak,
antar kakak-adik. Pengalaman saling memperhatikan antar kakak-adik
inilah yang kemudian akan menjadi modal untuk terus diperkembangkan dan
diperdalam dalam kehidupan bersama yang lebih luas, di dalam masyarakat
maupun tempat kerja.”Dan sama seperti manusia ditetapkan
untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi,demikian pula
Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa
banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa
menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang
menantikan Dia.” (Ibr 9:27-28). Kutipan ini kiranya dapat menjadi inspirasi bagi siapapun yang beriman keapda Yesus Kristus, yaitu “mengorbankan diri untuk menanggung dosa banyak orang”
“Yang
menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas, yang memberi roti
kepada orang-orang yang lapar. TUHAN membebaskan orang-orang yang
terkurung, TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang
yang tertunduk, TUHAN mengasihi orang-orang benar. TUHAN menjaga
orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi
jalan orang fasik dibengkokkan-Nya. TUHAN itu Raja untuk selama-lamanya,
Allahmu, ya Sion, turun-temurun! Haleluya” (Mzm 146:7-10)
Minggu, 11 November 2012
Romo Ignatius Sumarya, SJ